ZES

1144 Kata
Lagu pembuka sebuah kartun berjudul Ninja Hatori memenuhi ruangan. Di depan televisi ada Sagara yang duduk bersila dengan mata terfokus pada layar benda berukuran dua puluh satu inci itu. Bukan hari Minggu, tetapi sekolah libur karena hari ini adalah hari libur nasional. Luna pergi bersama teman-temannya, mungkin itu sejenis reuni. Sementara Dirga dan Elio berencana untuk pergi, tentu tanpa Sagara. Itulah mengapa bocah itu merasa bosan dan berakhir menonton kartun yang ditayangkan di televisi. “Udah gede kok nonton kartun.” Sebuah suara dari belakang punggung mengejutkan Sagara. Ponsel di genggaman bocah itu terlempar dan mendarat ke lantai dengan begitu mulus. “Argh … Eeeellll! Hape gue jatuh, ya ampun.” Sagara memungut ponselnya dan menatap benda pipih itu dengan nanar. “Maafin Ayah, ya, Nak. Kamu udah jatuh dan tertarik oleh gaya gravitasi bumi untuk yang ke dua puluh satu kalinya setelah beli tahun lalu,” ratapnya penuh kesedihan. Si pelaku tertawa antara kasihan dan miris melihat reaksi kakaknya. Terkadang Sagara terlalu berlebihan ketika bereaksi, hal itu juga yang membuat Elio terhibur. “Lebay banget, anjir!” cerca Elio. Bocah itu lantas ikut duduk bersila di samping sang kakak. Merasa tersinggung dengan perkataan Elio, Sagara lantas menunjukkan layar ponselnya. “Noh, lihat. Kemarin retaknya baru ada lima, sekarang nambah dua garis lagi. Capek gue diginiin terus,” protesnya dengan wajah sedikit memerah. “Ck ck ck … Abang gue agaknya lagi datang bulan.” Elio mengerucutkan bibir. “Lagian yang jatuhin hape kan elu, bukan gue,” sungutnya ikut kesal. Pada akhirnya, dua bersaudara itu saling membuang muka. Kesal karena ulah masing-masing dan tak mau berbicara sampai Dirga tiba menghampiri mereka. Pria itu bingung ketika melihat dua bocah dalam satu ruangan, tetapi seakan saling membuang muka. “El, kamu jadi beli buku nggak? Kenapa malah nonton TV?” Setelah beberapa saat memperhatikan, Dirga kemudian bertanya. Si pemilik nama menoleh. “Eh, Papa. Jadi dong, Pa. Aku udah pengen buku itu dari lama, lumayan buat nambah ilmu selain dari sekolah,” ucapnya bersemangat. Dia bangkit dan bersiap melangkah pergi, tetapi sesuatu menghentikan gerakannya. Elio menepuk dahinya dan mengumpat dalam hati. Bagaimana dia bisa lupa bahwa ada Sagara di sampingnya? Dan dia hampir meninggalkan sang kakak sendirian di rumah. “Ayo, Bang!” ajaknya yang membuat Sagara tercengang, begitu juga dengan Dirga. Pria itu tak ingat bahwa Sagara akan ikut serta dengannya. “Ke mana?” “Ke toko buku. Lo bukannya mau cari buku ekonomi? Ayo beli.” Elio lantas menarik lengan Sagara dan menyeretnya untuk ikut. Bocah itu sebenarnya tahu, tak ada rencana untuk mengajak Sagara. Akan tetapi, setiap kali bepergian, Dirga sangat jarang mengikutsertakan sang kakak. Elio tidak mau melihat kakaknya disisihkan, dia harus membuka hubungan antara mereka. Meski ia tahu, itu sedikit sulit. “El, gue nggak ada rencana buat beli buku. Kemarin udah nitip sama Daffin,” bisik Sagara ketika keduanya sudah duduk di kursi penumpang. Elio balas berbisik, “Ya udah, lo beli komik atau apa, kek. Yang penting lu ikut. Lagian ini hari libur, mau ngapain di rumah? Mau jadi tukang kebun terus pecahin pot lagi?” “Dah, jangan berisik. Adek mau bobok bentar,” imbuhnya kemudian menyandarkan kepala ke belakang dan mulai menutup mata. Sagara terdiam. Netranya menatap bahu Dirga yang tengah fokus menyetir. Walaupun pria itu selalu diam dan memilih tak acuh dengan Sagara, cowok itu mengerti bahwa Dirga tak pernah menyukai eksistensinya. Sejauh Sagara bisa mengingat, Dirga pernah mengatakan padanya. Bahwa Sagara boleh memanggil Dirga sebagai papa, tetapi jangan pernah sekali-kali berharap akan mendapatkan kasih sayang seperti yang pria itu berikan pada Elio. Karena dilihat dari sudut pandang mana pun, Sagara bukan siapa-siapa bagi Dirga. Bocah itu menghela napas, mengingat kenyataan seperti itu hanya akan membuatnya sedih. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana dan mulai menggulir menu-menu yang ada. Mencoba menonton video yang bisa menghibur diri. Namun sia-sia, Sagara justru semakin murung melihat video yang ditonton mengisahkan tentang keluarga yang harmonis. Bermain game pun percuma, karena ia biasa bermain dengan Elio. Sedangkan bocah itu entah sejak kapan sudah terlelap dengan kepala bersandar di bahu Sagara. Sekarang hanya dia dan Dirga yang masih sadar, tetapi tak mungkin keduanya akan saling bertegur sapa. Kenapa mereka harus dipertemukan dalam satu ruang sempit seperti ini? Sungguh membuat suasana semakin canggung. Alhasil Sagara ikut menutup mata dan berpura-pura tidur. Hingga mobil yang mereka tumpangi memasuki halaman parkir, dua remaja itu benar-benar terlelap. *** “Gue sampai ileran tapi lo nggak ada niat buat bangunin, tega lo, Bang,” protes sang adik pada kakaknya yang masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Elio terbangun dengan air liur menetes dari mulutnya, hal itu membuat kaus berwarna putih yang ia pakai memiliki sebuah bulatan sebesar kelereng di sisi bahu. Tidak lain dan tidak bukan, itu adalah air liurnya sendiri. Sagara menguap. “Lah gue juga tidur, gimana mau bangunin? Lagian salah siapa tidur sambil melongo gitu, kalo di luar udah pasti lalat berkunjung ke mulut, tuh,” timpalnya tak mau disalahkan. Saat ini keduanya sudah memasuki salah satu toko buku terbesar di kota, yaitu Bukumedia. Toko ini tidak hanya menjual buku, tetapi juga kebutuhan sekolah seperti alat tulis, tas, dan juga barang lainnya. Dirga membiarkan Sagara dan Elio memilih buku, sementara dirinya pergi ke sisi yang menjual berbagai macam pernak-pernik kantor. Sekadar melihat-lihat, tetapi jika ada yang menarik hati, dirinya pun tak segan mengeluarkan uang. Hawa sejuk dari pendingin ruangan diiringi dengan deretan buku yang memanjakan mata membuat dia bersaudara itu tidak merasa lelah berkeliling. Keduanya menelusuri rak-rak buku mulai dari buku fiksi, non-fiksi, dan juga komik. “Gue takut khilaf kalo kayak gini caranya,” gumam Elio ketika sedang melihat rak buku yang berisikan cerita ber-genre fantasi. Membaca ulasan singkat dari beberapa buku cerita membuat bocah itu tergoda. Padahal tujuan awal pergi ke toko ini hanya untuk mencari buku yang berisi materi di kelasnya. Di lain sisi, kakaknya justru terlihat santai meski beberapa kali juga sempat memegang sebuah buku. Akan tetapi, cowok itu seperti tidak tertarik untuk membeli. “Lo nggak mau beli? Komik gitu, kek,” tanya Elio pada yang lebih tua. Sagara menggeleng. “Nggak nafsu. Gue masih punya beberapa buku di meja yang belum gue baca. Pengin nambah koleksi, tapi males karena nggak ada waktu buat baca. Mending buat belajar, deh,” beber Sagara kemudian mengembalikan buku di genggamannya ke tempat semula. “Wow, kok sepertinya rajin sekali Anda ini.” Elio menyampirkan lengannya ke bahu. “Kalau gue nggak rajin, ranking gue bisa turun. Dapet urutan satu aja nggak dilirik, apalagi merosot.” Sagara melepaskan tangan yang bertengger di bahunya. “Bentar, gue pengen ke kamar mandi, lu di sini aja,” lanjutnya. Sagara beranjak ke tempat tujuan, meninggalkan Elio yang mematung menatap kepergiannya dengan raut sendu. Arti ucapan Sagara tadi, Elio sangat mengerti. Nyaris lima belas tahun hidup dalam satu atap, Elio merasa bersalah pada kakaknya. Sebab selama ini, kata bahagia sangat minim terjadi pada cowok gingsul itu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN