***
Brak!
Aku terhempas ke dinding oleh s*****a ghoul. s**l, level S memang kuat. Selama aku masih mampu berdiri dengan kedua kakiku, aku takkan menyerah begitu saja sampai misi kami selesai. "Maki-san," panggilku. "Jika kau ikut denganku, kau takkan terluka parah." Ini dapat dikatakan sebuah bujukan halus dan memang bukan omong kosong untuk melarikan diri.
Wanita bertopeng itu tertawa sinis. "Rupanya lawanku masih seorang amatiran. Sangat menjengkelkan!" Maki melesat cepat ke arahku sambil mengarahkan kagune lengannya. Sementara aku bersiap untuk serangan berikutnya.
Zrat!
Kagune milikku berbentuk panjang seperti pedang yang sudah dimodifikasi. Aku mengayunkannya gesit dan mengenai tepat di d**a ghoul Maki. Darah keluar dari tubuh wanita itu. Maki terdorong mundur. Wajahnya nampak terkejut melihat lukanya.
Meski ghoul adalah makhluk yang memiliki regenerasi cepat, luka yang kubuat di tubuhnya menahan regenerasi tersebut. Inilah fungsi dari kaguneku.
"Nami!" Nusa berteriak sesaatnya tiba di ruangan ini. Berikut bersama Nesa dan dua rekanku lainnya berdatangan.
"Sebentar lagi kerja kita akan selesai," kataku menilai keadaan. "Kalian, cepat ringkus dia!" titahku yang seketika mereka bergerak mengepung ghoul Maki. Tidak butuh waktu lama bagi kami bekerja malam ini. Karena ghoul level S sudah berhasil kami lumpuhkan tanpa cedera.
Kami menyerahkannya ke pihak berwenang. Memenjarakan ghoul itu di ruangan khusus bawah tanah dengan keamanan berlapis. Sementara para polisi khusus memeriksa tempat kejadian perkara. Mereka menemukan banyak tulang belulang manusia yang diduga merupakan orang hilang.
Aku kembali ke rumah dengan sedikit lelah. Melepas sepatu dan jas tanpa minat, lalu langkahku terhenti saat melihat balkon kamar yang terbuka dan punggung pria berdiri di sana. "Takashi," panggilku. Ada apa dia di kamarku? Sedikit mengejutkan melihat Takashi ada di rumahku, padahal sebelumnya kami berpisah jalan.
Takashi berbalik. Wajahnya tersenyum indah disirami sinar rembulan. Aku mengagumi pemandangan itu. "Kau sudah pulang?" tanya Takashi. Aku bingung tapi mengangguk. "Ya." Lalu aku pergi ke lemari untuk mengganti pakaian di kamar mandi sekaligus mencuci muka dan gosok gigi.
Sambil bercermin di wastafel, aku termenung. Takashi belum tahu kalau aku seorang Kesatria Putih. Kenapa dia tidak menanyakan aku pergi ke mana saja. Apakah dia sudah tahu kalau aku Kesatria Putih? Aku mendengus. Itu bukan sesuatu yang harus dipusingkan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku.
"Aku hanya merasa khawatir padamu. Apa kau tidak melihat berita malam ini?" Takashi bertanya balik. Yang membuatku memiringkan kepala, bingung. Kemudian Takashi menyalakan televisi dan berita terkini sedang dalam siaran.
'Telah ditemukan mayat manusia di gedung proyek dengan luka serius di bagian perut tanpa organ dalam. Sampai saat ini polisi masih menyelidiki penyebab kejadian perkara.'
Rekaman latar lokasi yang ditayangkan di televisi itu, aku mengenali tempatnya. Berada tidak jauh dari rumahku. Kasus itu membuat otakku langsung menuduh pelakunya adalah ghoul. Meskipun manusia lain juga bisa mengambil organ dalam manusia untuk dijual belikan, tetapi dugaan seperti itu hanya kemungkinan kecil terjadi. Namun, makhluk ghoul yang notabene pemakan manusia adalah tuduhan yang empuk.
Aku menoleh pada Takashi. "Bangunan proyek itu kan hanya satu kilometer dari sini," komentarku. "Kabar yang buruk... Menurutmu siapa pelakunya, ya?"
"Entahlah. Hanya orang gila yang melakukan hal sekejam itu," balas Takashi.
"Kuharap korban dapat tidur dengan tenang di sisi Tuhannya." Aku melirih. Walau pikiranku tertuju pada ghoul.
"Aku ingin menemanimu di sini," kata Takashi.
"Oh... baiklah." Meski aku bingung dengan sikap Takashi. Yah, dia terkadang begitu: rasa kekhawatirannya agak tinggi terhadapku. Aku menyukai hal itu yang kuanggap bahwa Takashi peduli kepadaku. Aku menyayanginya.
Setelah selesai mengganti pakaianku dengan yang lebih santai, aku berbaring di ranjang bersama Takashi di hadapanku. Ralat, lelaki itu memelukku dengan hangat. Sementara aku yang merasa nyaman di dalam dekapannya pun mulai mengantuk. Selanjutnya aku tidak ingat apa pun lagi.
***
Aku terbangun oleh aroma sedap. Kubuka mataku perlahan, dan hari sudah siang dari jendela kamar. Aku menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Berjalan mengikuti aroma sedap ini. Ketika tiba di dapur, aku melihat punggung Takashi di sana. "Ohayou~" sapaku. Lalu Takashi menoleh sambil tersenyum. "Ohayou," sahutnya.
"Kau sedang membuat apa?" tanyaku.
"Membuat sup ayam. Tunggu saja, sebentar lagi akan matang," kata Takashi sambil memasukkan potongan sayuran ke dalam panci kecil yang berisi air mendidih.
Kemudian aku melangkah mendekati punggungnya. Kupeluk perut Takashi dengan manja. "Nami-san, aku sedang memasak, tunggulah di sana, atau kau mandi dulu," ucap Takashi dengan teguran lembutnya. Mataku terpejam nyaman di punggung bidang Takashi. "Mmm, baiklah, daripada menunggu, aku mandi saja." Kulepaskan pelukanku dari perutnya dengan setengah rela.
Beberapa menit kemudian, aku sudah duduk di depan meja dan makanan buatan Takashi. Lelaki itu duduk di seberangku sambil menunggu penilaian rasa dariku. Benar, ini adalah kali pertama aku akan mencicipi makanan buatan Takashi. "Semua makanan ini terlihat menggoda," kataku sebelum mencelupkan sendok sup ke mangkuk. Lalu aku mulai menyicipi sesendok sup ke mulutku.
Aku menaruh sendok dan perlahan menatap ke depan, di mana Takashi tampak tegang menunggu komentarku. "Takashi-san, kupikir kau berbakat menjadi koki. Rasa masakanmu lebih enak daripada buatanku sendiri," ucapku jujur. Mata Takashi membelalak kaget. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Menatapku dengan raut seakan tak percaya. "Sungguh? Kau tidak berbohong??" tanyanya.
Aku mengangguk mantap. "Hanya kurang sedikit garam," ujarku.
"Sepertinya tidak enak. Sudah jangan dimakan," kata Takashi sedih sambil mengulurkan tangannya untuk mengambil mangkuk supku. Tapi aku cepat menghalanginya. "Tunggu dulu, aku kan hanya bilang kurang garam, bukan berarti masakanku tidak enak," belaku.
"Sudah sini berikan padaku. Jangan dimakan lagi." Takashi bersikeras. Berusaha membereskan alat makanku. Lagi-lagi aku menahannya. Selanjutnya pun kami berdebat soal makanan. Sejujurnya, semua masakannya ini tidak memiliki rasa, ikan pepes yang hambar dan sisanya lagi: potongan tahu kukus yang keasinan.
"Tunggu dulu Takashi! Rasa ikan ini memang hambar tapi itu jika tidak kuberi kecap di atasnya." Ucapanku berhasil membuatnya terdiam. Otakku berputar cepat untuk menyiasati rasa masakan Takashi. Aku meletakkan potongan daging ikan ke atas nasi lalu menyumpitnya sebelum kumasukkan ke dalam mulut. Disusul sepotong tahu berbentuk kubus kumakan bersamaan. Aku mengunyah perlahan. Tanpa berkomentar sampai makanan di mulutku habis, barulah aku bersiap bicara.
"Rasanya jauh lebih baik lho. Makanan lebih enak jika dimakan bersama makanan lain." Aku mengulas senyum lega. Tapi, Takashi tetap diam menatapku. "Sungguh! Aku bicara jujur! Memang kapan aku berbohong padamu?" kataku seolah mengerti reaksi diamnya Takashi.
Takashi mendengus cemberut. Aku menghela napas. "Kalau kau tidak percaya, coba saja sendiri," kataku membujuknya. "Tidak perlu, aku membuat makanan ini khusus untukmu. Ini akan menjadi PR bagiku untuk memasak lebih baik lagi," sahut Takashi.
"Ayolah kita makan bersama," rayuku.
"Melihatmu makan saja sudah membuatku kenyang."
"Dasar tukang merayu," ledekku.
***