TWEE

1421 Kata
Semilir angin yang menyusup ke dalam kamar bernuansa biru muda nyatanya tak mengganggu fokus sang empunya kamar. Remaja berkaus putih itu tetap tenang membolak-balikkan halaman buku di hadapannya dengan mulut komat-kamit layaknya membaca mantra. Sagara memijit pelipisnya pelan. Besok guru mata pelajaran Sejarah akan mengadakan ulangan, dan Sagara harus belajar agar nilai yang didapat sempurna. Jika tidak, maka Luna akan menghinanya lagi, kemudian membandingkan dirinya dengan Elio. Remaja itu memainkan pulpen di tangannya. Memikirkan soal sifat Luna yang pilih kasih membuatnya lumayan sedih. Sebab, bila diingat-ingat. Sejauh ini, sebaik apapun usaha Sagara, wanita itu sama sekali tak mau memberikan sedikit pujian. Berbeda dengan Elio yang selalu dimanja meski bocah itu tak melakukan apa-apa. Namun, apabila dipikir lagi. Sagara merasa, ini juga salahnya. Karena otaknya tak seencer Elio. Andai ia bisa sepintar sang adik, mungkin ibunya bisa sedikit menoleh padanya. Lagi, dia hanya berandai-andai. “Bang, bantuin gue, dong!” Seruan diiringi bantingan pintu membuat Sagara terlonjak dan ditarik paksa dari lamunannya. “Astaghfirullah, El!” Sagara mengusap d**a. “Gue jantungan, sumpah! Lo kalau masuk ke kamar orang, ketuk pintu dulu, kek. Jangan main dobrak kayak mau nagih utang, Ya Allah,” cercanya seraya menatap kesal sang adik. Yang menjadi tersangka hanya menampakkan cengiran sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia menutup pintu secara perlahan dan langsung merangkul bahu sang kakak dengan wajah tanpa dosa. “Perasaan gue udah nggak enak, nih. Mau apa lagi kali ini?” tanya Sagara dengan raut curiga. Elio lagi-lagi cengengesan, sebelum akhirnya menunjukkan buku gambar yang tadi dia bawa. “Bantu gue ngewarnain, dong. Tau sendiri ‘kan, kalo gue payah banget soal warna. Ini tugas seni rupa, kalau nanti yang kasih warna gue, udah pasti nilainya hancur,” tukasnya memelas. Memang benar kata lirik lagu, bahwa manusia tiada yang sempurna. Dan Elio adalah bukti nyata. Dari pengamatan Sagara, Elio sangat mahir dalam hal akademis dan olahraga, tapi soal praktik seni dan kerajinan. Bocah itu sangat payah. Pada akhirnya Sagara mengangguk. “Oke, gue bantu. Tapi lo di sini temenin gue, nggak boleh balik ke kamar sebelum ini selesai,” pungkasnya kemudian. Mendengar jawaban itu, Elio mendekati kakaknya penuh antusias. “Siap, siap. Gue bagian jaga lilin, deh!” “Sembarangan! Dikira gue babi ngepet?” Sagara melayangkan pukulan kecil ke lengan adiknya. Keduanya saling melempar candaan, sebelum berakhir serius mewarnai sketsa yang sudah Elio buat. Di sini, yang banyak bekerja hanya Sagara. Sementara Elio, dia bertugas sebagai asisten, menyerahkan warna apa saja yang Sagara butuhkan. Butuh waktu satu jam hingga gambar yang tadi hanya berisi garis hitam sketsa, kini menjadi sebuah halaman penuh warna. Elio bertepuk tangan ketika melihat hasil mewarnai kakaknya. “Tuh, ‘kan. Apa gue bilang. Abang gue emang paling jago soal ginian.” Elio mengangkat buku gambarnya ke atas seperti sedang menerawang. Beberapa kali bocah itu berdecak kagum dengan hasil digenggamnya. Melihat tingkah adiknya yang kekanak-kanakan membuat Sagara menarik kedua sudut bibirnya. Entahlah, meski terkadang Elio menjadi orang yang membuatnya iri, tetapi Sagara tak bisa membencinya. Justru karena keberadaan Elio-lah yang membuatnya bertahan di rumah ini hingga sekarang. “O, iya. Gue balik ke kamar bentar, jangan kunci pintunya dulu. Gue mau balikin sepatu lo,” ujar Elio dengan tangan sibuk merapikan krayon yang berceceran di lantai. Bocah itu berlari kecil meninggalkan kamar Sagara. Hanya membutuhkan waktu dua menit untuknya kembali ke dalam ruangan bernuansa biru muda itu. “Nih, maaf gara-gara gue, lo dimarahi sama Mama.” Elio menyerahkan sepatu berwarna merah di genggamannya kepada kakaknya. Sagara menggeleng dan tersenyum menerima uluran tangan Elio. “Bukan masalah besar, cuman dimarahi begitu mah udah biasa. Kayak nggak kenal Mama aja,” tuturnya. Keheningan sempat melanda keduanya. Sagara mengembalikan sepatunya ke dalam rak sepatu kemudian menyibukkan diri untuk menata buku ke dalam tas. Sementara itu, Elio memantung di tempatnya. Memikirkan makna dari kalimat yang baru saja kakaknya ucapkan. Elio melihat dengan jelas sifat pilih kasih yang orangtuanya berikan kepada mereka. Dia juga tahu, alasan mengapa Luna begitu benci pada Sagara. Akan tetapi, sampai sekarang bocah itu tidak setuju dengan alasan ibunya itu. Kagum, sebenarnya itu kesan yang selama ini Elio lekatkan pada kesabaran dan ketabahan Sagara selama ini. Hanya saja, dia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan rasa kagum itu. Semua berakhir dengan dirinya yang terus menempel pada Sagara. “Lah, lo ngapain masih berdiri di situ? Tidur sana, ini udah malem. Nanti kalau Mama tahu lo ada di sini, kita bisa kena marah,” tegur Sagara ketika mendapati sang adik masih berada di kamarnya. Cowok itu menutup jendela dan mematikan lampu belajar. Berjalan ke arah kamar mandi untuk menggosok gigi, kemudian mencuci tangan, wajah serta kakinya. Sampai dengan dia keluar dari kamar mandi, Elio masih mematung di tempat semula. Sagara jadi khawatir dengan adiknya ini. “Heh! Disuruh balik ke kamar, malah ngelamun. Lo kenapa, sih? Ada yang salah sama kamar gue? Atau hasil mewarnai tadi?” Lagi, Sagara menegur Elio, kini dengan suara sedikit keras. Elio terkesima, dia menggeleng cepat dan tersenyum canggung. “Nggak kenapa-kenapa, kok. Hehe.” Bocah itu duduk di tepi ranjang Sagara. Dia mengatakan baik-baik, tetapi malah duduk di tepi kasur. Sagara jadi bingung melihat tingkah laku adiknya. Urung mematikan lampu, Sagara memilih untuk duduk di samping Elio hingga jarak antara mereka hanya tersisa satu jengkal. “Astaghfirullah, El. Ada apa, sih? Lu aneh kalau kayak gini.” Remaja itu menatap heran pada adiknya. Mendengar yang lebih tua kembali mengucapkan istigfar, Elio terkekeh. Padahal dia hanya ingin mengucapkan beberapa patah kata, tetapi rasa malu justru menyelimutinya. Jemari Elio bertaut dan sesekali dia menggaruk tengkuk. Setelah beberapa kali seperti itu, akhirnya ia buka suara. Bocah itu menatap dalam-dalam netra Sagara. “Gue sayang sama lo, Bang. Tolong jangan benci gue gara-gara Mama pilih kasih, ya?” Bukan marah atau sedih yang Sagara rasakan ketika mendengar penuturan Elio, melainkan bingung. Cowok itu sampai menaikkan sebelah alisnya dan menatap tak percaya pada yang lebih muda. “Lo ngomong apa, sih? Nggak paham gue.” Elio sudah terlampau malu untuk mengulang kata-katanya. Lantas berkata, “Ya, pokoknya gitu.” Sebelum Sagara sempat membalas ucapan ambigu sang adik, Elio lebih dulu bangkit dan berlari meninggalkan kamar Sagara. Lagi-lagi membanting pintu dengan keras hingga membuat si pemilik kamar terheran-heran. Selepas kepergian adiknya, senyum tipis terluas di bibir tipis Sagara. “El, El. Gimana gue bisa benci sama lo. Sementara lihat muka lo cemberut aja gue nggak tega,” gumamnya bermonolog. Pukul satu dini hari, begitulah waktu yang ditunjukkan oleh jam raksasa di ruang keluarga. Nyaris semua lampu di dalam rumah sudah dimatikan, hanya menyisakan beberapa sudut yang dibiarkan menyala. Saat di mana seluruh penghuni rumah terlelap dalam mimpi. Akan tetapi, berbeda dengan Sagara yang harus mengendap-endap keluar dari kamarnya dengan cacing yang sudah konser di perutnya. Remaja itu terpaksa turun ke dapur untuk mencari makanan yang bisa digunakan untuk mengganjal rasa laparnya. Dia tidak ikut makan malam karena sibuk belajar untuk ulangan esok hari. Niat hati ingin menunda lapar hingga pagi, tetapi cacing yang tidak sopan justru menagih sesajen di saat seperti ini. Begitu sampai di dapur, Sagara sama sekali tak melihat ada makanan di atas meja. Wajar saja, karena Luna tidak pernah membiasakan diri untuk membuang-buang makanan. Sebisa mungkin dia memasak dengan porsi yang pas, dan mengingat bahwa tadi Sagara sudah mengatakan tak ikut makan malam. Luna pasti mengurangi takaran masak. “Apa boleh buat, kalau Cuma mi instan yang jadi penyelamat,” lirihnya pada diri sendiri. Mengatasi rasa lapar di tengah malam seperti ini sudah bukan hal rumit lagi bagi Sagara. Dengan sigap, ia mengambil panci dan mengisinya dengan air secukupnya. Setelahnya, menyalakan kompor dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan keributan kemudian menumpangkan panci berisi air tadi di atasnya. Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit hingga semangkuk mi instan dengan kuah siap disantap. Sagara menaruh mangkuk ke atas meja kecil yang ada di dapur dan dirinya sendiri duduk di atas kursi. Usai membaca doa makan, Sagara mulai menyantap makanan penyelamatnya dengan lahap. Entah ini hanya perasaan Sagara saja atau orang lain juga merasakannya. Bahwa makan mi instan ketika lapar di tengah malam adalah sebuah kenikmatan tiada tara. Seseorang datang dan menyalakan lampu dapur ketika Sagara baru menyantap sebagian dari makanannya. Bocah itu semakin terkejut ketika tahu bahwa orang itu adalah Luna. “Mama ….” Lirihnya pasrah. Dia sudah bersiap untuk dimarahi sang ibu. Namun, di luar dugaan Sagara. Luna hanya diam tanpa menggubris keberadaan putranya. Wanita itu hanya datang untuk menuntaskan dahaganya dan berlalu begitu saja. Selepas kepergian Luna, Sagara menghembuskan napas lega. Sepertinya hari ini Tuhan masih mengizinkan dia untuk menuntaskan isi mangkuk yang masih tersisa setengah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN