Dering ponsel di atas nakas membangunkan sosok yang awalnya tenggelam dalam selimut. Cowok itu tak langsung bangun, melainkan berguling ke kanan dan kiri sembari meregangkan otot-ototnya.
“Hoam ….” Sagara menguap.
Hingga ponselnya berdering untuk kedua kalinya, remaja itu baru duduk dan bersandar pada headboard ranjang. Dengan mata yang masih setengah terpejam ia meraba nakas dan mengambil ponsel. Usai mematikan alarm, ia melempar asal benda pipih itu ke atas kasur.
Sagara melihat ke luar dari balik jendela. Remang-remang sinar matahari mulai menerobos ke dalam kamarnya. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Sagara bangkit dan berjalan mendekati jendela.
“Masyaallah,” gumamnya begitu udara pagi menerpa wajahnya ketiga jendela terbuka.
Dari jendela kamar, Sagara bisa melihat matahari terbit dan juga beberapa tanaman hias milik Luna. Hijau dedaunan dan hangatnya sinar matahari pagi membuatnya ingin berlama-lama berada di situ. Akan tetapi, mengingat Luna akan mendobrak pintu kamar dan meneriakinya, membuat Sagara urung melakukan.
Cowok itu berbalik kembali ke ranjang, melipat selimut serta menata bantal lantas berjalan ke arah kamar mandi. Sembari menggosok gigi dan mencuci muka, Sagara bersenandung kecil. Dia tidak tahu persis lagu apa yang ia nyanyikan. Yang jelas, dia merasa bahagia meski hanya menyanyikan nada acak.
“Sip! Waktunya menjalankan tugas bersama Mama tercinta,” celoteh di depan cermin.
Dengan semangat serta kesadaran yang sudah terkumpul penuh. Sagara meninggalkan kamarnya dan berjalan menuruni tangga menuju dapur. Tempat yang biasa ia kunjungi setiap pagi sebelum melakukan kegiatan lain.
Ketika tiba di dapur, Sagara melihat sosok yang amat dicintainya sudah siap dengan apron menempel di tubuh ramping itu. Entah harus berapa kali Sagara mengatakan bahwa ibunya adalah wanita tercantik di dunia. Pemuda itu tidak peduli, seburuk apa pun perlakuan Luna padanya, Sagara akan tetap menyayangi sang ibu dengan seluruh jiwa raga.
“Kita mau masak apa, Ma?” Sagara mensejajarkan diri di samping Luna. Tinggi cowok itu hanya berbeda tujuh sentimeter dari ibunya.
Sosok yang semula fokus mengusapkan spons cuci ke piring-piring kotor di hadapannya lantas menoleh. Tak ada kehangatan dalam sorot matanya yang tajam. Luna menghentikan gerakannya dan mencuci tangan.
“Kamu lanjutin cuci piring sama panci ini aja, hari ini Mama nggak bikin sarapan.” Wanita itu melepaskan apron dan menyerahkan kain itu kepada Sagara.
“Mama mau bangunin Elio sama Papa, kita sarapan roti sama su*su,” sambungnya.
“Kok tumben Mama nggak masak. Emang Mama mau ke mana?” tanya Sagara yang tak bisa membendung rasa penasaran.
Luna tampak tidak suka dengan keingintahuan Sagara. Wanita itu menatap sinis pada bocah gingsul itu. “Bukan urusan kamu dan kamu nggak ada hak untuk tahu, Mama mau ke mana. Selesain cuci piring ini dan pergi sarapan, jangan bikin suasana hati Mama buruk di pagi hari!” geramnya.
Ujaran tersebut membuat Sagara bungkam seketika. Cowok itu tak lagi berani mengajak bicara Luna meski ia masih berada di dapur. Dengan cekatan, Sagara menyelesaikan kegiatan mencuci piring dan menatanya ke tempat yang seharusnya.
Akhir pekan kali ini sepertinya semua orang akan sibuk dengan urusan masing-masing. Semalam Sagara tanpa sengaja mendengar bahwa Dirga akan mengajak Elio pergi ke suatu tempat, tentu saja tanpa dirinya. Dan dilihat dari Luna yang tidak memasak, itu artinya sang ibu juga akan sibuk dengan urusannya.
Kini, hanya tinggal Sagara yang tak memiliki kesibukan. Laki-laki itu diam-diam memikirkan, apa yang akan ia lakukan di hari libur seperti ini? Namun, sekeras apa pun ia berpikir, tak ada tujuan yang jelas melainkan pergi ke rumah tetangga.
***
“Yok, masuk aja. Sorry lapangannya belum gue bersihin. Gue kira pas lo bilang dateng pagi tuh jam sepuluhan, lah ternyata jam segini udah nongol,” celoteh Daffin ketika mempersilakan Sagara untuk memasuki rumahnya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul delapan lebih lima menit.
Remaja itu hanya menggunakan celana pendek dan baju sleeveless ketika Sagara tiba. Keduanya berjalan beriringan menuju halaman belakang rumah.
Seperti yang Daffin katakan, lapangan kecil yang difungsikan sebagai tempat bermain basket memang masih dalam keadaan kotor. Dedaunan kering menutupi, nyaris seluruh lantai yang seharusnya berwarna hijau itu.
Tanpa disuruh, Sagara menyambar sebuah sapu lidi tak jauh dari tempatnya berdiri, begitu juga dengan Daffin.
“Pas lo bilang kotor, gue nggak nyangka bakal sekotor ini, Fin,” tukas Sagara dengan tangan sibuk menggerakkan sapu.
Daffin tertawa kecil. “Ya, maaf. Yang hobi main basket ‘kan abang gue. Sekarang dia udah kuliah di Amrik, nggak ada lagi yang serajin dia bersihin lapangan dua hari sekali. Gue mau-mau aja bersihin, tapi kalo pas inget aja. Hahaha.”
Sagara hanya geleng kepala mendengar jawaban sahabatnya. Memang benar, Daffin dan dirinya lebih suka memainkan futsal daripada basket. Hari ini pun mereka bermain basket karena malas bepergian jauh.
“Katanya Dimas sama Ridwan mau ke sini juga. Jam berapa?” tanya Sagara, mengganti topik pembicaraan. Dia tidak bisa jika lama-lama terjebak dalam keheningan.
“Mungkin udah otw. Katanya jam setengah sembilan udah sampai,” balas Daffin. Hanya mengira-ngira karena ia malas mengambil ponsel di kamarnya.
Sagara ber-oh ria mendengar jawaban Daffin. Keduanya kembali fokus menyapu bersih lapangan basket mini hingga akhirnya tempat itu layak disebut lapangan. Tepat ketika mereka selesai memasukkan sampah ke dalam bak, dua orang remaja datang menghampiri.
“Tuan rumah emang rajin bukan main,” puji salah seorang dari mereka.
“Tuh, panjang umur lo berdua. Baru disebut udah nongol.” Daffin meletakkan sapunya ke tempat semula. “Kalau gitu, tunggu bentar. Gue ambil bola dulu,” ujarnya kemudian berlari kecil ke dalam rumah.
“Rumah lo deket sini juga, ya, Ga? Kok gue perhatiin dari dulu kalian selalu nempel kayak prangko gitu,” tanya sosok bernama Ridwan.
Pertanyaan klasik, tetapi jawabannya sering dilupakan. Sagara tersenyum dan membalas, “Iya. Gue sama Daffin emang temenan dari kecil. Rumah gue juga masih satu daerah sama rumah Daffin, beda gang aja.”
“Wih, keren ya kalian. Bisa awet temenan sampai segede ini,” puji orang di samping Ridwan yang tak lain adalah Dimas.
Lagi-lagi Sagara tersenyum mendengar pujian yang dilontarkan. “Mau itu hubungan pertemanan atau lainnya. Asal kita saling memahami dan mengerti, gue rasa bakal selalu ada alasan untuk bertahan,” balasnya santai.
Memang benar apa yang dia katakan. Sebab, selama ini kepribadian Sagara dan Daffin sangat bertolak belakang. Sagara cenderung tenang dan berhati lembut, sedangkan Daffin mudah tersulut emosi dan suka menghancurkan barang jika marah. Dengan perbedaan seperti itu. Bukannya menjadi penghalang, justru mereka saling melengkapi.
***