Takashi dan Aku

1043 Kata
Selain sebagai pemburu ghoul, aku bekerja di sebuah kafe tiap siang. Seperti saat ini, aku sudah berdiri di balik meja kasir, melayani pembayaran pelanggan dengan senyuman. Kring! Suara bel pintu kembali berbunyi untuk ke sekian kali. Suasana kafe hari ini lumayan ramai. Aku memindai pandangan ke arah pintu. Tampak seorang wanita berjalan masuk dan duduk di salah satu meja kosong. Aku menghampiri pelanggan itu. "Permisi, ingin memesan apa?" tanyaku sopan. Pelanggan wanita yang terlihat lebih dewasa dariku itu tersenyum lembut. "Kopi terenak di sini," jawabnya. Aku pun mengangguki itu dan berbalik ke meja bar. Memberitahukan pesanan pada rekan kerjaku yang bertugas membuat minuman. "Yuna, satu kopi terenak, ya," kataku. Yuna tersenyum saat berkata. "Baiklah." Aku menunggunya sampai selesai membuat pesanan. "Hei, Yuna. Aku belum pernah membuat kopi sendiri. Bisa kau ajariku nanti?" ujarku sambil melihatnya menyaring kopi bubuk. Aku tiba-tiba saja teringat akan Takashi. Sekali-kali aku membuatkannya kopi yang bukan kopi instant. Oh iya, harus punya alat penggiling kopinya juga dong? Kira-kira berapa ya? "Boleh kok," kata Yuna. Wanita seumuran denganku ini mungkin belum tahu kalau aku sudah memiliki kekasih. Yah, aku tak pernah bercerita kepada siapa pun. "Aku ingin membuatnya di rumah... Apa harus mempunyai alat-alat besar itu?" ujarku melirik peralatan pembuat kopi. "Tentu saja. Tapi kenapa harus repot-repot bikin kopi seperti ini di rumah? Bukankah lebih praktis menggunakan kopi instan?" Yuna benar bertanya. "Aku punya kekasih. Dia suka sekali dengan kopi. Aku ingin sekali membuatkannya kopi seperti di kafe," jelasku. "Ajak saja dia ke kafe ini. Atau kau membeli kopi bubuk dari kafe ini, supaya di rumah tinggal diseduh saja dengan air." Usulan Yuna mencerahkan pikiranku. "Wah! Itu ide bagus. Aku akan bilang pada manajer!" Aku bersemangat mengatakannya. "Ini pesanan kopi terenaknya." Yuna menyodorkan secangkir kopi ke atas meja bar. Aku memindahkannya ke nampan untuk diantarkan pada pelanggan tadi. Kuletakkan perlahan cangkir kopi ini ke hadapan pelanggan wanita itu. "Terima kasih." Wanita itu tersenyum kepadaku. Aku segera permisi pergi, dan kembali ke meja kasir saat ada pelanggan hendak membayar. *** 'Kau pulang kerja jam berapa?' Begitulah yang tertera di layar ponselku saat baru kubuka pesan masuk dari Takashi. Aku balas mengetikkan kalimat, bertepatan dengan panggilan masuk darinya yang mengurungkan niatku. Tombol hijau aku dial untuk menjawabnya. "Takashi-san, baru saja aku mau membalas pesanmu, kau sudah meneleponku," kataku. "Aku hanya tidak sabar mengetahui keadaanmu." Aku mendesau pelan. "Aku sedang istirahat saat ini." Lalu aku mengecek jam tangan di pergelangan tanganku. "Mungkin sekitar satu jam lagi aku akan pulang." Kuberitahu pada Takashi. "Baiklah, aku akan menjemputmu," ujar suaranya. "Takashi-san, memangnya kau tidak sibuk?" heranku. Selama kami berpacaran, lelaki itu hampir tidak pernah mengantarku pulang dari tempat kerja. Bahkan aku yakin sekali dia tidak pernah mampir di kafe ini. Padahal kafenya cukup terkenal di sekitar kota. Tapi yah, Takashi bukan orang yang suka menongkrong tanpa alasan. Dia selalu sibuk dengan pekerjaannya, begitu pula denganku. Jika siang bekerja di kafe, maka malamnya aku akan memburu ghoul dan terlibat pertarungan yang mengancam keselamatan. Karena kesibukan masing-masing, membuat kami sulit bertemu. Kecuali di hari libur. "Aku akan menjemputmu. Berikan alamat tempat kerjamu," katanya. "Baiklah, aku kirim via pesan." Kemudian aku mendengar suara seseorang memanggil nama Takashi dari kejauhan. "Takashi---" Hanya sebentar suara pria itu terdengar, sebelum Takashi mengakhiri sambungan teleponnya. Aku menyimpan lagi ponselku di dalam loker, dan kembali ke meja bar. Aku berdiri di samping rekan kerjaku yang bernama Bono. Seorang pria gempal yang ramah pada semua orang. "Pelanggan hari lumayan banyak, ya," kataku. Langit di luar jendela sudah sore. "Ya. Ini momen yang paling menyenangkan dalam hidupku. Aku menyukainya," ujar Bono. Wajahnya tersenyum dengan mata melengkung nyaris hilang. "Begitu, ya? Kau sangat menikmati pekerjaan ini, ya," kataku. "Kurang lebih begitu." *** Aku baru saja keluar kafe setelah semuanya beres. Kebetulan aku mendapat shift pagi, jadi meski hari masih sore, aku sudah selesai bekerja. Jadwalku sangat padat tiap hari, pengecualian untuk akhir pekan. Pukul tiga sore sudah pergantian shift, sementara peranku sebagai pemburu ghoul dimulai pukul tujuh malam. Sekiranya masih ada banyak waktu untuk istirahat. "Nami-san!" Kudengar suara tak asing memanggilku. Aku memindai pandangan. Kudapati segera sosok Takashi di seberang jalan, melambaikan tangannya kepadaku sambil tersenyum. Bibirku tertarik tipis. Lalu lelaki itu terlihat berlari kecil menyebrangi jalan, hingga berhenti di hadapanku. "Ayo, kita pulang," kata Takashi. Aku meraih lengannya, mendekapnya dengan manja. "Aku senang," ungkapku bahagia. "Senang? Kenapa?" sahut Takashi dengan pertanyaan. "Tentu saja aku senang. Ini adalah kali pertama kita, kau menjemputku dari tempat kerja, bukan?" ucapku. "Maafkan aku..." Tiba-tiba Takashi berhenti. Aku mendongak ke wajahnya. "Kenapa kau mendadak minta maaf?" heranku tak dapat menebak maksudnya. "Aku jarang memperhatikanmu secara langsung. Aku sadar kalau aku orang yang workaholic." Takashi mengatakannya dengan raut menyendu. Kemudian meluruskan pandangan menatapku tegas. "Tapi, kali ini aku akan lebih sering menemuimu, menjemputmu pulang, dan kita akan lebih sering bertukar kabar via telepon." Aku mematung bengong. "Takashi-san, apa yang merasukimu? Tumben sekali~" komentarku merasa aneh. "Bukankah kita pasangan kekasih. Wajah bukan jika kita sering menghabiskan waktu bersama? Terlebih.... Belakangan ini mulai bermunculan sesuatu yang berbahaya di sekitarmu." Aku teringat pada berita televisi yang kemarin kami bahas. Takashi rupanya memiliki tingkat kecemasan yang tinggi. Aku terharu mendapat perhatian darinya. "Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanyaku. "Kau tak perlu memikirkan hal itu. Pekerjaanku kali ini bisa dibawa santai. Jadi aku punya banyak waktu untuk mendengar suaramu," katanya dengan wajah ramahnya. Aku tersenyum tulus. Kurasakan pipiku menghangat. "Terima kasih." Kami pulang ke rumahku sambil bergandengan tangan. Hanya lima belas menit jalan kaki dari kafe ke rumah. Ya cukup dekat. Tiba di lampu lalu lintas, kami berhenti untuk menunggu lampu penyebrangan berwarna hijau. Ketika itu aku menyadari Takashi kelihatan sedikit gelisah. "Ada apa, Takashi-san?" tegurku, kepadanya yang celingukan. "Tidak ada apa-apa," ujarnya. Kupikir tak perlu memikirkan sikap Takashi ini, jadi aku mengarahkan pandangan ke depan. Saat itu aku terpegun melihat wanita kemarin, berdiri di seberang jalan, di antara para pejalan kaki lain. Tatapannya seolah menghunus ke arahku. Siapa wanita itu? Aku ingat bahwa dia pernah menyebut nama Takashi. "Takashi-san, apa kau mengenal wanita di sana?" tanyaku penasaran. "Wanita yang mana?" kata Takashi.  "Wanita yang---" Kata-kataku terhenti diujung lidah ketika sekali lagi aku melihat ke seberang sana, dan tidak menemukan keberadaan wanita itu. Ke mana dia? Tatapanku memilah setiap orang di depan. Tapi, tidak satu pun kutemukan ciri-cirinya.  Aku enghela napas. "Bukan apa-apa." Akhirnya aku hanya memendamnya sendiri. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN