Matahari sudah condong ke sisi barat ketika Sagara mendapati mobil ibunya memasuki halaman. Bocah itu sedang bermain game dengan Elio di teras ketika Luna datang dengan raut wajah masam. Dia dan juga adiknya tak berani untuk sekadar menyapa sang ibu.
Elio mengirimkan kode pada sang kakak melalui alisnya, tetapi Sagara balas menjawab dengan gelengan kepala. Bagaimana Sagara bisa tahu apa yang membuat suasana hati Luna buruk, sedangkan ia dan Elio sedari tadi menetap di teras?
“Hari ini ‘kan Mama arisan. Masa Mama ngambek karena namanya nggak keluar pas undian dikocok? Impossible banget nggak, sih?” Elio menerka-nerka.
Sagara nyaris tersedak ludah sendiri mendengar dugaan adiknya. “Nggak mungkin banget itu. Lagian, nih, Papa juga nggak pelit soal kasih uang belanja ke Mama,” terangnya yang membuat Elio mengangguk setuju.
“Ya, terus. Mama aneh gitu kenapa?” Elio lagi bertanya, tak puas karena belum menemukan penyebab ibunya bermuka masam.
“Ya, gue nggak tau! ‘Kan kita di rumah, nggak kintil Mama ke arisan. Gimana, sih. Lama-lama lo aneh juga, El,” balas Sagara mulai gemas.
Yang lebih muda tergelak mendengar jawaban kakaknya. Terkadang ketidakpuasan Elio terhadap jawaban membuat orang-orang di sekitarnya emosi. Beruntung Sagara memahami sifatnya, cowok itu hanya bisa gemas ketika keingintahuan Elio tak kunjung terpenuhi.
“Masuk, yuk. Capek mata gue satu jam mantengin hape,” ajak Sagara. Dirinya bangun dan terlebih dulu melangkah masuk ke rumah. Tak lama kemudian Elio ikut mengekor di belakangnya.
Keduanya melihat sang mama sedang bersandar di bahu sofa ruang keluarga. Tak ada sesuatu yang wanita cantik itu lakukan, selain duduk dan menatap televisi. Dia bahkan terlihat malas untuk melepas kacamata hitam yang masih bertengger di hidung, padahal tadi benda itu ada di kantong bajunya.
“Mama kok cemberut gitu? Kenapa?”
Elio lebih dulu menghampiri Luna dan duduk di sampingnya tanpa canggung. Sementara Sagara hanya berdiri di tempat, tak berani mendekat.
Luna berusaha tersenyum. “Nggak kenapa-kenapa, kok. Cuman agak capek aja,” sahutnya kemudian mengelus rambut Elio. Netranya tak sengaja beradu pandang dengan Sagara, ia kembali kesal ketika teringat percakapannya dengan Mita tadi.
Wanita itu melepas kacamatanya. “Kamu …” Ia menatap Sagara, “daripada diam jadi patung gitu. Lebih baik bersihin taman bunga Mama yang di belakang. Biar Mama yang masak buat makan malam,” titah Luna pada anak sulungnya.
Sagara terkesiap, tetapi ia langsung mengangguk. “Oke, Ma. Aku ke belakang sekarang,” sahutnya lantas melangkah pergi.
Sekilas, Elio melihat raut murung di wajah kakaknya. Dia jadi tak enak hati. Jelas penyebab murungnya Sagara adalah karena melihat watak pilih kasih sang ibu. Cowok itu kemudian berdiri menghadap Luna.
“Ma, aku bantuin Abang bersihin taman juga, ya. Gabut banget dari tadi cuman main game,” ungkapnya meminta izin.
“Tapi itu yang kotor sedikit, El. Yang kerjain Saga aja pasti kelar,” sanggah sang ibu.
“Nggak papa, Ma. Aku gabut banget soalnya. Boleh, ya? Ya? Ya?” desak cowok itu tak mau menyerah.
Melihat kegigihan Elio yang ingin membantu kakaknya, membuat kepala Luna berdenyut-denyut. Alhasil dia mengizinkan Elio untuk melakukan apa yang cowok itu inginkan, daripada kepalanya semakin pusing mendengar rengekan si bungsu.
???
Sampai di halaman belakang, Elio sudah mendapati kakaknya sedang mencabuti rumput di sela-sela pot bunga. Pemuda itu terlalu fokus pada pekerjaan sampai tak menyadari kehadiran adiknya.
Melihat Sagara yang tampak tak menyadari kehadirannya, muncul ide jahil di kepala Elio. Cowok itu berjalan mengendap-endap hingga sampai di belakang Sagara.
“DOR!”
“Astaghfirullah!” Sagara yang sedang berjongkok untuk mencabut rumput, langsung berdiri tegak dan berbalik dengan ekspresi kaget. Membuat si pelaku tertawa puas dengan kejahilannya.
“El! Ya Allah, lu hobi banget, sih, bikin Abang kaget. Gue bisa mati muda kalo gini caranya,” protes pemuda gingsul itu.
Elio buru-buru menghentikan tawanya dan meminta maaf. Entahlah, mengganggu kakaknya selalu menjadi kesenangan tersendiri bagi Elio. Apalagi melihat wajah manis Sagara menampilkan bermacam reaksi ketika diganggu. Itu benar-benar membuat Elio tergelak.
“Lo ngapain ke sini? Rumput-rumput liarnya cuman dikit, kok. Sebentar lagi juga gue kelar,” tukas Sagara sembari menunjuk tumpukkan kecil berupa rumput liar yang sudah ia cabut.
Elio menggeleng. “Gue gabut aja. Ya udah, akhirnya nyusul elo. Lagian gue tahu, Abang gue ini pasti kesepian di taman sendiri,” sahutnya enteng.
“Dugaan lo doang itu, mah. Gue udah biasa kerjain kayak gini sendirian, bukan masalah besar, hahaha.”
Tawa itu terdengar sumbang di telinga Elio. Kakaknya ini selalu berusaha kuat di hadapannya, tetapi dia tidak menyadari bahwa hal itu justru membuat Elio tersiksa. Bagaimana pun, ia sangat menyayangi Sagara, yang dia inginkan adalah melihat sang kakak bahagia.
Menepis pikiran sedihnya, Elio mulai bergerak membantu Sagara. Bocah itu ikut berjongkok di samping kakaknya dan tangannya mulai aktif bekerja. Tak jarang keduanya bersenda gurau untuk menghapus rasa bosan. Apalagi Elio yang tak bisa terjebak lama-lama dalam keheningan, bocah itu terus mengoceh meski Sagara menyuruhnya fokus pada pekerjaan.
Dengan adanya dua orang yang bergerak, akhirnya tugas membersihkan rumput selesai lebih cepat. Elio dan Sagara mengumpulkan tumpukkan rumput liar ke dalam cikrak.
“Biar gue aja yang buang ke tempat sampah, lo diem aja sambil tata ulang letak pot,” sergah Elio ketika Sagara bersiap mengangkat cikrak penuh rumput.
Sagara tak menolak bantuan adiknya dan menyerahkan benda di genggamannya kepada Elio. Sementara dirinya melakukan tugas lain, yaitu menata ulang pot agar terlihat rapi.
Aroma wangi dari beberapa bunga milik Luna memanjakan hidung Sagara. Bocah itu tersenyum sendiri ketika mengingat betapa bahagianya wajah sang ibu setiap kali datang ke taman ini. Senyum manis Luna dipadukan dengan warna warni bunga membuat Sagara terkagum-kagum. Ibunya menjadi berkali-kali lipat lebih cantik ketika sedang merawat bunga.
PRANGG!
Sagara terperanjat. “Astaga!” Pemuda itu menatap tak percaya dengan apa yang dia perbuat.
Tepat di depan kakinya, pot berisi bunga mawar Alba kesayangan Luna pecah dan tanahnya tercecer tak beraturan. Itu semua terjadi karena Sagara terlalu hanyut dalam pikiran, sehingga tangannya yang licin tak sengaja menjatuhkan benda itu.
Elio berlari mendekati Sagara dengan raut terkejut. “Astaga, Bang. Ini kenapa bisa jatuh? Ya Allah, ini mawar Alba kesayangan Mama,” cicitnya takut.
“Gue … gue cuman mau pindahin ini ke seberang. Soalnya di sisi lain udah penuh. Tapi malah jatuh, mana kena lantai bukannya tanah. Aduh, gimana, nih.” Sagara tak kalah panik.
Pasalnya, tatanan taman yang dibuat Luna cukup rumit. Wanita itu menanam bunga dalam pot dan juga tanah. Ada jalan kecil berlapis paving yang membelah taman itu. Niat awal Sagara adalah menata bunga yang ditanam dalam pot agar terlihat serasi di kedua sisi. Namun naas, dia justru menjatuhkan salah satu pot berisi bunga kesayangan ibunya.
Apa yang ditakutkan Elio benar-benar terjadi. Tak berselang lama, Luna datang. Wanita itu mendengar suara benda jatuh, kemudian bergegar menuju sumber suara. Betapa terkejutnya ia ketika melihat tanah berserakan di tempat tak jauh dari jajaran pot bunga lainnya.
“Ya ampun, ini kenapa bisa pecah?!” pekik wanita itu ketika melihat pemandangan di depannya.
Baik Elio maupun Sagara tak berani menatap wajah Luna. Keduanya menunduk dan bersiap menghadapi kemurkaan sang ibu.
Luna menatap anaknya secara bergantian. Mencoba menebak siapa yang menjadi pelaku jatuhnya pot. Melihat Sagara terus meremas jemarinya dan terlihat gugup. Wanita itu langsung paham.
“Saga, Mama minta kamu untuk bersihin taman. Bukan ngerusak, astaga!” geramnya penuh emosi.
“Maaf, Ma. Aku … aku ….”
Sagara kehilangan kata-kata. Dia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan pada Luna. Tidak mungkin mengatakan bahwa ia sedang melamun, membayangkan kecantikan wanita itu setiap berhadapan dengan bunga. Hal itu justru akan membuat Luna semakin marah.
“Yang jatuhin pot bukan Abang, Ma. Tapi aku.” Elio menengahi. Bocah itu tahu jika Sagara mengakui kesalahannya, maka Luna tak akan segan untuk menjatuhkan hukuman.
“Apa?” Luna mengernyit tak percaya. Sementara Sagara terkejut mendengar pengakuan adiknya yang jelas-jelas tidak benar.
“Iya, aku yang jatuhin pot. Niatnya aku mau pindahin ke seberang, tapi tanganku licin. Jadi jatuh potnya,” bohong bocah sipit itu.
Mendengar penjelasan si bungsu, Luna akhirnya mengangguk. “Ya udah, terserah. Kali Mama maafkan, tapi kalian harus bertanggung jawab.”
Dua bocah itu saling bertatapan. “Apa, Ma?” tanyanya serempak.
“Ganti tanaman ini dengan pot baru yang ada di gudang. Habis itu kalian baru boleh mandi dan makan malam,” pungkas sang ibu.
Luna tak mau berlama-lama berhadapan dengan anaknya yang berulah. Ia kembali bertolak ke dapur untuk melanjutkan kegiatan memasaknya yang tertunda. Meninggalkan dua bersaudara yang seakan bebas dari maut.
“Astaghfirullah, istigfar lo! Bohong sama Mama tuh dosa,” gerutu Sagara begitu Luna mrnghilang dari balik pintu. Ia memukul pelan kepala Elio karena terlalu gemas.
Sang adik meringis sembari mengusap kepalanya. “Kalo gue nggak bilang gitu, nanti Mama bisa kasih hukuman ke elo. Ditambah mood Mama yang lagi nggak baik, bisa jadi nanti hukumannya berkali-kali lipat, karena bunga ini Cuma mekar setahun sekali,” balasnya santai.
“Tapi nggak gitu juga.” Sagara geleng kepala. “Gue jadi nerasa bersalah kalo lo bohong buat nutupin kesalahan gue. Lain kali jangan diulangi lagi,” pesan cowok itu pada yang lebih muda.
Antara dengar dan tidak, Elio mengangguk dan berjalan menuju gudang. Mereka harus menyelesaikan tugas dari Luna sebelum matahari terbenam dan makan malam bersama.