ENAM

1133 Kata
Maira membaca satu per satu daftar tamu undangan yang akan hadir di pernikahannya. Ia memilih untuk menggelar pernikahan sesederhana mungkin. “Kamu yakin cuman mau undang sedikit orang?” tanya Agung pada putrinya itu. Maira mengangguk. “Iya Pa. Kalo Papa mau undang teman Papa gapapa, cuman jangan terlalu banyak ya” ujar Maira sambil kembali menaruh kertas tersebut di atas meja. “Aku pun gak ngundang terlalu banyak, yang penting semua orang tau kok” ujar Maira lagi. Agung hanya mengangguk. “Persiapan sudah sampai mana?” tanya Agung lagi. “100%, tinggal nikah aja” ujar Maira cepat sambil merapihkan majalah di bawah meja. “Cepet banget” sahut Agung heran. Secepat ini putrinya mempersiapkan pernikahannya. “Kamu serius? Cepet banget loh? Biasanya kan lama” ujar Agung. “Aku gak mau terlalu mewah, lagian Nico ngebebasin aku mau kayak gimana pernikahannya nanti. Dia juga gamau yang ribet” jawab Maira santai. “Papa gak nyangka kamu melangkah sejauh ini” ujar Agung pada putrinya. “Udahlah Pa, gausah di pikirin” ujar Maira. “Doain aja rumah tanggaku nanti baik-baik aja sama Nico” ujar Maira. Agung hanya terdiam. Ia merasa sangat bersalah karena harus putrinya yang menenaggung semua. Padahal Maira tidak tahu apa-apa tentang ini semua, sekali pun ia bagian dari perusahaan. “Maira” panggil Agung lembut. Putrinya itu menoleh ke arahnya. Menatap dirinya yang usianya sudah setengah abad lebih. Anak perempuannya yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang, yang ia didik sehingga tumbuh menjadi seorang wanita tangguh. “I know, this marriage isn’t like what you’ve dreamed of” ujar Agung dengan nada lembut, namun bermakna serius. “Ya kalau kamu ingat, Papa dan Mama pun dulu di jodohkan” ujar Agung menggantung. “Mama dulu, gak pernah mau menggubris Papa. Bisa di bilang sebulan pertama nikah, kami tidur beda kamar. Akhirnya jadi sekamar karena kakek-nenek kamu datang menginap ke rumah” ujar Agung mengenang. “Papa gak pernah memaksakan Mama untuk menerima Papa. Bahkan Papa tau banget, Mama kamu masih sayang dengan pria lain” ujar Agung. Maira agak tercekat mengetahui hal itu. “Mama memang melakukan tugasnya sebagai istri dengan baik. Buatkan Papa sarapan , mengurus pakaian Papa kerja dan tugas-tugas rumah tangga lainnya” lanjut Agung lagi. Maira seolah terhipnotis oleh cerita masa lalu kedua orang tuanya. “Iya sih, Mama mu bikinin Papa sarapan, masakan makan malam. Tapi semua itu Mama lakukan terpaksa untuk Papa” ujar Agung menepuk lutut Maira. “Sampai akhirnya Papa bilang ‘kalau kamu terpaksa, lebih baik jangan’ ketimbang Mama kamu ngedumel, nambah dosa, lebih baik Mama gak perlu ngelakuin. Ada pembantu juga waktu itu, biar pembantu aja yang masakin Papa” ujar Agung. “Wah, Mama langsung sumringah pas Papa kasih tau begitu. Selanjutnya dia gak pernah lagi masakin Papa, she let the maid cook for me” ujar Agung. “Sampai suatu hari Papa lagi pergi, ada rapat. Terus gak sengaja ketemu teman lama Papa. Ya waktu SMA sempet Papa naksir sama dia, tapi itu sudah lama. Dia pun sudah berkeluarga juga, dia ngajakin Papa makan bareng di rumahnya. Papa awalnya gak mau, tapi dia dan suaminya maksa, jadinya Papa mengalah” “Terus pas Papa pulang, Mama kamu lagi asyik nelfon temennya. Ngeliat Papa cuman sekilas. Terus lanjut nelfon lagi. Masuk kamar, Papa mandi dan langsung tidur karena capek. Besoknya Papa dapet undangan, ada teman SMA Papa yang nikah. Papa coba ajak Mama, dan Mama mu mau temani Papa” ujar Papa smbil menghela napas sebentar. “Terus gimana?” tanya Maira tidak sabar. Agung tetawa melihat tingkah putrinya. Agung membetulkan posisi duduknya. “Ya, Papa datang sama Mama. Waktu datang, banyak yang kaget Papa sudah menikah. Padahal waktu menikah Papa undang semua. Sampai akhirnya ada satu teman Papa yang ledekin Papa sama teman yang pernah Papa taksir itu. Dia berani ngeledekin karena posisi Papa waktu itu lagi sendirian, Mama lagi ambil makanan. Ternyata Mama denger pas lagi rame-ramenya. Sudah selesai, kita pulang. Sampe rumah Mama nanya sama Papa” Agung tertawa kecil mengingat tingkah cemburu almarhum istrinya itu. “ Kamu kemarin di ledekin sama siapa?” ujar Agung menirukan gaya Agni. “Papa jawab seadanya aja. Lebih tepatnya sejujurnya. Toh Papa pikir Mama gak akan cemburu” ujar Agung santai. “Besoknya Papa makin di cuekin sama Mama” Agung tertawa. Maira pun ikut tertawa mendengarnya.  “Papa juga gak peduli amat, toh Mama juga biasanya cuek sama Papa. Mungkin, Mama akhirnya ngerasa gerah sendiri, jadinya Mama yang mulai ngomong” lanjut Agung. “Masih aja gengsi Mama ngomong ke Papa. Bilangnya risih Papa masih di ledekin begitu. Padahal aslinya udah gondok itu” Agung tertawa lagi. “Lambat laun Mama mulai perhatian. Nungguin Papa pulang, mulai masakain Papa lagi, siapin pakaian Papa kerja. Pokoknya mulai perhatian deh” ujar Agung. “Tapi Papa kerjain” tambahnya sambil tertawa. “Papa sengaja makin cuek ke Mama. Ya Papa selalu bilang terima kasih setiap Mama masakin dan siapkan keperluan Papa. Tapi setelahnya ya, Papa cuekin aja. Sebodo amat dia mau ngapain” Maira tidak bisa menahan tawanya. “Ih kan kasian Pa!” ujar Maira sambil memukul pelan lengan Agung. “Mama kesel sendiri, kenapa Papa makin cuek. Padahal Mama udah berusaha supaya bisa perbaikin hubungannya sama Papa” ujar Agung. “Sampe nangis-nangis malahan. Ya mana tega Papa? Akhirnya Papa peluk aja sampe reda tangisannya” Agung mengangkat bahunya acuh. “Udah, gitu aja?” tanya Maira. “Ya abis itu pokoknya Mama hamil kamu” Agung tertawa lagi. Maira pun ikut tertawa, lebih heboh dari Agung malahan. “Sejak saat itu, Mama gak pernah lagi cuekin Papa, selalu perhatian bahkan waktu hamil kamu besar. Masih bisa nungguin Papa pulang kantor malam-malam, padahal badannya udah pegel banget” ujar Agung. “Awalnya memang gak mudah, bahkan menurut Papa, seharusnya Papa berterima kasih sama teman-teman Papa karena udah ngeledekin Papa. Mungkin kalo gak di gituin, Mama masih aja nyuekin Papa. Kamu mungkin masih lama munculnya. Singkatnya, kadang butuh ‘pihak ketiga’ untuk menyatukan semuanya lagi” ujar Papa. Maira terdiam dan mencoba mencerna ucapan Agung. “Kehilangan Mama buat Papa jadi semakin sadar. Betapa pentingnya arti kehadirannya selama ini. Waktu Mama akhirnya harus pergi selamanya, Papa cuman bisa ngeliat lewat foto aja, lewat tulisan tangan Mama aja. Gak bisa lagi kalo kangen tinggal peluk, cuman bisa kirim doa aja. Gak bisa kirim bunga kayak dulu lagi” ujar Agung penuh makna. “Sekali pun nanti suami kamu belum bisa menerima kamu, jangan pernah mengeluh. Sebagai istri, kamu harus kasih seratus persen untuk suami. Layani dia sebaik mungkin. Nurut kalo suami udah ngomong. Kalau ada masalah coba selesaikan baik-baik, jangan gegabah dalam mengambil keputusan. Gak akan selesai masalah kalau pakai emosi” sehat Agung pada putrinya. “Apalagi kalau sudah ada anak, kamu harus mikirin banget setiap langkah yang kalian ambil dampaknya ke anak apa. Khususnya secara psikologis, pikirin mateng-mateng. Itu ngaruh sampai dia dewasa nanti” tambah Agung. Maira menyimak dengan baik setiap ucapan Agung. “Inget ya, selalu hargain suami kamu. Pelan-pelan dia pasti melunak, bisa karena sabarmu atau karena ‘pihak ketiga’ tadi, bisa juga karena keduanya. Selalu berikan yang terbaik, dan harus selalu sabar. Sama mertua juga musti sabar ya, apalagi kamu nanti tinggalnya sama mertua lagi” ujar Agung mengingatkan. Ucapan itu mengingatkan Maira yang belum mengemasi barangnya satu per satu untuk di kirimkan ke rumah mertuanya nanti. “Percaya deh, kesabaran itu buahnya manis”  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN