“Kenapa? Berubah pikiran?” tandas Isaac saat Gressida berhenti di undakan tangga teras. Perempuan itu menggeleng lalu menghampiri bosnya yang bersedekap d**a angkuh. “Saya bisa menuntut jika kamu tidak kooperatif.”
Masalahnya bukan itu, Gressida merasa gugup karena hendak bertemu nyonya besar yang juga menjadi bosnya seketika akan berubah status sebagai nenek mertua. Kiranya kejadian buruk apa yang akan dia hadapi ketika kakinya dengan lancang melangkah ke rumah utama. Rumah besar yang lebih mirip disebut dengan nama mansion.
Gressida menautkan kedua tangannya serta meremas tali tasnya dengan gugup. Sungguh kegugupannya semakin meningkat di saat mereka menghadap pada sosok pemilik istana ini. Gressida bukan pertama kali menghadap pada Rianti Adhiyaksa karena sebelumnya sering dipanggil ke rumah sekadar memastikan bahwa cucu kesayangannya menyanggupi kencan buta rancangannya. Namun, kali ini dia dengan jelas melihat alis si nyonya tua menukik mendapati dirinya berdiri bersebelahan dengan Isaac.
“Katanya mau bawa calon istri sampai kamu bikin Eyang Uti membatalkan perjodohanmu. Eyang disembur loh sama si gadis,” katanya mengadukan bahwa beberapa saat sebelumnya meminta maaf dan pengertian karena ulah Isaac yang membatalkan kencan buta ulahnya Gressida.
“Gressida?” tanya wanita tua itu. “Sedang apa di sini?”
Alis Isaac terangkat naik lalu menyeringai, pria itu duduk di sofa yang bersebrangan dengan Rianti. “Eyang Uti sering ketemu Gressi sampai akrab sekali.” Bukan sebuah pertanyaan melainkan pernyataan yang membuat Rianti tersadar, sialnya wanita dengan budaya Jawa yang melekat di dirinya begitu pandai sembunyikan raut kagetnya. Wajah yang dipoles layaknya wanita Jawa tulen dan jangan lupakan sanggul cetar membahananya.
Menarik turun kemben yang melengkapi kebayanya padahal penampilan wanita itu tak ada cela. Namun, sudah menjadi kebiasaan Rianti di mata Isaac saat sang eyang uti merasa gugup. Jelas saja Isaac tak membahas lebih lanjut, dia paham tata krama dalam bentuk sopan santun kepada orang tua. “Isa minta maaf untuk itu, Eyang. Isa nggak bisa terus menyembunyikan hubungan kami.” Setelah berkata demikian kepala pria itu menoleh kepada Gressida yang wajahnya sudah pucat lalu tanpa tandeng alih-alih meraih pergelangan tangan perempuan itu dan menuntunnya duduk di sebelahnya.
Gressida tersenyum canggung saat mata Rianti melotot terkejut. Dia langsung menunduk menghalau tatapan tajam bos keduanya. Barangkali Rianti sedang memaki halus Gressida di dalam hatinya. Lagi pula siapa yang mengira kalau selama ini Gressida menjadi tim hore mencarikan Isaac pendamping justru perempuan itu menusuknya datang-datang diperkenalkan sebagai calon istri.
“Kamu mau membunuh Eyang Uti, Mas? Coba katakan sekali lagi!” Walau tidak dengan nada tinggi akan tetapi, penegasan dari Rianti sukses membuat Gressida ingin beranjak lalu kabur dari rumah ini. Jika dihadapkan dengan cara penolakan seperti ini Gressida tidak siap kendati berada dalam jangkauan Isaac. Akan lebih baik jikalau Rianti langsung mencak-mencak mengutarakan ketidaksetujuan. Bukan meminta penjelasan karena demi apa pun Gressida tidak di-briefing oleh bosnya itu.
Namun, sialnya yang mengajaknya bertransaksi adalah seorang Raden Isaac Rush Adhiyaksa yang kehidupannya sudah ditata bahkan sebelum dilahirkan, yang jalannya selalu mulus serta lurus tanpa skandal; tidak keluar jalur … barangkali untuk pertama kalinya seorang Isaac keluar jalur karena merancang narasi indah bak di negeri dongeng, mengatakan kepada Rianti bahwa mereka sudah menjalin hubungan bahkan yang lebih parahnya lagi pria itu mengatakan dirinya dibawa langsung oleh Isaac sebagai sekertaris jalur orang dalam.
Pembohongan publik macam apakah ini? Kendati berada dalam jangkauan Isaac jelas saja Gressida paham maksud dari tatapan hangat selayaknya seorang pria pada kekasihnya. Issac menegaskan posisinya yang dibawa oleh orang dalam. Gressida jelas tahu sindiran ini untuknya yang masuk karena koneksi karyawan. Plusnya langsung menduduki posisi sekertaris tertinggi hanya karena keinginan sang CEO didampingi oleh daun muda.
Lupakan itu! Fokus Gressida saat ini ketika pinggangnya direngkuh oleh lengan kekar bosnya dengan posisi duduk sehingga tubuh mereka melekat tanpa sekat. Aroma parfum mint menerpa hidungnya membuat Gressida tenang sejenak. Iya, hanya sejenak karena setelahnya Rianti mengibaskan kipas lipat ke hadapan mereka yang sedang bertatapan.
Sialan! Kenapa Gressida masuk dalam tatapan pria itu?! Mereka hanya sebatas sandiwara akan tetapi, tatapan Isaac terlalu dalam dan hangat padahal yang perempuan itu harapkan berupa tatapan mencela seperti sikap angkuhnya selama ini.
“Eyang Uti sedang bertanya,” sentak wanita tua itu. Nadanya tegas, wajahnya tegang juga dengan rahang mengeras berusaha menahan napas naik turun yang sebentar lagi … amarah itu akan meledak. “Gressida, selama ini kamu mempermainkan saya?” tanyanya menusuk. Kali ini fokusnya pada Gressida yang tersentak.
Gressida berdeham lalu mendongak memfokuskan tatapannya pada Rianti yang menunggu jawaban. “I-tu—”
“Bicara yang benar. Menjadi anggota Adhiyaksa punya tata krama,” potong Rianti.
“Eyang—”
“Kamu diam saja!”
Gressida menahan umpatan di depan bibirnya, dia menunduk menatap tangannya yang digenggam oleh Isaac. Sikap Isaac terbilang berlebihan jika sekadar menyakinkan di depan Rianti, tapi setidaknya dapat membantu keberaniannya menghadapi Rianti. “Saya menjalin hubungan dengan Mas Isaac sudah sejak lama bahkan sebelum Nyonya Besar merekrut saya menjadi tim hore,” jawab Gressida, sengaja memberi jeda sejenak demi melihat respon lawan bicaranya. Dirasa Rianti mulai jinak barulah perempuan itu melanjutkan. “Saya tidak bisa berterus terang karena tidak enak hati. Hubungan saya dan Mas Isaac belum diketahui Nyonya Besar, pada saat itu pula Nyonya Besar terlihat mengkhawatirkan Mas Isaac.”
“Sejak kapan?” tanya Rianti sudah lebih tenang.
“Seperti yang Mas Isaac bilang. Hubungan ini terjadi sebelum saya bekerja di kantornya. Kami bertemu di salah satu rumah makan. Mas Isaac sedang meeting waktu itu.”
Gressida berhasil menjawab dengan lugas dan yakin, tidak berbelit-belit. Walaupun Isaac tercengang dengan narasi bodong dadakan dari sekretarisnya, tetapi pria itu cukup puas. Masuk akal sehingga Rianti pun kelihatan jauh lebih santai.
“Kamu ajak Gressida ke sini setelah dari kantor, Mas? Diajak mampir makan apa belum?” Belum sempat Isaac menjawab Rianti sudah beranjak sehingga Isaac pun memberi komando pada Gressida supaya ikut berdiri. “Eyang Uti udah minta bibi masak. Makan malam di sini, ya?”
Rianti tidak mempersilakan dua orang itu menjawab karena dia sudah pergi duluan ke ruang makan meninggalkan Gressida yang menghembuskan napas leganya.
“Berhasil, Pak?” tanyanya berbisik.
“Selangkah lagi, Gressi. Saya perlu bertemu orang tua kamu.”
Langkah Gressida berhenti nanggung. Sedikit lagi mereka sampai di meja makan, hanya karena mendengar perkataan Isaac.
“Kenapa? Ada yang salah? Kamu sudah berkenan diajak ke rumah meminta restu jadi giliran saya juga mengunjungi rumah Kamu meminta restu ke orang tuamu. Ada yang salah?”
Namun, Gressida tak diberi ruang untuk menjelaskan karena Rianti sudah berseru yang memintanya segera datang ke meja makan. Sepanjang acara makan malam pikiran Gressida kosong bahkan sampai diusap lengannya oleh Isaac saat Rianti berulangkali memanggilnya.