Akriel tak kunjung menemukan Fany. Laki-laki itu sudah mencari ke setiap sudut tempat namun cewek itu tetap tidak ketemu. Dan setelah bergelut selama 30 menit akhirnya Akriel menemukan Fany tepatnya di depan ruang pramuka. Ngomong-ngomong, Fany adalah anggota Dewan Ambalan Pramuka.
"Jadi apa saja yang harus saya katakan?" Tanya Akriel.
"Bilang aja kalo saksinya palsu karena mereka disuap sama ibunya Sheryl." Kata Fany. "Setidaknya itu cukup buat menyelamatkan Dara."
"Hanya itu saja?" Akriel kembali bertanya.
Fany mengangguk. "Lo gak punya banyak waktu lagi. Sidangnya sedang berlangsung sekarang. Dan gue minta maaf."
Akriel mengernyit. "Minta maaf untuk apa?"
"Setelah lo melakukan ini, lo harus tetep waspada setiap harinya. Jangan lengah karena orang-orangnya Sheryl gak bakal ngebiarin lo tenang setelah lo mengacaukan sidangnya buat ngebantu Dara."
Akriel dibuat agak bingung dengan perkataan Fany, namun laki-laki itu hanya mengangguk paham. "Saya harus segera pergi." Pamitnya kemudian lalu meninggalkan Fany begitu saja.
Dalam hati, Fany berbisik, 'Maaf udah bikin lo jadi korban buat nyelamatin Dara, Akriel. Semoga lo berhasil dan gak ada sesuatu jahat yang menimpa lo nantinya.'
***
Pelajaran olahraga baru saja usai. Tapi Kisa dan Saka masih santai saja bermain bola basket di lapangan bersama yang lainnya. Sayang, masih ada sisa waktu 15 menit sebelum masuk ke jam pelajaran selanjutnya. Kasa tidak sedoyan itu dengan olahraga apalagi main bola basket, makanya dia memutuskan buat ganti baju lebih dulu karena keringat di badannya bikin dia tidak nyaman.
Lagi asyik-asyiknya jalan menuju ke kelas, dia bisa merasakan ada tangan yang tiba-tiba merangkul pundaknya. Kasa menoleh sedikit namun belum menemukan jawaban siapa pemilik tangan itu. Kasa bergidik.
"Sayang."
Plak!!!
"Arrgghh!!!"
Kasa memekik lalu refleks menutupi mulutnya dengan telapak tangan ketika dia baru saja menggeplak kepala Badrol sampai cowok itu tersungkur ke jalanan. Bagaimana Kasa gak kaget, tiba-tiba cowok itu merangkul pundaknya sambil bilang 'sayang', asal tahu saja Kasa anti dengan hal cringe seperti itu, meskipun aslinya dia agak senang sih.
"Buset lo main geplak aja." Tampak Badrol memegangi pelipisnya yang sakit akibat digeplak Kasa. Dia segera bangun lagi.
"Lagian lu apa-apaan main panggil gue sayang segala. Cih." Kasa berdecih sambil memalingkan wajah.
"Bilang aja lu aslinya suka. Iya, kan?" Badrol mulai menggoda dan sontak wajah Kasa jadi semerah apel.
"Lama-lama gue goreng lu kayak cireng. Mau lu?" Kasa pura-pura mengancam.
"Buset, jahat amat lu jadi cewek. Eh, ngomong-ngomong, Sayang—"
"Jangan panggil gue sayang!" Kasa melotot panik sekali lagi bikin Badrol terkekeh.
Wah, gila! Badrol sudah gila. Bisa-bisanya cowok itu nebar senyum sembarangan. Kasa jadi pengin laporin hal itu orang ke kantor polisi karena udah bikin jantungnya ajep-ajep kayak lampu diskotik. Senyum Badrol benar-benar tidak sehat buat kondisi jantung Kasa. Tapi kenapa? Setiap Badrol nebar senyum jantung Kasa selalu dibikin ajep-ajep gak karuan? Apa iya Kasa menaruh hati pada cowok itu?
"Napa sih lu panik amat? Gak pa-pa kali buat pemanasan." Kata Badrol sambil menaikkan dua alis.
"Tau dah." Kasa mendelik lalu cewek itu berjalan meninggalkan Badrol di sana tapi Badrol malah ikut mengintilinya. "Ngapain lu ngikutin gue? Gue mau ganti baju. Lu jangan macem-macem ya!" Kasa menegur sekaligus mengancam.
"Ye siapa yang mau ngikutin lu? Orang gue mau ngambil minuman di vending machine." Kata Badrol sambil menjulurkan lidah.
Demi apa pun Kasa dibikin malu setengah mati karena kegeerannya. Badrol sialan! Buru-buru cewek itu berlari dari sana dan kalau perlu dia pengin sembunyi di dalam kardus saking gregetnya.
Acara ganti baju Kasa jadi terpending gara-gara Badrol. Waktunya pun juga ikut terbuang sia-sia. Cewek itu harus pergi buru-buru sekali karena sepertinya beberapa menit lagi jam olahraga akan segera berakhir. Namun, secara kebetulan dia berpapasan lagi dengan Akriel yang kelihatannya lagi bergegas. Laki-laki itu tampak berlari di sepanjang koridor, rambutnya sampai dibikin berantakan dan tak beraturan. Tapi, Kasa akui laki-laki itu punya pesona yang bukan main meskipun dengan tatanan rambutnya yang amburadul.
Kasa menghadang jalan Akriel.
"Jangan menghalangi jalan." Dingin Akriel.
Kasa mengambil paksa foto misterius dari tangan Akriel. Cewek itu sedikit mengernyit ketika tahu kalau itu adalah foto yang pernah Kasa lihat sebelumnya. Kasa tidak kenal siapa gadis dan wanita yang ada di foto itu. Tapi seingat Kasa, dia pernah melihatnya saat bersama Badrol waktu lalu. "Dari mana lo dapet foto ini?"
Akriel tak menjawab, laki-laki itu kembali mengambil foto dari tangan Kasa. "Apa itu penting buat kamu tahu?" Lantas Akriel kembali bergegas dan meninggalkan Kasa di sana. Kasa tentu tak bisa hanya diam, cewek itu malah mengikuti Akriel yang kini tengah berlari ke ruang kepala sekolah. Kasa teringat kalau di ruangan itu sedang diadakan sidang kasus antara Dara dan Sheryl, bukan?
Kasa berlari sekuat tenaga mencoba mensejajari langkah Akriel. "Akriel!" Yang dipanggil tetap tak menggubris.
Grep
Akriel yang hendak membuka pintu ruangan kepala sekolah tercekat sesaat ketika sebuah tangan mungil tengah menahan tangannya. "Lepaskan tangan saya!" Tatapnya tajam pada Kasa.
"Apa yang mau lo lakuin sih?" Kasa tak kalah garang.
"Saya tidak banyak waktu untuk berdebat. Lepaskan tangan saya."
Tapi Kasa malah memegangi tangan Akriel lebih erat lagi membuat laki-laki itu kesusahan membuka pintu. Akriel bisa saja menghempaskan Kasa dengan mudah karena ukuran tubuhnya yang tak seberapa. Hanya saja Kasa itu perempuan dan Akriel sendiri tidak tega kalau sampai menghempaskannya sampai cewek itu tersungkur nanti.
"Jangan bertingkah nekat, Akriel. Lo tau kan di dalem sana lagi ada sidang?" Kasa memasang tatapan tajam.
"Saya membuat keputusan yang benar. Saya ingin menolong seseorang, teman saya, Dara. Tolong jangan halangi jalan saya." Kata Akriel begitu dingin.
"Akriel..." Kasa lirih.
"Saya akan baik-baik saja, Kasa."
"Lo gak akan baik-baik aja."
Akriel diam. "Saya berjanji akan baik-baik saja." Sepersekian detik kemudian Akriel melepaskan jari-jari Kasa yang masih merekat di pergelangan tangannya. Lalu laki-laki itu membuka pintu dan tanpa menunggu lama lagi dia langsung masuk ke sana.
Kasa mematung setelah Akriel menghilang di balik pintu. "Lo dalam bahaya, Akriel," pelannya kemudian.
***
Sidang itu dilaksanakan hari ini dan Dara hanya bisa pasrah sekarang. Di depannya sudah berjajar guru-guru dan kepala sekolah sebagai hakimnya. Di belakangnya berjejer para saksi dan Mira sebagai saksi utamanya. Di sampingnya tentu ada Sheryl serta mama dan kedua papanya, yaitu ayah kandung dan ayah tiri. Sementara Dara, dia hanya seorang diri tanpa orang tua atau wali.
Dara sangat ketakutan. Gadis itu tak berhenti memainkan jari kuku untuk mengatasi kegugupannya. Apakah riwayatnya sudah tamat?
"Saudari Mira, sudah siapkah Anda untuk memberi kesaksian?"
Dara memejamkan matanya lalu sesekali menghela napas pasrah.
Mira berjalan ke depan dan semua perhatian orang tengah tertuju padanya. "Saya ingin memberi kesaksian dan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Siang itu saya berada di kelas. Lalu tiba-tiba saja Sheryl masuk ke dalam kelas. Dia meletakkan ini di meja Dara." Mira menunjukkan sebuah kotak kecil yang dibungkus dengan kertas bergambar berwarna hijau. "Ini adalah hadiah yang ingin diberikan Sheryl pada Dara. Lalu kemudian datanglah Dara ke kelas. Dan tanpa diduga dia langsung mendorong Sheryl sampai tersungkur, dia juga menjambak rambut Sheryl dan memukulnya berkali-kali."
"Apa kamu sudah gila?!" Ibu Sheryl tengah melayangkan tatapan super marah pada Dara di sampingnya, tapi Dara sama sekali tak menggubris seruannya. "Bisa-bisanya kamu menyakiti anak saya yang mau berbuat baik sama kamu!"
Dara tersenyum miring. 'Berbuat baik katanya?'
Tok tok tok
Terdengar ketukan suara palu dari hakim alias Pak Bondan sendiri. "Diam!" Pria itu mencoba menengahi. "Saudari Addara, benarkah yang dikatakan Mira itu? Apa kamu mendorong, menjambak dan memukul Sheryl secara sengaja?"
"Saya memang mendorong, menjambak dan memukul Sheryl. Saya melakukannya bukan secara sengaja dan saya juga punya alasan kenapa saya melakukan itu." Kata Dara.
"Apa alasan kamu?"
"Saya baru saja datang ke kelas waktu itu dan saya mendapati Sheryl juga ada di sana lebih dulu. Lalu saya melihat di papan tulis, saya tahu itu adalah ulah Sheryl. Dia menghina ibu saya dengan menuliskan ibu saya sakit jiwa di papan tulis. Ya, ibu saya memang sakit jiwa dan saya keberatan karena Sheryl menghina ibu saya seperti itu. Maka dari itu saya mendorong, menjambak dan memukuli Sheryl. Tidakkah itu sebanding dengan apa yang Sheryl lakukan? Dan soal hadiah yang ingin diberikan Sheryl pada saya, itu cuma bohong. Saya dan Sheryl adalah musuh. Dia sangat membenci saya dan bagaimana bisa Sheryl berniat memberi saya hadiah seperti itu dengan tiba-tiba. Hadiah itu hanya alibi yang dia buat sendiri seusai kejadian itu." Ujar Dara membuat Pak Bondan kebingungan.
"Jangan percaya dia." Sheryl tiba-tiba menyergah. "Bagaimana kamu bisa menuduh saya tanpa bukti? Lagipula saya merasa tidak menulis apa pun di papan tulis."
"Mau sampai kapan kamu berbohong?" Dara melirik Sheryl. "Kamu terus menyangkal fakta untuk melindungi diri kamu sendiri, kan?" Dara tersenyum miring. "Betapa menyedihkan."
Sheryl mulai meradang. "Apa kamu bilang?! Aku tidak menyangkal fakta!"
Tok tok tok
Suara ketukan palu kembali terdengar. Pak Bondan dibikin kebingungan sekarang. "Jadi Sheryl menghina ibu Dara? Maka dari itu Dara menyerang Sheryl?"
"Tidak!" Sheryl beringas.
"Anak saya tidak mungkin melakukan hal itu." Ibunya Sheryl, Renita, ikut menyahut. "Dia adalah anak yang baik. Tidak mungkin Sheryl berbuat hal seperti itu."
"Saya sangat mengenal putri saya." Ayah kandung Sheryl, Herman, bergabung untuk bersuara untuk membela putrinya. "Dia tidak akan tega melakukan hal keji seperti itu."
Sementara ayah tiri Sheryl, Dimas, diam saja.
"Kalau begitu kita dengar kesaksian dari saksi saja. Saudari Mira, benarkah Sheryl menghina ibu Dara melalui papan tulis."
"Itu tidak benar!" Tegas Mira. "Saya tidak melihat tulisan apa pun di papan tulis waktu itu. Sheryl tidak menghina siapa pun."
Dara sontak mengernyitkan kening dan tak habis pikir. Memang percuma dia mengatakan hal sejujur apa pun karena semua keadilan hanya akan berpihak pada orang kaya.
Pak Bondan masih dengan ekspresi kebingungan. "Bagaimana dengan saksi lain?"
Seorang murid di belakang tiba-tiba berdiri, sebut saja namanya Dafa, "Saya juga tidak melihat tulisan di papan tulis waktu itu. Yang saya lihat hanya ada tulisan sisa pelajaran matematika. Itu saja."
Satu orang murid lagi ikut berdiri, namanya Tira, "Saya juga tidak melihat tulisan hinaan di papan tulis. Saya tidak mengerti kenapa Dara berhalusinasi dengan hal yang tidak benar."
Pak Bondan menghela napas.
"Apa tiga saksi kurang cukup untuk membuktikan kalau Dara berbohong?" tukas Sheryl. "Sudah jelas kalau Daralah yang bersalah dalam hal ini. Dia penjahat."
"Siapa yang kamu bilang penjahat?" Dara menyitpit ke arah Sheryl. "Apa kamu sedang membicarakan diri sendiri?"
"Cukup!" Pak Bondan kembali menengahi. Namun, tiba-tiba...
BRAK
Terdengar suara pintu yang terbuka dengan keras dari arah belakang dan itu adalah Akriel. Dara luar biasa terkejut dengan kehadiran laki-laki itu yang tiba-tiba ada di sini. Bagaimana dia bisa senekat itu? Kehadirannya mampu merampas perhatian semua orang ketika laki-laki itu berjalan dengan tegapnya menghadap sang hakim alias Pak Bondan.
"Nak Akriel?" Pak Bondan mengernyit.
"Izinkan saya untuk ikut memberikan kesaksian." Kata Akriel dengan dinginnya membuat semua orang termasuk Dara tercekat.