Chapter 6

1680 Kata
"Oh ya ampun! kita bertemu lagi di sini!" Syarastini bagaikan cacing kepanasan ketika dia masuk ke dalam mobilnya. Dia menepuk-nepuk pelan dua pipinya berulang kali agar warna merah merona itu hilang. "Hari ini kita bertemu dua kali, aku begitu beruntung …." Blush. Memerah lagi wajah Syarastini. "Oh ya ampuun! Tinii berhenti memerah!" Syarastini mengomeli dirinya sendiri. Dia berusaha untuk menenangkan jantungnya yang berdetak tak karuan. Sedangkan di mobil lain. Wajah Syarastya masih terlihat jelek. Dia masih mengingat wajah Ghifan tadi saat dia keluar dari kafe dan melihat wajah Ghifan, dia tersenyum ke arahnya. Ah, jadi sekarang Syarastya salah paham bahwa Ghifan memberikan dia senyum kecil. "Meskipun dia bukan perempuan itu tapi aku membencinya sampai ubun-ubunku," gumam Syarastya sambil menyetir. Dia menyetir hingga pulang ke rumah. °°° Setelah Syarastini merasakan bahwa wajahnya tidak lagi memerah, dia mulai menginjak gas dan mobil mini yang telah dia pakai selama beberapa tahun itu menjauh dari kafe. Sekitar setengah jam sampai ke kediaman Tinar. Syarastini keluar dari mobil, dia berjalan hendak masuk namun dia bertemu dengan sang ibu dan kakak perempuannya sedang duduk di teras depan sambil bercerita. "Mama, Kak Tia," sapa Syarastini. Shinta hanya mengangguk sedangkan Syarastya melirik ke arah sang adik, "Kenapa kamu terlambat setengah jam dari kepulanganku ke rumah?" "Itu … di tempat parkir kafe penuh dan banyak pengunjung antri untuk mendapatkan tempat parkir, jadi mobil Tini tidak bisa keluar cepat," jawab Syarastini sambil menunduk. "Oh," desah Syarastya, dia terlihat puas dengan penjelasan adiknya. "Kalian berdua ke mana?" tanya Shinta setelah dia mendengar pertanyaan Syarastya pada Syarastini. "Kita bertemu di kafe, Ma. Lalu makan bersama Ika," jawab Syarastya. "Oh, begitu." Shinta hanya mengangguk singkat. "Tini, masuk ke dalam, jangan terlalu keluar rumah," ujar Shanti. "Iya, Ma, Tini masuk," sahut Syarastini sopan. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkan Syarastya dan Shanti melanjutkan percakapan mereka. "Papa kamu berencana akan memberikan kepemimpinannya padamu, Tia. Mama juga sudah katakan pada Papamu bahwa kemampuan bisnis kamu lebih baik karena kamu sedari muda sudah terjun di dunia bisnis, harga saham Tinar juga bagus, naik secara berkala dan banyak peminat," ujar Shinta. Syarastya mengangguk mengerti. "Ya, Tia siap mengambil alih perusahaan," balas Syarastya. Sementara itu, Syarastini tidak melangkah maju ke dalam rumah, dia berdiri di balik pintu, Syarastini tidak tahu kenapa dia dilarang bekerja, sedangkan dia juga anak dari orangtua yang sama dengan Syarastya. Banyak orang berpikir bahwa dia adalah anak bungsu jadi disayang oleh orangtuanya hingga Badar dan Shinta tak mau memberikan pekerjaan pada sang anak bungsu. Namun, di lain sisi, Syarastini keberatan, dia juga ingin mandiri, dari kecil hingga besar dia selalu diantar kemanapun, hingga dia lulus kuliah, orangtuanya memutuskan bahwa dia tak boleh bekerja dan di rumah saja, Syarastini yang sebagai anak hanya menurut. Mungkin karena dia disayang, sang kakak terlihat agak cuek padanya, namun entahlah, Syarastini masih terlihat ragu. Di umurnya yang sudah 24 tahun ini, dia ingin hidup mandiri. Syarastini berjalan ke arah kamarnya dengan dua jemari tangannya tertaut. Dia seperti sedang berpikir keras. "Dari mana?" suara seorang pria paruh baya terdengar di pendengaran Syarastini. "Papa." Syarastini tersenyum. "Tini dari kafe, tadi makan kue tart dengan kak Tia," jawab Syarastini. "Oh begitu. Ya sudah, masuk kamar. Jangan berjalan tidak jelas, kamu anak perempuan," ujar Badar. "Iya, Pa." Syarastini mengangguk patuh, dia masuk ke kamarnya. Lalu apa bedanya Syarastya dengannya? Syarastya juga anak perempuan. Apakah karena umur sang kakak yang telah terbilang matang dan mampu mengendalikan perusahaan maka dari itu sang ayah memberikan kelonggaran pada kakaknya? Syarastini mengunci pintu kamar lalu duduk di atas ranjang. Tak lama kemudian dia tidur terlentang menghadap plafon kamar. "Huuf … Papa dan Mama selalu saja menganggap aku masih kecil seperti dulu … aku sekarang telah dewasa … sudah dua tahun lulus kuliah … bahkan teman-temanku semuanya telah bekerja, dan ada juga yang sudah menikah …." "Nikah … kapan hal itu akan terjadi padaku?" gumam Syarastini. Dia tidak bisa menebak takdir Ilahi, kapan dia akan menikah. Saat memikirkan menikah, seseorang terlintas di benaknya. Blush. Wajah Syarastini memerah. "Ghifan … hmmpp …." Syarastini tersipu malu sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. °°° Ghifan masuk ke rumahnya, dia sudah menebak ini, siapa lagi di depannya yang suka pamer kemesraan kalau bukan dua orang yang berbagi darah Nabhan dengannya. Ayah dan saudara kembarnya. "Sayang," panggil ayahnya pada pada sang ibu. "Hm?" Gea hanya menyahut sambil membaca majalah, dia menikmati pijatan lembut sang suami di dua pundaknya. "Kamu ada niat untuk pensiun, nggak?" tanya Busran. Pertanyaan Busran ini membuat sepasang muda mudi yang baru menikah tak jauh dari mereka menoleh serentak. "Memangnya kamu mau pensiun?" tanya Gea balik. "Yah aku sih semua dari kamu aja," jawab Busran. "Kamu sudah bosan kerja?" tanya Gea. "Aku nggak, kok," jawab Busran. "Aku kira kamu sudah bosan kerja," timpal Gea. "Tidak ada kata bosan di kamus Busran jika berkaitan dengan Gea," ujar Busran. Jurus merayu kini dia luncurkan. "Aku tidak masalah apakah pensiun ataukah tidak, yang aku harapkan Ghifan sehat-sehat dan bisa mengendalikan perusahaan untuk menggantikan kamu. Tapi kamu tahu sendiri kan, Ghifan ingin mulai dari yang lebih kecil, dan aku menghargai pilihan anak kita. Aku hargai pilihan Ghifan dan tidak ingin menuntut ini dan itu pada anak-anak kita. Kamu telah tahu masa lalu keluargaku, aku tidak ingin … memaksakan kehendak kita untuk anak-anak … cukup hal itu terjadi pada generasiku saja … itu beban bagi anak … karena aku merasakannya sendiri lewat Kak Momok yang tersiksa …." Busran macet bicara. Dia memilih tidak lagi ingin melanjutkan bicaranya. Dia telah lupa bahwa memberi suatu tanggung jawab besar pada anak-anak itu beresiko secara mental dan fisik. "Bus." "Ya?" sahut Busran. "Aku masih kuat kerja. Jika kamu mau istirahat kerja, tidak apa-apa, aku bisa kerja sendiri," ujar Gea. "Aku masih kuat! lihat ini, otot-ototku masih kekar, tidak lembek sama sekali. Malah makin bugar setiap kali kerja." Busran terlihat bersemangat menolak halus tawaran istrinya. "Hahahaha!" Busran tertawa agar sang istri percaya bahwa dia memang masih kuat kerja. "Sayang, ke manapun kamu pergi aku ikut, bahkan ke jurangpun aku ikut," ujar Busran dengan nada bersemangat. "Hah, kamu saja yang masuk jurang sendiri, aku tidak mau ke sana. Aneh-aneh!" Gea mencebik. "Heheh, kan kalau kamu mau masuk, Sayang." Busran mengecup pipi kanan sang istri dari belakang. Gaishan dan Fathiyah ikut tertawa, sedangkan Ghifan terenyah hatinya. Meskipun ibunya dikatakan salah satu Nyonya Nabhan galak, namun dia tetap penyayang. Ghifan tahu bahwa ibunya itu membebaskan dirinya untuk memilih pilihan mana yang ingin mereka mau. Sebenarnya Farikin's Seafood akan diteruskan oleh Gaishan, namun karena Gaishan menolak harta warisan, dan kakak kembarnya itu memilih membangun sendiri kerajaan bisnisnya, maka Ghifan yang menggantikan, tidak mungkin juga adik mereka yang mengambil alih perusahaan karena sang adik ingin menjadi PNS mengikuti jejak keluarga Baqi dari sang ibu. "Huum, Papa dan Mama pamer terus," ujar Ghifan. Dia berjalan mendekat ke arah para pasangan. Gea menoleh ke arah anaknya, "Oh, kamu sudah pulang. Duduk, bentar lagi makan siang." Ghifan duduk di kursi berseberangan dengan ibunya. "Gimana tadi?" tanya Gea. "Lancar, Ma. Semua udah siap, tinggal besok aja Ghifan sama Papa ketemuan dengan perwakilan perusahaan Hongkong di ruang rapat perusahaan kita," jawab Ghifan. "Hum, bagus. Mama dengernya Mama puas." Gea manggut-manggut mengerti. "Ghifan kok sudah jarang lihat Sira nimbrung bareng Papa dan yang lainnya?" tanya Ghifan. Dia memang sudah jarang melihat keberadaan sang adik. "Huh, sibuk kerja. Tau ah, Papa pikir Papa udah nggak punya anak perempuan lagi-auh!" Plak! Gea menjitak punggung tangan sang suami. "Nyesel kamu, aku lahirin anak perempuan untuk kamu?" Gea mulai melotot ke arah suaminya. "Hahaha, tentu saja tidak sama sekali. Malah dari sekian banyak anak yang kamu lahirkan, aku paling cinta dan sayang sama anak perempuan kita. Yang lain buang ke laut." Busran menyanggah ucapan istrinya. Gaishan dan Ghifan, "...." "Ma, Papa kok terkesan nggak ngehargain Mama yang udah capek-capek ngeluarin aku dan Ghifan dari dalam perut Mama, yah." Gaishan mulai memanasi sang ibu. Anak menyebalkan! Batin Busran berteriak. Busran cepat-cepat melirik ke arah sang istri lalu tersenyum manis. "Semua anak-anak kita, aku sayang. Termasuk Gaishan dan Ghifan kok. Sayang, lihat aku. Aku tadi ngomel-ngomel seperti pak tua karena putri kita itu jarang sekali gabung bersama kita. Palingan makan malam terus balik lagi ke kamar. Dulu Sira nggak kayak gitu, tapi setelah dia ditugaskan menemani duta Perancis terus, waktu Sira untuk kita sedikit. Terus kerja. Aku yang sebagai ayah tentu saja ingin komplain." "Yah, mau bagaimana lagi. Duta Perancis terus-terus undang putri kita untuk ke sana." Gea menarik dan menghembuskan napas susah. Di dalam kamar, Bushra terlihat menggigit bibirnya, di depan layar laptopnya seorang wajah pria asing bermata abu-abu juga terlihat diam. "Sepertinya untuk beberapa hari ini jangan hubungi aku," ujar Gea. Pria itu terbelalak. "No, i can not-" (Tidak, aku tidak bisa.) "Eric, jika Papa tahu kita berhubungan, maka Papa pasti akan marah. Kita ini backstreet, bukan terang-terangan," potong Bushra. "Sira, i will meet up your father and ask about our-" (Sira, aku akan bertemu ayahmu dan meminta tentang-) "Eric, stop. You can't do it. You don't know how much my father disliked strangers." (Eric, berhenti. Kamu tidak bisa lakukan itu. Kamu tidak tahu betapa tidak sukanya ayahku pada orang asing.) "Oh babe-" (Sayang) "Sira, Papa dengar suara laki-laki. Itu kamu vc dengan siapa?" Mati! Wajah Bushra pucat. Dia dengan cepat memutuskan panggilan video lalu memutar beberapa dokumentasi dari video dia mendampingi duta besar Perancis. "Oh, ini Pa, Sira lagi kelompokin video dokumen untuk nanti mau Sira presentasikan ke menteri pariwisata, sebagai hasil kerja." Ya Allah, ampuni dosaku yang berbohong ini pada Papa, batin Bushra berdoa. "Huem, si Kumantoro itu lagi. Papa dengar namanya Papa jadi muak." Busran mencebik. "Jangan di kamar terus, istirahat kerja. Ayo makan siang," ujar Busran. "Baik, Pa." Bushra mematikan komputer lalu berdiri merangkul sang ayah. Ayahnya kesal lagi, jadi dia harus pintar-pintar merayu sang ayah agar tidak marah. Jangan sampai dia ketahuan pacaran dengan orang bule. Bisa habis si bule itu di tangan ayahnya. Sedangkan di Paris. Mati-matian Eric tahan agar kelopak matanya tidak mengantuk hanya untuk melihat kekasihnya, namun apa daya, posisinya yang sebagai pacar tidak kuat menggeser posisi ayah dari pria paruh baya itu Poor Eric. °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN