DUA PULUH

1316 Kata
Maira duduk sambil menunggu dirinya di panggil untuk pemeriksaan rutin. Nitya kali ini hadir menemaninya.  Jika yang lain di temani oleh suami, Maira di temani oleh ibu mertua.  Maira cukup sadar diri kenapa Nico tidak ingin menemaninya. "Abis ini kita jalan-jalan yuk" ujar Nitya mencoba menghibur menantunya itu. Ia bisa mengerti Maira hanya terdiam saja menunggu giliran. Istri mana yang sanggup di acuhkan oleh suaminya? "Mau jalan-jalan ke mall atau kamu mau pergi beli perlengkapan? Atau kamu mau ngeteh aja di lounge langganan Mama?" tanya Nitya antusias.  "Temenin belanja aja ya Ma. Aku masih bodoh urusan perlengkapan bayi" ujar Maira sambil tersenyum kecil. Nitya mengangguk antusias.    Maira memilih beberapa pakaian bayi yang akan ia beli. Berbagai motif lucu membuat Maira gemas ingin membeli semuanya.  Pandangannya teralihkan pada sebuah baby crib berwarna putih.  Maira melihat-lihat barang tersebut dan mulai menimbang-nimbang keputusannya untuk membeli baby crib.  "Ma, kalo baby crib yang ini gimana?" tanya Maira sambil menunjuk baby crib  itu.  Nitya melihat-lihat baby crib  tersebut. "Gausah. Kamu ikut Mama aja besok. Kita ke rumahnya Dennis" ujar Mama  optimis. "Ke rumah Mas Dennis?" tanya Maira dengan kening berkerut.  "Iya, nanti biar Mama hubungi Gita, biar kita ke sana abis anak-anak sekolah" ujar Nitya dengan tenang. "Besok kamu gak kemana-mana kan? Maksud Mama, gak ada meeting penting kan?" tanya Nitya sambil berjalan menuju kasir. Maira menggeleng yakin. "Yaudah, besok kita pergi ya" ujar Nitya riang menyambut hari esok.                                                                                              ****   "Tumben banget Mama kesini" ujar Gita sambil menuangkan teh hangat ke cangkir Nitya. "Kamu mau teh juga Ra?" tanya Gita ramah. Maira mengangguk sambil tersenyum. "Baby crib masih kamu simpen kan?" tanya Nitya setelah menyeruput teh hangat itu. "Masih, aku simpen di gudang, di tutupin kelambu. Maira mau pak?" tanya Gita. "Iya, mau Mama ambil. Daripada beli lagi, ini lebih baik pake yang udah ada" ujar Nitya lagi.  "Yaudah, aku suruh mbak keluarin dulu deh Bentar" Gita berdiri untuk memerintahkan pembantu rumah tangganya.    Sebuah boks bayi berukuran besar dengan berwarna putih membuat Maira melotot kagum. Ia belum pernah melihat boks bayi sebesar ini. "Ini dulu Papa pesen sama tukang kayu langganan. Pertama pake buat Denis, nurun ke Nico sama Arya. Terus Dennis punya anak, ya nurun ke anak-anaknya" ujar Nitya menceritakan sejarah boks bayi itu. "Palingan cuman di cat lagi biar lebih bagus. Bagus loh, Papa pesen pake kayu jati" ujar Nitya membanggakan peninggalan keluarganya itu. Ya emang bagus sih batin Maira sambil melihat-lihat boks bayi tersebut.  "Udah mulai siapin apa aja Ra?" tanya Gita. "Baru baju-baju aja sih Kak. Sama peralatan yang lain juga. Kemaren aku mau beli baby crib kata Mama gausah. Terus di ajakin ke sini" ujar Maira.  "Aku ada beberapa pakaian masih layak pakai si adek. Mau gak? Sengaja aku simpen sih, biar bisa kasih ke sodara" ujar Gita menawarkan. "Boleh Kak" sahut Maira antusias. Baru kali ini ia benar-benar antusias mempersiapkan sesuatu untuk seseorang. Ia bahkan tidak seantusias ini menyiapkan printilan kejutan untuk mantan kekasihnya dulu.     "Nico tuh bego apa gimana sih Ma?" keluh Gita mendengarkan cerita dari ibu mertuanya. Mereka membiarkan Maira memilih beberapa pakaian bayi dari Gita. Nitya pun menarik Gita keluar dari kamar untuk mmebicarakan Nico. "Coba kamu bayangin aja. Bisa-bisanya dia minta kamar buat si Hilda. Ini istrinya sendiri kok gak di oikirin sama dia. Setega itu?!" ujar Nitya lagi. "Papa aja dulu gak ampe segitunya sama Mama. Biarpun di jodohin juga" ujar Nitya.  "Kemarin si Hilda seenaknya banget nyuruh orang ngedekor kamar. Berasa nyonya banget dia" ujar Nitya semakin menggebu-gebu. Gita semakin gemas mendengar semua ulah Hilda.  "Ngapain sih Ma si Nico bawa perempuan itu ke rumah? Bikin Maira makin terpojok, bikin Arya pergi dari rumah. Lebih sayang perempuan gatel itu ketimbang adek sendiri apa gimana sih?" tanya Gita tidak paham. "Dennis belum tahu ini semua kan Ma?" tanya Gita. Nitya menggeleng.                                                                                ****                           Boks bayi tersebut sudah sampai dengan selamat, Dennis memastikan orang suruhannya itu mengantarkannya dengan tepat dan selamat.  "Ini punya siapa?" tanya Hilda yang memperhatikan beberapa orang mengangkut dari dalam sebuah mobil boks. "Boks bayi. Punya Non Maira" ujar seorang pembantu dengan bangga. Rasa ingin tahu Hilda meningkat seketika. Ia penasaran boks bayi seperti apa yang di miliki oleh Maira. Ia tentu tidak ingin kalah dari istri sah Nico itu. Pembantu yang melihat tingkah ingin tahu Hilda itu sengaja menggodanya. "Penasaran banget ya Non, punya Non Maira kayak apa?" tanya pembantu tersebut usil.  Hilda yang sadar dengan pertanyaan itu langsung berpura-pura seakan ia tidak peduli.  "Nggak. Ngapain penasaran? Punya saya jelas lebih baik dan lebih bagus. Tentunya lebih mahal daripada punya Maira" sahut Hilda dengan sombongnya lalu berlalu masuk ke dalam rumah. "Udah jelas-jelas ngiri masih aja ngeles" ujar pembantu tersebut.   Maira mengarahkan orang-orang yang mengangkut boks bayi tersebut agar di letakkan di sudut yang sudah ia tentukan. "Besok tolong di cat ya Pak. Itu catnya udah saya beli" ujar Maira pada salah seorang tukang.  "Bapak-bapak yang lain besok tolong cat dindingnya pake warna putih ya. Udah saya beli juga catnya" ujar Maira.  Setelah paham dengan tugas masing-masing, semuanya keluar dari kamar. Hanya Maira yang masih berada di dalam kamar. "Kamarnya udah mulai di siapin loh Nak" ujarnya sambil mengelus perutnya dengan sayang. "Kita liat baju yang kemarin di kasih Tante Gita yuk" ujar Maira sambil membuka sebuah paper bag yang sudah di kemas oleh Gita dengan rapih. Baju-baju masih terlihat bagus, hanya beberapa warna yang mulai memudar.  Kakak iparnya itu bahkan menyelipkan beberapa pakaian baru. Maira pun mulai mengelompokkan pakaian-pakaian tersebut dan menaruhnya ke dalam lemari pakaian yang sudah datang beberapa hari lalu.  Ia pun teringat sesuatu. Ia belum tahu jenis kelamin janinnya ini. Laki-laki atau perempuan. Maira terdiam beberapa saat, menebak-nebak jenis kelamin anaknya itu sambil mengelus perutnya. "Ya apa aja deh, mau cowok mau cewek apa aja. Mama terima kok" ujar Miara tulus.  Baru kali ini ia benar-benar tulus menerima apapun keadaan yang akan ia hadapi. "Soal nama, kayaknya biar Mama aja ya yang nentuin. Papa kamu pasti gak mau pusing soal itu" ujar Maira dengan sedikit sendu. Jika di bandingkan dengan Hilda, tentu saja perempuan itu mendapatkan semuanya dengan mudah tanpa harus menunggu jawaban 'ya' dari Nico. Maira berani bertaruh, Nico dan Hilda pun pasti sudah mempersiapkan nama.  "Gapapa ya Nak, Mama aja yang kasih nama. Apapun nama kamu, yang pasti artinya nagus kok" Maira menyemangati dirinya sendiri.                                                                                                  ****   Hilda mengendap-endap dari luar kamar bayi Maira. Ia ingin tahu seperti apa bentuk boks bayi yang kemarin di datangkan dari rumah Dennis itu.  Karena termakan gengsinya, Hilda pun berlalu begitu saja tanpa mau menguntit lagi. Pintu kamar yang terbuka lebar membuat Hilda bisa dengan mudah melihat rupa boks bayi itu. "Kapan di bawa kemari?" tanya Nico dari dalam kamar. "Kemaren orang suruh Dennis ngirim kemari" jawba Nitya yang ternyata berada di dalam kamar itu juga. "Masih bagus ya Ma" ujar Nico sambil memperhatikan boks bayi tersebut dengan seksama.  "Ya baguslah. Papamu dulu mesen sama tukang kayu yang profesional. Kayu jatinya juga bisa mesen sendiri. Cat juga di pilihin yang bagus" ujar Nitya bangga. "Ini udah cat lagi?" tanya Nico. "Belom ntar tukang suruhan Maira yang ngecat. Hari ini kayaknya deh" jawab Nitya. "Yaudah kalo gitu, aku mau ke kantor dulu" ujar Nico. Mendengar derap langkah Nico keluar kamar, Hilda buru-buru kembali ke kamarnya. Setelah memastikan Nico sudah turun tangga, yang kemudian di susul Nitya, HIlda pun kembali ke kamar tersebut. Pintu kamar yang tidak tertutup rapat itu membuat Hilda dapat dengan jelas dan leluasa untuk melihat rupa boks tersebut.  Sejujurnya, boks bayi ini lebih bagus dan juga lebih mahal di bandingkan dengan miliknya. Meskipun di beli dari sebuah brand ternama, tentunya saja nilai yang ada dari boks bayi milik Maira lebih mengungguli di banding dengan miliknya. Sejujunya Hilda pun iri dengan boks milik Maira itu. "Hilda?"           
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN