VIER

1105 Kata
“Gimana, nih. Main dua lawan dua aja, ya? Mengingat tujuan kita main basket ini hanya karena gabut.” Daffin muncul dengan sebuah bola di tangannya. Butuh waktu lama baginya untuk menemukan letak bola itu di dalam gudang. Ketiga cowok yang tadinya asyik mengobrol, langsung menyetujui usulan Daffin. Bertanding basket karena tidak tahu harus melakukan apa di hari libur, nyatanya lebih bermanfaat daripada mengurung diri di kamar bersama gadget. Dua puluh menit bermain. Empat remaja yang awalnya bertenaga dan penuh semangat saling mengoper bola, kini terkapar di tengah lapangan dengan posisi telentang. Dengan napas kembang-kempis, mereka tak lagi mampu untuk melanjutkan permainan. “Astaghfirullah, ini kenapa pada goleran di lapangan kayak ikan asin lagi dijemur?” pekik seorang wanita yang datang dari arah rumah. Mendengar pekikan itu, Sagara menjadi yang pertama bangkit dan mengambil posisi duduk. “Tante Mita, maaf kita kecapekan, habis main. Hehe,” sahutnya malu-malu. “Iya, Ma. Nggak nyangka ternyata cuman jiwa dan usia kita aja yang muda, tubuh kayaknya udah mulai rapuh,” sambung Daffin tak berdaya. “Kita ini remaja jompo, Tante,” timpal Sagara mengusap keringat di dahinya. Ocehan bocah itu membuat Mita tertawa. Wanita itu mengajak anak-anak yang kelelahan itu untuk masuk dan beristirahat di ruang tamu. Melihat Mita yang akan pergi ke dapur untuk mengambil beberapa camilan. Sagara menawarkan diri untuk membantu. Ia sudah sangat akrab dengan wanita empat puluh lima tahun itu. Bahkan kedekatan melebihi kedekatan dirinya dengan Luna. “Tante, kacang atom ini juga mau sajiin?” tanya Sagara ketika melihat setoples kacang atom berada tak jauh dari kumpulan camilan yang Mita sediakan. Mita mengangguk. “Iya, itu Tante bikin sendiri. Kamu taruh aja di nampan. Biar Tante yang bawa ke sana,” tukasnya tanpa menoleh. Ia masih berkutik dengan gelas dan air. “Oh, iya, Ga. Gimana Mama kamu? Apa masih jahat sama kamu?” celetuk Mita tiba-tiba. Pertanyaan itu membuat Sagara membeku. Mita dan Luna adalah teman, sama seperti dia dan Daffin. Hanya saja, sifat keras kepala berada pada ibu Sagara. “I–itu … Mama baik, kok.” Sagara menunduk, tak berani balas menatap Mita. “Aku nggak bisa sebut Mama jahat, Tan. Mama Cuma butuh waktu aja.” Mita mengelus rambut hitam Sagara. “Tante nggak tahu, hati kamu ini terbuat dari apa, Ga. Bisa sesabar ini sama kelakuan mamamu dan suaminya.” “Andai dulu papa kandung kamu nggak selingkuh, mungkin kamu bisa bahagia. Nggak kayak sekarang, Luna benar-benar menjatuhkan semua rasa bencinya sama kamu,” imbuhnya sendu. Jika ditanya siapa yang paling mengerti kondisi Luna di masa lalu, maka Mita adalah saksi hidup perpecahan pasangan muda itu. Wanita itu masih ingat jelas, bagaimana ekspresi wajah Luna ketika hatinya hancur oleh suaminya sendiri. “Tante, kenapa sedih? Jangan mikir hal itu lagi. Mau itu karma atau bukan, aku ikhlas kok jalani. Kadang capek, sih. Tapi aku nggak apa-apa, hehe.” Melihat Mita murung, Sagara mencoba memberi kalimat penenang. Toh, yang diratapi oleh wanita itu adalah masa lalu, di mana waktu tak bisa diputar kembali untuk memperbaiki suatu peristiwa. Mita memaksakan senyum. “Oke. Sekarang kita bawa ini ke ruang tamu, ya? Teman-teman kamu pasti udah kehausan karena nungguin kita,” ujarnya kemudian menyambar nampan. Mengabaikan sesak di d**a, keduanya kembali pada tujuan awal. Membawa nampan berisi minuman serta camilan untuk tamu. Sagara bisa melupakan rasa sakit itu sejenak, ketika ia berada di sekitar teman-temannya. Meski sementara, setidaknya dia tahu. Hidup yang ia jalani bukan hanya soal sedih, tetapi juga senang dalam pembagian yang setara. *** Kasak-kusuk yang dilakukan oleh beberapa anggota PKK usai hasil arisan diumumkan semakin riuh. Tak sedikit dari mereka memberi selamat pada yang memenangkan arisan hari ini, sebagian juga mengeluh karena hari ini belum gilirannya. Luna menyunggingkan senyum melihat kelucuan para ibu yang kini bertingkah layaknya remaja. Dia memang tak banyak bicara ketika menghadiri acara PKK, tetapi dirinya menikmati momen di mana wanita seusianya saling melontarkan candaan. Menurut Luna, itu cukup membuat ia terhibur. “Kamu kenapa duduk di sini aja? Nggak bergabung sama ibu-ibu lain?” Suara yang sangat Luna kenal menyapa dari balik tubuh wanita itu. Luna menoleh dan tersenyum sekilas. Dia memang sedikit menjauh dari kelompok yang masih sibuk bergosip dan bercanda, karena dirinya mulai jenuh. Alhasil Luna duduk di teras dan pura-pura memainkan ponselnya. “Aku bosen, Mit. Lagian acaranya udah selesai. Tinggal tunggu waktu pulang aja, ‘kan?” sahut Luna ketika Mita mengambil tempat duduk di depannya. Mita mengangguk, paham dengan tabiat sahabatnya yang tak suka berlama-lama dalam keramaian. Dia menatap Luna sejenak, kemudian mencoba meyakinkan diri. Apakah ia harus mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya atau tidak? “Lun,” panggilnya lirih. Si lawan bicara pun menanggapi panggilannya dengan menaikkan sebelah alis. “Apa?” Mita menelan ludah, sebelum akhirnya berkata, “Kamu masih benci anakmu?” “Maksud kamu, Sagara?” Luna memperjelas. “Iya. Siapa lagi kalau bukan dia? Kamu juga nggak mungkin ‘kan benci Elio. Nggak ada alasan juga buat benci si bungsu.” “Aku nggak tau.” Luna menghela napas dalam-dalam. “Setiap lihat wajah bocah itu, aku selalu ingat sama dia. Dan semakin aku ingat, rasa benci itu makin besar.” “Orang itu pergi gitu aja setelah kita pisah. Seakan nggak ingat kalau aku masih mengandung anaknya,” lanjutnya. Mita mengangguk, tetapi dia tak membenarkan ucapan Luna. Karena mau bagaimana pun, anaknya tak pantas mendapat perlakuan seperti itu. “Tapi Sagara nggak punya salah ke kamu, Lun. Terlepas dari perlakuan ayahnya yang bikin kamu sakit, Sagara tetap darah daging kamu. Kalau kamu bilang Saga Cuma anak dia, kenapa sampai sekarang kamu pertahankan anak itu sampai sekarang? Kamu bisa aja—” Luna memotong ucapan Mita dan berkata, “Aku sengaja lahirin anak itu, karena biar dia tahu. Kalau ayahnya yang bikin aku kayak gini. Dia harus tahu rasa sakit yang aku rasakan dulu.” “Astaghfirullah, Luna. Kamu sadar nggak, sih, sama omongan kamu barusan?” seru Mita dengan suara tertahan. Dia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia dengar. Seakan tak peduli dengan seruan sang sahabat, Luna bangkit dan menyambar tasnya. “Aku sepenuhnya sadar. Justru kamu yang kayaknya lupa, kalau selama ini aku udah menderita karena ayah anak itu.” Wanita itu menatap nanar pada Mita. “Kamu pasti anggap aku udah nggak waras. Oke, aku emang nggak waras. Jadi kamu nggak perlu urus hidup aku.” Ketegangan menjadi akhir dari percakapan dua sahabat itu. Luna meninggalkan tempat arisan dengan tergesa, enggan untuk mendengarkan penjelasan Mita. Suasana hatinya menjadi sangat buruk ketika seseorang mengungkit soal masa lalu. Luna tak pernah menginginkan hal buruk itu jatuh padanya. Dia korban, tetapi sahabatnya justru mengatakan bahwa ia adalah penjahat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN