Keadaan ini tidak ada yang bisa diprediksi. Sama halnya dengan keadaanku saat ini. Aku yang tidak bisa bersentuhan dengan seorang perempuan. Kini harus berurusan dengan seorang perempuan yang sedang tergeletak di lantai lift ini.
“Mbak... Mbak....” Aku masih berusaha memanggilnya, namun tidak berani mendekati dirinya.
“Mbak... kakak... tante....” Aku panggil semua panggilan yang sering digunakan untuk memanggil seorang perempuan dewasa. Namun perempuan itu masih tidak bergerak.
“Ba... bagaimana ini? Apa dia sudah....” Aku tidak berani membayangkan, jika perempuan ini sampai tidak bernyawa lagi.
Akhirnya, aku pun memberanikan diri untuk mendekati perempuan ini. Lampu senter yang berasal dari handpone- ku ini, sedikit demi sedikit mendekati dirinya. Wajahnya yang tadi tidak terlihat mulai berbentuk. Aku tidak sempat memperhatikan wajahnya dengan sangat jelas seperti sekarang. Sejak tadi, aku hanya memperhatikan gerak geriknya, agar dia tidak bergerak mendekati diriku.
Berlahan namun pasti, aku terus mendekati wanita yang masih tidak bergerak itu. Keringat pun mulai bercucuran di tubuhku ini. Bukan hanya keringat karena berada di dalam ruangan yang sangat sumpek ini. Namun keringat dingin karena mendekati makhluk yang sangat aku takuti ini.
“Bagaimana ini? Dia masih tetap tidak bergerak,” gumamku sambil melihat wajah perempuan itu.
Aku pun masih ragu, apakah dia masih bernyawa atau tidak. Apalagi oksigen di dalam ruangan ini semakin menipis. Aku semakin khawatir dengan perempuan ini.
Dengan gerakan yang lebih cekatan, aku langsung menghampiri samping pintu lift itu. Di bagian atas tombol angka ini ada satu tombol yang berfungsi untuk menghubungi seseorang yang sedang mengawasi tempat ini. Aku pun mencoba menekannya, dengan maksud untuk segera mencari bantuan.
“Halo... pak... pak....” kataku sambil terus menekan tombol tersebut.
Tetapi, aku tetap tidak mendengar seseorang menjawab diriku dari seberang sana. Bisa jadi, karena listrik yang mati, sehingga benda ini pun tidak bisa digunakan. Atau bisa saja, memang lift ini sebenarnya sudah tidak layak dipakai kembali.
“Ayah kenapa cari hotel yang seperti ini sih?” gumamku kesal.
Aku kembali mengarahkan lampu ini ke arah perempuan itu. Dia masih terlihat sama dengan kondisinya semula. Belum ada tanda- tanda dia akan sadar dari keadaannya itu.
Tiba- tiba sebuah ide pun muncul di dalam benakku ini. Aku yang dari kecil belajar tentang mesin, sedikit paham bagaimana caranya untuk menyalakan lampu di ruangan ini. Namun, jika disuruh untuk menggerakkan benda ini kembali, aku masih belum bisa. Lagi pula, perlu aliran listrik yang sangat besar untuk menggerakkannya.
Aku memperhatikan handphone yang ada di tanganku ini. Benda ini bukanlah telepon seluler yang ada di pasar- pasar. Aku sudah memodifikasi benda ini dengan kebutuhan yang aku inginkan. Bukan hanya kapasitas penyimpanan data saja yang sangat besar. Dia juga mampu menyimpan energi listrik dalam jumlah yang sangat banyak juga.
Aku tinggal membutuhkan beberapa alat untuk membongkar beberapa bagian dari lift ini. Dan juga sesuatu yang bisa menghubungkan listrik yang ada di handpone- ku dengan rangkaian yang ada di elevator ini.
“Mmmm... aku boleh pinjam ya?” Aku meminta izin kepada orang yang tentu saja tidak bisa menjawab itu.
Kemudian, aku keluarkan semua isi tas perempuan ini. Sehingga, semua barang yang dia bawa berserakan di lantai. Aku amati semua benda- benda itu. Sampai aku menemukan sesuatu yang bisa aku gunakan untuk membuka mur yang terpasang di dinding lift ini. Aku juga menemukan sebuah lempengan kecil di dalam sini. Itu sepertinya juga bisa menghantarkan listrik dari handpone- ku ke bagian yang ada di elevator ini.
“Siapa sebenarnya perempuan ini? Isi tasnya, banyak sekali barang yang aneh,” gumamku.
Tanpa pikir panjang pun, aku langsung membongkar dinding lift ini. Alat ini hampir serupa dengan alat yang ada di rumah paman. Beliau menggunakannya untuk mempermudah urusan pemindahan semua hasil dari ladangnya itu. Aku yang pernah membongkar alat paman, ini tidak terlalu sulit.
“Ceklek...” lampu di ruangan ini pun akhirnya menyala.
Tubuh perempuan itu semakin jelas terlihat. Tubuh indah nan putih itu tidak lagi terhalang oleh kegelapan. Bahkan, kini kakinya yang jenjang mulai terlihat. Sampai sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat pun juga terlihat.
Aku pun langsung memutar kepalaku, saat sesuatu yang di balik roknya yang mini itu tidak sengaja terlihat olehku. Penglihatan pertama itu bisa dianggap sebagai anugerah. Namun, penglihatan selanjutnya itu bisa masuk ke dalam sebuah dosa.
Aku melihat ke seluruh ruangan kecil ini. Aku mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menutupi kaki putih miliknya itu. Aku tidak mau, mataku ini sekali lagi ingin melihat sesuatu yang tidak boleh itu. Meski, aku pun tidak menutupinya. Rasa penasaran akan hal itu memang ada. Tetapi, tetap saja itu tidak boleh.
“Oh iya, jaket.” Aku lupa dengan benda yang tadi sempat aku buka saat aku sudah mulai merasa gerah di dalam ruangan ini.
Tetapi, saat aku ingt di mana letak jaket tersebut. Aku jadi ragu untuk mengambilnya. Bagaimana pun, jika aku mengambil benda itu, maka aku akan melihat perempuan ini sekali lagi. Karena benda itu berada di sampingnya dan posisinya berlawanan dengan diriku saat ini.
“Ah, daripada perempuan ini keadaannya semakin parah. Enggak papa kali,” gumamku.
Aku pun memutuskan untuk kembali melihat perempuan yang terbaring itu. Entah kenapa, mata nakal milikku ini langsung ingin melihat daerah yang tidak diperbolehkan itu. Namun di sisa kesadarannya yang masih aku miliki, aku berusaha untuk segera memalingkan wajahku dan fokus pada jaket. Setelah, aku berhasil menggapai pakaian tersebut. Aku pun bergegas menutup bagian bawah perempuan ini.
“Aduh... bawah ditutupi, tapi atasnya....” kataku saat sadar ada bagian lain yang semestinya juga aku tutupi.
Entah apa yang ada di dalam otak ini. Apakah ini pengaruh karena belum pernah memperhatikan wanita sebegitu lamanya. Selama ini, wanita yang ada di dekatku hanya Aying seorang. Tidak ada perempuan lain yang berani aku dekati diriku. Dan mungkin saja, karena aku sendiri tidak mau mendekati makhluk yang bernama perempuan itu.
“Kalau diperhatikan, perempuan ini sebenarnya cantik juga,” kataku sambil memperhatikan wajah perempuan ini.
“Andai saja, dia tidak mengenakan make up yang tebal. Pasti dia tambah cantik,” sambungku lagi.
Tiba- tiba, pikiran tidak benar mulai menghantui diriku. Padahal, aku ini seorang laki- laki yang memiliki kelainan dengan seorang perempuan. Tetap saja, bisa memikirkan hal seperti ini. Walau aku tidak pernah bisa menyentuh seorang perempuan. Namun, keinginan untuk bisa berubah itu tetap ada. Akan tetapi, tubuhku ini tidak sejalan dengan pemikiranku. Di saat, aku mulai berani menyentuh perempuan, di saat itu pula aku langsung terjatuh pingsan tidak sadarkan diri.
“Apa yang kamu pikirin, sih Candra. Perempuan ini sedang tidak sadarkan diri,” kataku mencoba membuat aku sadar akan hal itu.
Aku mulai memperhatikan perempuan itu dengan pandangan yang lain. Kali ini, aku memikirkan bagaimana cara agar perempuan ini bisa sadar. Sedangkan, aku tidak mempunyai alat atau pun air, untuk sekedar membuat dia terbangun dari pingsannya.
“Mbak... bangun, Mbak.” Aku masih berusaha memanggil perempuan ini.
Meski, aku sendiri masih belum berani menyentuhnya. Namun, ini sudah merupakan rekor pertama buatku. Aku bisa duduk bersebelahan dengan seorang perempuan dalam jarak yang sangat dekat seperti sekarang. Bahkan saat di pesawat saja, aku sengaja memesan dua buat tiket. Aku berharap tidak duduk bersebelahan dengan kaum hawa itu. Sehingga, aku membiarkan bangku di sampingku itu menjadi sebuah bangku kosong.
Namun, aku semakin khawatir dengan keadaan perempuan ini. Melihat tubuhnya yang tidak bergerak sama sekali, membuat aku semakin panik.
Apakah dia tidak akan apa- apa, jika aku membiarkannya begini?
Apakah dia mengalami gagal jantung atau sesak napas karena keadaan ini?
Bagaimana kalau dia sampai....
Pikiranku ini mulai kacau. Bayangan yang tadi sempat menghilang, kini terbayang kembali. Aku pun tidak ahli dalam hal menolong orang pada saat seperti ini. Walau, aku pernah melihat seseorang melakukan pertolongan pertama. Namun, aku sendiri belum pernah melakukan hal ini sebelumnya.
Tetapi, dengan modal nekat. Aku pun memutuskan untuk melakukan sebuah pertolongan pertama yang biasa dilakukan orang- orang. Aku pun memberanikan diri untuk menyentuh perempuan ini. Semoga saja, diriku kuat untuk menahan rasa ini.
“Deg... deg... deg... deg....” Jantung itu sudah berdegup dengan sangat kencang.
Padahal, aku belum juga menyentuh perempuan ini. Tetapi, aku sudah sangat khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Jika sampai aku pingsan di tempat ini, maka aku tidak tahu lagi bagaimana dengan nasib kami berdua. Tanda- tanda untuk lift ini bergerak pun tidak ada. Ditambah lagi, hari sudah sangat malam.
Apakah ada orang yang sadar dengan keadaan lift ini?
Apakah semuanya sedang nyenyak dalam mimpi indahnya?
“Deg... deg... deg....” Aku masih belum bisa mengontrol jantung ini.
Tanganku ini pun mulai bergetar sangat kencang, saat aku mulai memberanikan diri untuk menyentuh pipinya yang putih itu. Tidak ada pilihan lain untuk menolong perempuan ini. Hanya ada aku di dalam ruangan yang sempit ini. Jika aku terus membiarkan keadaan ini, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya.
“A... aku...” diriku ini benar- benar merasa sangat gugup.
Apakah tidak apa- apa aku melakukan hal ini?