Aku pandangi televisi yang belum aku nyalakan. Di tanganku ini ada sebuah kaset CD yang ayah berikan kepadaku. Ayah menyuruhku untuk melihat isi dari kaset tersebut. Namun, aku sangat berat untuk menyetelnya. Aku sudah bisa membayangkan apa yang ada di dalamnya.
“Apa aku harus melihat ini semua?” Aku masih memperhatikan CD tersebut, tanpa niat akan memasukkannya ke dalam alat pemutar piringan tersebut.
“Hufff... apa keputusanku untuk datang ke sini sudah tepat ya?” keluhku.
Aku hanya bisa berbicara dengan tembok. Tidak ada satu pun teman yang bisa aku ajak untuk berdiskusi tentang hal ini. Tentang sesuatu hal yang harus dirahasiakan dari siapa pun.
“Kring... kring....”suara dering telepon yang ada di kamar membangunkan diriku dari lamunan ini.
“Halo...” sapaku pada seseorang yang ada di seberang sana.
“Halo. Kamu belum tidur?” tanya seseorang. Dan aku tahu suara siapa ini.
“Be... belum, Yah,” jawabku.
“Kamu belum nonton kaset yang ayah suruh?” Ayah sepertinya tahu apa yang sedang aku kerjakan.
“Mmmmm... belum, Yah.” Aku hanya bisa jujur dengan keadaanku ini. Karena aku tidak tahu, apakah ayah sudah menyadap kamarku ini atau tidak.
“Ya, sudah. Kalau tidak mau malam ini kamu melihatnya. Ayah kasih waktu sampai besok untuk kamu menonton rekaman itu.” Ayah sepertinya tidak ingin memaksa diriku untuk melakukan hal itu saat ini juga.
“Ba... baik, Yah.”
“Malam, Candra?” sapa Ayah sebelum menutup telepon ini.
“Malam, Yah.” Aku menjawabnya, di saat suara telepon ini sudah mulai terdengar suara ‘tut... tut... tut....’
Setelah aku menaruh gagang telepon pada tempatnya, aku pun merebahkan diriku ini di atas kasur yang sangat lembut ini. Aku pandangi langit- langit kamar yang terasa sangat dekat dengan diriku. Aku sungguh merasa diriku ini berada di dalam sebuah tempat yang sangat sempit dan sumpek. Aku ingin sekali keluar dan kabur dari situasi sekarang ini.
Dalam kebimbanganku ini, aku masih memegang sebuah kotak yang berisikan piringan CD yang ayah suruh untuk melihatnya. Walau ayah tidak memaksaku untuk melihatnya malam ini, namun apa bedanya jika aku melihat sekarang atau pun esok hari. Aku tetap akan melihat isi dari sesuatu yang tidak ingin aku lihat.
Akhirnya, aku putuskan untuk melepas kotak yang dari tadi seakan terus menempel di tanganku. Aku pun memilih tidak melihatnya malam ini. Hari ini sudah cukup banyak rasa terkejut dan kecewa yang aku peroleh. Salah satunya kekecewaan dengan sikap ayah. Di saat sudah lama aku tidak bertemu dengan ayahku, beliau malah memintaku untuk menjadi orang lain.
Ayahku sendiri menginginkan diriku berubah menjadi adik kembarku. Aku cukup sedih dan tertekan dengan hal itu. Seolah, aku ini memang anak yang tidak diinginkan. Padahal, aku sudah jauh- jauh membuang perasaan itu. Namun jika seperti ini keadaannya, semua seolah membenarkan pemikiran buruk itu.
“Huufff... aku mau keluar dari sini.” Aku segera bangun dari rasa ketepurukan ini. Dan berjalan keluar dari kamar yang sempit dan pengap ini.
Aku berjalan dengan langkah kaki yang sangat ringan. Aku berusaha tidak menimbulkan suara saat melalui kamar ayahku. Aku tidak ingin ayah mengetahui, apa yang akan aku lakukan malam ini. Aku ingin sekali melepas penat yang sedang aku rasakan.
Aku menyusuri jalan yang tadi ayah tunjukkan kepadaku. Lorong hotel ini sungguh terlihat sangat sepi dari pengunjungnya. Bahkan dari tadi, aku belum melihat seorang pun berjalan di sini. Hanya ada aku seorang dengan kesunyian malam yang pasti. Aku terus berjalan, hingga berhenti di depan sebuah lift. Pintu liftnya masih tertutup dan masih bergerak ke lantai tempatku berada.
“Ting....” suara itu menandakan dia sudah sampai di lantai ini.
Aku terus menunggu pintu ini terbuka. Aku masih bingung, apa yang akan aku lakukan malam ini. Apakah aku memang harus kabur dari ini semua dan kembali ke tempat pamanku. Ataukah aku harus tetap mengikuti keinginan ayahku itu.
“Deg....” aku melihat sesuatu yang mengejutkan di dalam lift tersebut.
“Kenapa diam aja? Mau masuk enggak?” katanya dengan sangat dingin.
Aku tetap terdiam di depan pintu yang terbuka ini. Bukannya aku takut naik benda kotak yang bergerak ini. Namun yang aku takutkan adalah makhluk yang ada di dalamnya. Dia bukan makhluk halus yang tidak bisa dilihat dan disentuh. Dia hanyalah manusia biasa yang berjenis kelamin berbeda dengan diriku. Tetapi, itulah yang aku takuti. Ini pertama kalinya, aku berada di ruangan yang sempit bersama seorang perempuan.
“Mau masuk apa enggak?” tanya perempuan itu lagi.
“I... iya.” Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalamnya dan membuang perasaan ragu itu.
“Tenang, can. Ini bukan pertama kalinya kamu melihatnya. Asal tidak perlu tidak menyentuh dia, kamu tidak akan apa- apa,” gumamku. Aku lakukan itu, agar membuat aku sedikit tenang.
“Mau lantai berapa?” tanyanya lagi. Hanya saja, suaranya tidak sedingin tadi.
“La... lantai dasar,” kataku gugup.
“Tapi lift ini mau ke atas,” sahutnya.
“I... iya... enggak papa.”
Sebenarnya, aku tahu bahwa lift ini akan ke atas. Awalnya, aku pun tidak mau masuk ke dalam sini. Tetapi, aku juga takut menyinggung perasaan perempuan yang tidak bersalah ini. Dia pasti akan berpikir yang tidak- tidak, jika aku tidak masuk ke elevator ini.
Aku terus memperhatikan perempuan yang berdiri di depanku ini. Aku pun sengaja menjaga jarak dengan dirinya. Aku takut, tiba- tiba berbalik dan mengganggu diriku. Sebenarnya itu yang membuat aku ragu untuk naik ke dalam lift ini. Tetapi, aku juga takut jika perempuan ini akan beranggapan aku berpikir dia itu bukanlah wanita yang baik- baik. Karena itu, aku tetap memutuskan untuk ikut dengannya ke atas. Walau memang, dari penampilannya saja aku sudah membayangkan seperti apa dia sesungguhnya.
Bibir merah dengan lipstik yang tebal. Muka yang di dandan dengan sangat cantik dan menggoda. Gaun seksii berwarna hitam yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Dan juga hak tinggi yang membuat perempuan ini terlihat lebih menggoda.
“Apa yang kamu lihat?” Ternyata, dia sadar bahwa aku sedang memperhatikan dirinya.
Namun anehnya, dia tidak memutar balikkan tubuhnya itu untuk melihat diriku yang berada di belakangnya. Dia hanya melihat diriku dari pantulan kaca yang mengelilingi kotak bergerak ini.
“Eeee... eng... enggak....” jawabku dengan sangat kaku.
Aku pun langsung memutar badanku ke arah yang berlawanan. Aku juga mengikuti apa yang dia lakukan. Aku memperhatikan gerak gerik perempuan itu dari balik cermin ini. Bukannya, aku ingin terus menikmati tubuhnya yang indah itu. Tetapi aku melakukannya, agar aku tahu dia mendekati diriku atau tidak.
Sampai tiba- tiba, sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Lampu lift tiba- tiba saja padam begitu saja. Elevator ini tiba- tiba juga terhenti. Aku langsung berpegangan pada besi yang menempel di dinding- dindingnya.
“A... ada apa ini?” Aku melihat keseluruh ruangan yang sudah tidak lagi terlihat jelas.
Aku juga sudah tidak sadar akan keberadaan perempuan itu. Sejak lampu ini padam, dia tidak lagi bersuara. Tidak seperti wanita kebanyakan, yang akan langsung berteriak jika dalam situasi seperti ini. Dia malah tidak terdengar bersuara sama sekali.
“Mmmm... mbak? Mbak?” Aku coba memanggil perempuan yang aku pikir lebih tua dariku itu.
Namun, hanya kesunyian yang aku dapatkan. Aku tidak mendengar jawaban dari perempuan itu.
“Mbak? Kakak? Tante?” Aku bingung harus memanggilnya apa. Namun, perempuan itu tetap tidak menjawab, walau hanya mengatakan “Hmmmm”.
Kemudian, aku pun menyalakan senter dari handpone yang sudah aku ambil dari sakuku ini. Aku pun langsung menyorot ke tempat perempuan itu tadi berdiri. Tetapi, aku tidak melihatnya. Karena panik, aku juga mengarahkan lampu tersebut ke arah kanan dan kiriku secara berganti. Aku khawatir, dia tiba- tiba sudah ada di sampingku dan memeluk diriku. Namun, aku tidak juga menemukannya.
“Perempuan itu... menghilang....” kataku panik.
“Apa jangan- jangan... dia....” Aku sempat berpikir yang tidak- tidak. Di dalam benakku sempat terlintas, bahwa dia itu perempuan jadi- jadian, alias makhluk astral.
Namun, aku langsung menepis pikiran itu. Aku sangat yakin, bahwa perempuan itu memang manusia. Karena, aku bisa melihat tubuhnya secara utuh. Lagi pula dia juga tidak melayang, seperti yang ada di film- film. Ya karena hanya di sana, aku bisa melihat makhluk- makhluk seperti itu.
Lalu, aku pun baru sadar kemungkinan yang bisa saja terjadi. Aku mengalihkan cahaya yang ada di tanganku ini ke arah lantai elevator ini. Seperti yang aku bayangkan sebelumnya, perempuan itu sudah tergeletak di bawah sini.
Aku langsung terkejut dan langsung berpegangan pada besi yang ada di sini dengan sangat kuat. Aku tidak menyangka harus berada di dalam situasi seperti sekarang ini.
“Ba... bagaimana ini?” pikiran makin kacau, saat aku sedang tegang.
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih. Aku yang tidak mungkin bisa menyentuh perempuan ini, tentu saja hanya bisa melihat dia tergelak begitu saja. Namun ini tidak boleh terjadi. Bagaimana jika perempuan ini memang sangat membutuhkan bantuannya. Tetapi jika aku yang mendekati dia, maka bisa saja aku juga akan bernasib sama dengan dirinya.
Bagaimana ini?
Apa yang harus aku lakukan?