Chapter 5

1606 Kata
Wajah Ika terlihat agak menyesal ketika dia membicarakan tentang umur Syarastya. Dia tersadar bahwa Syarastya itu sangat sensitif ketika membahas tentang umur. Ika berusaha tersenyum ke arah Syarastini, "Itu … mulutku tidak sengaja menanyakan umurnya, yah … aku tahu kakak kamu itu terlalu sensitif ketika berkaitan dengan umur," ujar Ika. Syarastini mengangguk mengerti. "Em, Tini … kamu benar-benar dua puluh empat tahun?" tanya Ika sekali lagi. Syarastini mengangguk, "Ya, benar, Kak. Aku sekarang dua puluh empat tahun," jawab Syarastini untuk kedua kalinya. "Ah, aku pikir kamu baru saja lulus SMA dan baru masuk kuliah," ujar Ika. Dia sangat terlihat iri dengan wajah imut dan polos dari Syarastini. "Ngomong-ngomong, wajah kamu dan Syarastya terlihat tidak terlalu sama, um maksudku wajah kamu terlihat mirip dengan Om Badar, ah, mungkin kalian berdua mengambil wajah mirip dari pihak yang berbeda, seperti Tia yang wajahnya agak mirip Tante Shinta," ujar Ika setelah dia memperhatikan wajah Syarastini. Ika hanya bertemu beberapa kali dengan Syarastini, itupun hanya melihat dari jauh, ada satu waktu di mana waktu itu Syarastya memperkenalkan singkat dia dengan sang adik. "Ya, cukup banyak yang bilang seperti itu. Aku mirip dengan Papa," timpal Syarastini dengan sopan. Mendengar nada sopan Syarastini berbicara dengannya dan tata krama yang diperlihatkan oleh adik dari temannya ini sangat baik, Ika berkesimpulan bahwa Syarastini ini adalah gadis yang baik dan penurut. Pertama kali mereka bertemu, Syarastini juga sopan. "Eh, itu, kamu kok nggak kelihatan di kantor?" tanya Ika penasaran. "Ya? di kantor?" wajah Syarastini terlihat bingung. "Kamu kerja di bagian apa?" tanya Ika. Ah, seketika Syarastini langsung mengerti ke mana arah pembicaraan dari Ika. Wajahnya terlihat sulit diartikan. Bibirnya terasa berat untuk dibuka. Syarastini hanya tersenyum lalu menunduk. "Tini belum kerja, Kak …," jawab Syarastini, suaranya terdengar pelan. "Hum? kamu belum kerja?" Ika terlihat bingung. Mana mungkin di umur Syarastini yang ke 24 tahun ini dia belum bekerja. Lalu muncul dugaan di kepala Ika. Ika Berpikir bahwa Syarastini ini pasti adalah anak bungsu yang manja dan disayang oleh orangtuanya, ah pantas saja wajah Syarastya kurang senang jika dia membahas sang adik dulu. Ika memilih untuk tidak lagi melanjutkan pembicaraan, dia tidak ingin membuat suasana canggung di antara dia dan dua kakak-beradik itu. "Ah, apakah kamu sudah punya pacar?" tanya Ika spontan. Syarastini, "...." Diam selama beberapa detik lalu …. Blush. Memerah merona tersipu malu. Ika yang melihat wajah Syarastini yang merona itu yakin bahwa adik dari temannya ini sudah punya pacar. "Ohoho! wajah kamu merah, aah! kamu sudah punya pacar!" Ika bertepuk tangan. Syarastini hanya menunduk malu, saat itu juga Syarastya yang berada di pinggir pintu masuk mengepalkan dua kepalan tangannya sambil melihat ke arah Ika dan Syarastini. Terlihat sekali bahwa pembahasan dua orang itu sangat membuat dirinya marah. Namun, sebuah kalimat meredakan amarahnya. "Tini tidak punya pacar, Kak." Suara Syarastini terdengar. "Ah?" Ika terlihat kaget. "Kamu … benar-benar tidak punya pacar?" tanya Ika. Syarastini mengangguk, "Benar, Kak. Tini tidak punya pacar." "Kenapa tidak punya pacar?" tanya Ika. "Tini … masih ingin sendiri, itu lebih nyaman," jawab Syarastini. "Ah, aku mengerti." Ika manggut-manggut mengerti. Kepalan yang kuat tadi kini melonggar. Syarastya tersenyum kecil dan salah satu sudut bibirnya terangkat naik menandakan dia puas, lalu berjalan ke arah Ika dan Syarastini. "Jangan terlalu banyak tanya terhadap adikku," ujar Syarastya. "Um? oh, kamu balik lagi." Ika menoleh ke arah Syarastya yang duduk kembali ke kursinya. Pelayan datang membawakan pesanan mereka. "Tia, aku kira kamu marah," ujar Ika. "Aku memang marah," balas Syarastya. "Maaf," ujat Ika. "Ok." Syarastya mengangguk. Jari tangannya mulai menyentuh gagang cangkir lalu mulai menyeruput cappuccino. Sedangkan Syarastini tahu kadar keberadaannya, tidak baik mencampuri urusan kakak-kakak, jadi dia memilih memakan kue tart stroberi dan minum jus jeruk. Syarastini hanya mendengar tanpa membalas pembicaraan dari Ika dan sang kakak. Toh sama saja, sang kakak tidak mengajaknya bicara, jadi diam hanya perlu diam. °°° "Pak Ghifan, apakah Anda ingin langsung pulang ke rumah?" tanya Rino. Ghifan menggeleng, "Saya ingin ke kafe terdekat. Ingin makan manis-manis," jawab Ghifan. "Nah, kebetulan sekali di sekitar sini ada kafe dengan tema tart. Apakah Pak Ghifan ingin ke sana?" tanya Rino. "Baik," sahut Ghifan. Dia melirik ke arah beberapa orang yang masih ada bersamanya. "Apakah kalian ingin bergabung?" tawar Ghifan. Beberapa orang tentu saja mengangguk mau. "Ok, kita ke tempat kafe itu." Ghifan memutuskan. Semua orang mengekori ke mana Ghifan pergi. °°° "Tia, jujur saja, kamu memang makin hari makin cantik. Aku saja iri terhadap kecantikan wajahmu." Ika mulai membuat sang teman senang. Mendengar pujian dari temannya, senyum muncul di bibir Syarastya. Sesungguhnya Syarastya tidak suka orang-orang berkomentar buruk tentang nya, dia lebih memilih orang memujanya meskipun itu hanya untuk menjilat atau sekedar bohong belaka. Lebih baik menyenangkan hatinya daripada membuat hatinya marah. Kesensitifan Syarastya bertambah dua kali lipat setelah dia tidak berhasil menggait pria pujaannya yaitu Ben. Di usianya yang sekarang sudah memasuki kepala tiga itu, dia lebih bertambah sensitif. Saat Syarastya tersenyum senang karena pujaan Ika padanya, arah tatapan matanya tak sengaja melihat ke arah pintu masuk kafe. Seketika senyumnya kaku. Matanya menatap lama ke arah orang yang baru saja memasuki pintu kafe, ada beberapa pengikut di belakang orang itu. Dan orang itu adalah Ghifan. Air muka Syarastya dari kaku berubah menjadi kebencian. Pria yang yang merupakan saudara kembar dari seorang CEO perusahaan hiburan terbesar di tanah air itu adalah saudara sepupu dari perempuan yang sangat dia benci, siapa lagi kalau bukan Popy Aira Basri. Lima tahun, lima tahun kebencian besar mengakar di dalam lubuk hati Syarastya. Karena dia membenci Popy, maka dari itu dia juga membenci Ghifan, sebab Ghifan bersepupu dengan Popy. Ibu mereka berdua adalah adik dan kakak. "Sudah cukup kita di sini, aku ingin pulang," ujar Syarastya. "Eh? kamu mau pulang? yaah padahal baru satu jam kita di sini." Ika terlihat keberatan, namun apa daya, temannya ini berwatak tegas. Syarastya berdiri lalu berlenggang berjalan menjauh dari meja yang tadi dia duduk bersama Ika dan Syarastini. Ika sendiri berdiri lalu pergi ke kasir untuk membayar tagihan, sedangkan Syarastini berdiri dari duduk dan hendak berjalan keluar. Namun, matanya bertubrukan dengan mata Ghifan. Blush. Oh Tuhan! Tubuh Syarastini tiba-tiba kaku dan tak bisa digerakan lagi. Pandangannya menatap linglung ke arah Ghifan. Apakah ini hanya halusinasinya saja? ataukah memang nyata? pikir Syarastini. Ghifan melihat sekilas ke arah Syarastini lalu dia tersenyum kecil, namun malah dengusan dari Syarastya yang dia dapat. Ghifan tentu saja bingung, seorang wanita mendengkus di dekatnya ketika wanita itu akan keluar, sedangkan dia menunjukan senyumnya pada Syarastini, bukan pada wanita yang baru saja melewatinya. Ghifan tak ambil pusing dengan Syarastya yang mendengkus ke arahnya, toh dia juga tidak terlalu menganggap keberadaan Syarastya penting. Di dalam dunia bisnis, Tinar Group dan Farikin's Seafood adalah saingan. Syarastini kaku, dia hanya mampu memandang ke arah Ghifan yang tersenyum kecil padanya. Bertemu lagi …. Apakah kita …. jodoh? Darah Syarastini mendidih seketika setelah kata jodoh terlintas lagi. Blush. Wajah imut dan polos Syarastini tersipu malu lagi. Hal ini membuat Ghifan ingin tertawa, dan memang benar, Ghifan tertawa, namun dia hanya tertawa pelan, sangat pelan, bahkan tidak ada yang tahu bahwa dia sedang tertawa geli karena melihat tingkah gadis yang belum satu hari dia kenal. "Tini, ayo pulang." Ika rupanya telah selesa membayar tagihan di kasir, dia menghampiri Syarastini untuk mengajaknya pulang. Syarastini tersadar, dia lalu mengalami dilema. Sesungguhnya, Syarastini tidak ingin pulang. Ya, dia memang tidak ingin pulang ke rumah atau lebih tepatnya keluar dari kafe ini. Penyebabnya adalah Ghifan yang baru saja masuk. "Tini, ayo. Tia udah di parkiran, jangan lama, entar dia kesel." "Baik, Kak Ika. Em … itu, Kak Ika duluan saja, Tini dengan mobil sendiri," balas Syarastini. "Ok." Tanpa lama Ika mengangguk lalu berjalan keluar kafe. "Pak Ghifan, Anda ingin mencoba kue tart rasa apa?" tanya Rino. Dia melihat daftar menu di buku menu. Banyak rasa atau varian dari kue tart. "Um, saya ingin rasa stroberi saja," jawab Ghifan. Blush. Anehnya wajah Syarastini memerah setelah mendengar jawaban dari Ghifan. Tart stroberi, Ghifan memesan tart stroberi! batin Syarastini berteriak girang. Hari ini dia juga makan tart stroberi. Anehnya setelah menjawab pertanyaan dari sekretarisnya, Ghifan melirik ke arah Syarastini yang masih berdiri kaku bin kikuk karena dia tak lagi dapat melakukan apa-apa. Rino melirik ke arah lirikan sang bos. Matanya membulat, "Tini!" Syarastini tersadar. Dia melihat ke arah Rino. "Ri … Rinoi …." Sang teman sekaligus informan nya ternyata ada di dekat pria yang dia suka. Dan Syarastini tak melihat keberadaan Rinio. Maklum, hanya ada Ghifan di matanya. Ghifan melirik ke arah sekretarisnya. "Kamu kenal Nona Tini?" tanya Ghifan. "Iya, Pak. Dia adalah teman sewaktu SMA. Kami sekelas, juga saat kuliah kami sekelas lagi," jawab Rinoi. Pria bermata sipit itu tersenyum standar setelah menjawab pertanyaan Ghifan. "Ah, begitu." Ghifan manggut-manggut. Melihat bahwa temannya ada di sini, Syarastya langsung ingin pulang, jangan sampai Rinoi memberitahu pada Ghifan bahwa dia sering bertanya mengenai jadwal kerja kantor mereka. "Rinoi, aku pulang dulu. Itu … aku tadi datang ke sini dan makan dengan Kak Tia," ujar Syarastini. "Ok, hati-hati." Rinoi mengangguk sambil memberi kode. Rinoi tahu bahwa sang teman ini selalu bertanya padanya mengenai jadwal kerjanya karena temannya itu mengatakan bahwa dia menyukai seseorang yang bekerja bersama dengan dia, namun Rinoi tak tahu siapa yang disukai oleh Syarastini. Melihat wajah Rinoi yang tersenyum penuh arti padanya, Syarastini tersipu malu, dia cepat-cepat keluar dari kafe sambil menyentuh dua pipinya yang memerah. Sementara itu Ghifan hanya melihat Syarastini berlalu hingga menghilang dari arah pandangan. "Pak Ghifan kenal dengan teman saya?" tanya Rinoi. "Ya, saya terjebak … hanya sebuah perkenalan yang tak terduga." Ghifan tidak jadi mengatakan bahwa dia kenal dengan Syarastini berawal dari tadi malam dia dan gadis itu terjebak di dalam lift dan insiden tadi pagi. Biarlah itu menjadi rahasianya saja. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN