Sebenarnya usai dari toko buku, Sagara ingin langsung pulang. Namun, Dirga malah mengajak mereka mampir ke salah satu rumah makan untuk mengisi perut. Tak ada yang bisa Sagara lakukan selain menurut.
Sagara juga tidak tahu, menu apa saja yang Dirga pesan. Begitu makanan disajikan, bocah itu menelan ludah. Bukan karena aroma sajian yang menggoda, bukan juga karena tampak lezat. Akan tetapi, hampir semua lauk dan camilan yang dipesan Dirga mengandung unsur udang. Hanya ada sayur lodeh terong, satu-satunya menu yang terbebas dari sentuhan udang.
“Makan yang banyak, El. Ini semua kesukaan kamu, ‘kan?” Dirga menyodorkan piring berisi tumis labu siam udang pada Elio.
Dengan senang hati bocah itu menerima uluran tangan ayahnya. “Tau aja si Papa. Makasih!” tukasnya penuh semangat. Dia juga menyendok cah kangkung udang ke dalam piringnya dan dengan lahap menyantap apa yang sudah ia ambil.
Lagi-lagi Sagara menelan ludah, dia tidak berani mengatakan bahwa dirinya tidak suka udang. Dia juga tidak punya cukup nyali untuk meminta Dirga untuk memesan menu lain. Pada akhirnya, cowok itu hanya makan dengan lauk sayur lodeh.
Dirga terlihat abai, tetapi bukan berarti dia tidak peka. Sedari tadi, pria itu melihat Sagara hanya makan dengan nasi dan sayur lodeh. Padahal dirinya sudah memesan banyak lauk di sini. Seperti tumis labu siam udang, cah kangkung udang, dan udang bumbu bakar merah. Mengapa di antara menu lezat itu, hanya sayur lodeh yang bocah itu makan?
Hei! Dia tidak sejahat itu untuk melarang Sagara makan menu yang sama dengannya. Meski status bocah itu adalah anak tiri dan ia tak terlalu menyukainya, tetapi Dirga tidak pernah membedakan nafkah antara dia dan Elio.
Sagara menyelesaikan makannya hingga ke suapan terakhir. Ia meneguk air minum, kemudian mengucap hamdalah. Ternyata sayur lodeh pun rasanya sangat enak, dia tak menyangka rumah makan sederhana ini bisa memasak sayur demikian lezat.
“Kenapa kamu hanya makan pakai sayur lodeh aja? Saya pesan banyak lauk, kenapa nggak disentuh sama sekali?” tanya Dirga usai semua menyelesaikan makannya. Wajah pria itu menggambarkan bahwa ia tersinggung.
Elio yang sedang memeriksa pesan di ponselnya langsung menatap ayahnya dan Sagara secara berganti. Pupil matanya melebar ketika ia menyadari sesuatu.
“Maaf, Pa. Bukannya aku nggak mau makan, tapi aku alergi udang. Takutnya kalau kambuh malah ngerepotin,” sahut Sagara yang membuat Dirga bungkam sesaat.
Itu dia yang Elio lupakan, bahwa sang kakak alergi terhadap udang! Bocah itu mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa akan hal sepenting itu, dan membiarkan Sagara makan dengan sayur yang bahkan biasa mamanya masak di rumah?
“Sejak kapan?” Dirga bertanya setelah diam beberapa saat. Kini suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
“Sejauh yang bisa aku ingat, kayaknya dari lahir, deh,” sahut Sagara dengan polos.
Sekarang Dirga benar-benar tak bisa berkata-kata lagi. Entah mengapa, pria itu merasa sedikit buruk mendengar jawaban Sagara. Alergi seperti itu biasanya sudah ada sejak lahir, dan Dirga baru mengetahuinya setelah usia Sagara nyaris enam belas tahun?!
???
“Hei, oper sini!” teriak salah seorang siswa pada teman satu timnya.
Tak lama setelahnya, sebuah bola melayang ke arah bocah berambut cokelat itu. Permainan basket sesama anggota kelas berjalan cukup sengit. Meski ini hanya hiburan, tampaknya mereka tak ingin kalah dari yang lain.
Hingga salah satu tim kalah, mereka mengakhiri permainan dan beristirahat di tepi lapangan. Sagara adalah salah satu di antara mereka. Bocah itu mengusap peluh di dahi dan berusaha mengatur napas. Tenaganya sudah terkuras habis ketika mereka bermain basket tadi.
“Capek banget gue. Habis ganti baju pengen tidur bentar, deh,” keluhnya yang diberi anggukan oleh teman lainnya.
Jadwal pelajaran olahraga memiliki waktu tiga jam, masing-masing terdiri dari empat puluh lima menit. Hanya dua jam pertama yang digunakan guru untuk mengajar. Sisanya, seperti yang baru saja terjadi, mereka bermain olahraga sendiri. Sementara siswa perempuan akan kembali ke kelas untuk mengganti seragam dan mengobrol.
Sedang asyik mengobrol. Salah satu teman sekelas Sagara mendatagi bocah itu dan menyerahkan sebotol air mineral.
“Lo kesambet apa, bro? Kok bisa-bisanya baik banget kasih air segala.” Sagara menimang botol di tangannya dan terheran-heran. Kemudian tanpa ragu membuka tutup yang masih tersegel dan meneguk isinya hingga tersisa setengah.
Sosok yang memberi pun menjawab, “Cuih … pede banget. Daripada beliin minum buat lo, mending beli buat cewek gue lah.” Cowok itu menunjuk botol di tangan Sagara. “Itu minuman gue dapet dari cewek kelas sepuluh. Katanya suruh kasihin ke lo, tapi jangan bilang dia siapa,” tukasnya santai.
Sagara tercengang dan di sampingnya terdapat Daffin yang tertawa puas ketika tahu, air mineral itu bukan pemberian temannya.
“Fin,” panggil Sagara yang membuat Daffin seketika berhenti tertawa. Bocah itu menaikkan sebelah alisnya sebagai jawaban.
“Gimana kalau gue mati karena air ini? Mana adik gue belum bisa baca Maps dengan baik. Ya Allah ampunilah hamba,” ratap Sagara diiringi dengan wajah paniknya.
Hal itu justru membuat si lawan bicara jengkel. Daffin lantas memukul pelan kepala Sagara.
“b**o boleh, tapi jangan dipamerin. Gue yang malu, Ga!” hina Daffin.
Hal itu mengundang tawa sekelompok siswa laki-laki yang sedang bergerombol, begitu juga Sagara. Ia tidak tersinggung dengan hinaan itu, karena mulut Daffin memang selalu pedas.
“Ah … gue tau, nih. Pasti itu minum dari salah satu fans lo. Makanya jangan suka mesam-mesem sama cewek. Pada baper deh.” Lagi Daffin berceloteh.
Tidak masuk akal, Sagara menyanggah, “Gue mah niatnya ramah, bukan tebar pesona. Lagian nih, ya. Kalau gue Cuma senyum di depan cowok, malah nanti dikira homo. Gue yang salah lagi.”
Salah satu temannya yang bernama Riski menepuk pundak Sagara. “Jadi orang ganteng memang kadang menyeramkan. Sering difitnah juga, kalau nggak b******k ya homo,” timpalnya dengan wajah serius.
“Tau dari mana?” Sagara dan Daffin menyahut bersamaan. Hal itu diikuti dengan raut penasaran teman lainnya.
Riski mengangkat bahu. “Pengalaman pribadi, sih. Gue sampe capek punya wajah ganteng,” sahut pemuda berambut cokelat itu dengan santai.
Kawan-kawan yang semula serius mendengarkan kita satu per satu bangkit. Ada juga yang membuat gestur muntah dan langsung berlari meninggalkan kerumunan.
“Tiba-tiba perut gue mules,” tukas cowok di samping Riski.
Sagara merangkul dua temannya termasuk Daffin. “Kantin, yuk. Gue laper.”
Riski kebingungan begitu melihat semua orang enyah dari hadapannya. “Oi, kok kalian ninggalin gue, sih? Astaghfirullah … teman seperjuanganku ternyata tidak setia,” gerutunya sembari berlari meninggalkan lapangan.
???
Bel tanda istirahat berbunyi nyaring. Elio yang sedari tadi fokus mencatat materi dari papan tulis langsung bersorak kegirangan.
“Yes! Makan! Makan! Makan!” Cowok itu merapikan bukunya sembari berceloteh. Dia harus cepat-cepat berlari ke kantin sebelum tempat itu sesak oleh pengunjung.
Dua langkah dari pintu kelas, kerah baju Elio ditarik hingga bocah itu kembali masuk ke dalam.
“Woi! Apaan, sih?” protesnya pada si pelaku yang tak lain adalah teman sebangku Elio.
“Lo mau ke mana, buru-buru amat?” Cowok itu merangkul bahu Elio. “Anak muda, mari kita pergi ke kantin,” ajaknya setengah memaksa.
Elio menepis tangan di bahunya dan tersenyum. “Om Gerry, ini saya juga mau ke kantin, tapi mau mampir ke kelas abang gue dulu. Tolong jangan ganggu, ya.”
Yang bernama Gerry langsung sumringah. Dia membuntuti Elio keluar kelas. Begitu mendengar tujuan Elio, ia justru ikut bersemangat. Karena ada gadis di kelas Sagara yang ia sukai.
Keduanya menelusuri koridor untuk sampai ke barisan kelas IPS. Tepat ketika sampai di depan pintu kelas, Sagara muncul bersama dengan Daffin dan dua orang teman lainnya, yaitu Dimas dan Ridwan. Tanpa ragu, Elio langsung menempel di samping Sagara.
“Bang! Can you lend me some money?” bisiknya yang masih bisa didengar oleh Daffin.
“Sok Inggris lu. Makannya jengkol aja, sok-sokan bule,” sewot Daffin.
Elio melirik sinis cowok jangkung di sampingnya. “Setidaknya gue nggak pernah remed pas ujian bahasa Inggris,” sindirnya balik.
“Boleh aja. Tapi mau buat apa? Gue nggak bawa banyak duit, nanti sepulang sekolah juga mau mampir ke konter buat benerin hape.” Sagara menengahi. Jika dibiarkan, Elio dan Daffin bisa saling melempar ludah.
“Nggak banyak, kok. Cukup beliin gue cilor di kantin, sampe kenyang. Hehe.”
“Njir. Lo percaya, makhluk ini adek lo, Ga? Gue sih enggak, bentukannya kek tukang palak gini.” Bukan Sagara, melainkan Daffin yang menjawab. Entahlah dia suka sekali menggoda adik Sagara, karena Elio sangat ekspresif.
“Eh, Dapin. Diem, deh. Gue lagi diskusi sama abang gue, ya. Bukan lelembut,” sergah Elio yang semakin kesal.
“Oke, oke gue beliin. Jangan berantem, malu diliat orang.” Sagara kembali melerai.
“Kita orang ganteng, loh. Malu kalo gelut kayak gini,” lanjutnya sembari membenarkan rambutnya yang tertiup angin.
Tiga orang lain yang juga berjalan dengan mereka hanya bisa geleng kepala dengan pertengkaran tiga orang lainnya. Mereka sudah terbiasa dengan keributan dari si mulut pedas Daffin, si cerewet Elio, dan si sabar Sagara.
Enam cowok berjalan menuju kantin yang mencuri perhatian banyak gadis. Benar kata Sagara, mereka dipertemukan dalam satu kelompok yang diberkahi dengan wajah tampan. Setidaknya ketampanan menjadi nilai plus bagi mereka, karena jika dilihat dari kelakuan, mereka cukup jauh dari kata waras.
???