Memutar Waktu

1776 Kata
Aku termenung di dalam lamunan ku malam itu. Meratapi nasibku yang tidak tahu akan seperti apa jadinya di masa depan nanti, atau bahkan tidak akan ada lagi masa depan untukku. Membayangkan apa yang akan terjadi nantinya, membuatku merasa takut dan gelisah, apakah benar aku bisa bertahan hingga nanti? Atau kah nantinya aku tidak bisa bertahan dan dengan cepatnya meninggalkan dunia ini? Aku hanya bisa menghembuskan napasku dengan pelan, berharap jika aku bisa memutarkan waktu dan aku pasti akan memutuskan untuk tidak melangkah keluar dari rumahku saat itu. … Flash back Tepat dua bulan yang lalu, aku baru saja menginjak di usiaku yang ke dua puluh tujuh tahun. Bodohnya diriku di saat itu, aku memutuskan untuk pergi setelah mendapat surat panggilan untuk bekerja di salah satu perusahaan ternama di kota sebelah, hingga pada akhirnya aku berakhir di sini. … “Kau yakin akan mengambil posisi itu, Sophia?” pandanganku beralih menatap Rico Adikku, ia terlihat orang yang paling mengkhawatirkanku saat ini, dan tentu saja aku yang merasa exited ini mengangguk dengan cepat dan tersenyum lebar ke arahnya, memberikan sebuah keyakinan kepadanya bahwa aku akan baik-baik saja tinggal di luar kota seorang diri. Meski pun begitu terlihat dengan sangat jelas jika adik laki-lakiku yang usianya tujuh tahun lebih muda dariku saat ini sangat ragu akan kepergianku di hari esok. Dan karenanya, membuatku menjadi merasa tidak enak, “Oh, Ayo lah … Rico! Aku pergi untuk bekerja di sana, dan ini adalah mimpiku!” Rico menganggukkan kepalanya menanggapi ucapanku, ia mengerti dan tahu meski ia mengkhawatirkanku saat ini. “Yeah … bolehkan aku berkunjung ketika libur tiba?” pandanganku kini teralih menatap ke arah Rico yang baru saja bertanya seperti itu kepadaku, yang tentu saja hal seperti itu sangat jarang aku dengar darinya, dan membuatku dengan senang menganggukkan kepala menanggapinya. “Sure! Datang lah ketika kau libur, tapi hubungi aku terlebih dahulu agar aku bisa menyiapkan kamar untukmu!” Rico dan aku tertawa bersama setelah aku berucap seperti itu kepadanya, dan aku akan terus mengingat moment itu, karena itu adalah kali pertamanya aku akur dengan Rico adikku. Setelah berbincang dengannya cukup lama, aku kembali mengemasi baju dan beberapa buku kesukaanku, sebelum akhirnya memasukkannya ke dalam koper yang nantinya akan aku bawa ke apartemenku yang ada di luar kota. Tok … tok … Sebuah ketukan dari pintu kamarku terdengar, yang membuatku kini menoleh menatap Ibuku yang baru saja mengetuk di sana, kini tersenyum dan berkata, “Hei, Lisa dan Marilyn datang!” senyumanku terkembang ketika mendengar kedua nama dari temanku yang membuatku dengan segera beranjak dari atas kasurku untuk kemudian berlari menuruni anak tangga dan berjalan keluar dari rumah hanya untuk mendapati Lisa dan juga Marilyn, kedua sahabat kecilku yang tumbuh bersama-sama denganku di satu lingkungan sekolah. Aku berlari untuk kemudian memeluk keduanya yang tengah berdiri tepat di halaman depan rumahku, yang tentu saja menimbulkan sebuah keributan para wanita yang terdengar sangat senang dan seru. “Ahh! aku tidak percaya kau akan mendapatkan pekerjaan itu, Sophia!!” aku tersenyum senang ketika mendengar ucapannya yang terdengar sangat melengkin dan senang, yang tentu saja aku tahu jika kedua sahabatku ini pasti merasa senang sekaligus sedih, dan itu persis sama seperti apa yang aku rasakan saat ini. “Ya … aku sendiri pun memikirkan hal yang serupa! Tapi aku senang, setidaknya salah satu di antara kita bisa mewujudkan mimpi kita!” kata Lisa yang kini menoleh dengan senang ke arahku, yang membuatku tentu saja terharu mendengarnya dan kini kembali aku peluk mereka dengan erat. “Eung~ aku akan merindukan kalian berdua!” ucapku kepada keduanya, aku mendengar mereka tertawa, “Terima kasih karena kalian mendorongku untuk melamar waktu itu!” sambungku lagi, dan kini kurasakan tubuhku kembali di balas peluk oleh keduanya, bahkan aku merasa bahu kananku yang kala itu di jadikan sandaran oleh Marilyn pun kini terasa basah, yang tentu saja membuatku segera menoleh wanita berambut coklat ikal yang kala itu sengaja ia sanggul, kedua mataku tepat menatap ke arah mata biru indahnya yang kini terlihat memerah, yang sudah aku pastikan jika ia menangis tadi. “Hei! Kenapa menangis?” ucapku, ini ulahnya … aku menjadi ikut merasa sedih ketika melihat Marilyn menangis hingga air mata yang kumiliki ikut terjatuh tanpa bisa aku kendalikan, yang tentu saja dengan cepat aku mengusapnya hingga Lisa yang menyadarinya pun berkata, “Hei … kenapa kau juga ikut menangis, Sophia?? kalian tidak usah cengeng … nanti aku juga ikut menangis!” pandanganku segera tertuju ke arah Lisa yang ternyata ia merengek dan ikut menangis bersama, dan hal itu tentu saja membuatku tertawa bahagia sekaligus sedih karena akan meninggalkan kedua sahabatku di sini. “Pokoknya kapan pun kalian harus datang ke apartemenku! Kita bermain ketika aku libur, kerja … ok?” kuhapus air mataku dan bertanya kepada kedua sahabatku yang kini mengangguk dengan serempak untuk menjawab pertanyaanku itu, dengan cepat aku menunjukkan kedua jari kelingkingku ke arah mereka berdua yang kemudian dengan segera menematkan jari kelingking mereka padaku. Seolah kami bertiga membuat sebuah perjanjian yang tidak boleh dan tidak bisa di langgar seenaknya saja. “Aku dan Mary berjanji akan menemuimu di hari minggu … dan kita bisa bergadang semalaman di apartemenmu, Sophia!” Aku tertawa menanggapi janji tersebut sebelum akhirnya aku menganggukkan kepalaku menyepakati janji yang telah di buat di sore hari itu. “Oke … jadi, apakah kau sudah mengemas seluruh barangmu, Sop?” aku menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan yang di lontarkan oleh Marilyn kepadaku, dan membuatku kini kembali menghembuskan napas seraya berkata, “Yah … semua sudah aku packing dan sisanya akan di kirim oleh Rico besok lusa!” jawabku, dan membuat keduanya mengangguk memahaminya, “Ah … karena kau sudah mengemas, apakah boleh kau keluar sebentar??” dahiku berkerut ketika mendengar pertanyaan yang di lontarkan oleh Lisa pada saat itu, dan membuatku membalas bertanya, “Ke mana?” Kedua sahabatku itu tidak menjawab pertanyaan yang aku lontarkan keduanya lebih memilih tersenyum dan saling bertatapan satu sama lain, untuk akhirnya menarikku secara bersamaan. Mereka menyeretku pergi dari rumah untuk segera masuk ke dalam mobil yang ternyata Rico sudah berada di kursi kemudi pada sore hari itu. Kedua mataku terbelalak ketika mendapati adikku yang tidak pernah ingin menyetir jika aku dan dirinya pergi berdua ke market, kini sudah terlebih dahulu duduk di kursi kemudi saat itu. “? Hei! Kenapa kau ada di sana?” ku tunjuk Rico yang kini tersenyum menanggapi pertanyaanku pada saat itu, “Bawel! Tinggal duduk dan diam saja, kenapa mesti berteriak dan menunjuk seperti itu?” aku mendengus ketika mendengar perkataan Rico yang satu itu, aku hanya bisa mendelik di saat Lisa menepuk bahu Rico dan berkata, “Rico, jalankan mobilnya!” perintah dari Lisa pada saat itu pun membuat Rico kini mulai menyalakan mesin mobil untuk kemudian membawa kami bertiga pergi dari sana, dan tentu saja aku merasa senang sekaligus sebal, bagaimana tidak? Rico hanya akan menyetiriku seperti ini di saat kita akan berpisah, dasar anak menyebalkan! Pandanganku saat ini tertuju ke arah ladang gandum dan seketika memori lamaku kembali terulang di saat pertama kalinya aku dan juga Rico untuk pertama kalinya datang dari Kota menuju desa tentram ini, meski pun desa namun desa ini lebih maju di bandingkan dengan desa-desa yang lainnya dan itu sangat aku sukai. Pemandangannya indah dan fasilitasnya pun lengkap. Di awal aku pikir akan sangat membosankan tinggal di desa, hingga aku memiliki cita-cita untuk kembali ke kota dan menjadi pekerja kantoran. Namun kini, setelah aku mendapatkan pekerjaan itu, aku akan memastikan jika aku akan sangat merindukan desa yang kini sudah menjadi kampung halamanku sendiri. Aku akan merindukan kicauan burungnya, angin yang berhembus, suara tawa dari anak-anak yang bermain di sekitar taman rumahku, suara lonceng lembut dari lonceng angin yang ada di pekaranagn rumah dan bahkan kedua sahabat serta adik laki-laki yang menyebalkan ini. Aku pasti akan merindukan mereka semua. “Sophi … hei … Sophia!” sebuah panggilan pun menyadarkanku kembali dari lamunanku. Aku menoleh dengan cepat ke arah Rico yang memanggilku dengan sangat kencang di sana, dan aku sadari kedua temanku dan juga adik laki-lakiku sudah keluar dari mobil yang tadi melaju dan kini sudah terhenti di sana. “Ah! Sudah sampai ternyata!” ucapku yang kini segera keluar dari mobil dan mendapati jika kami berada di sebuah jalan sepi dengan pemandangan kanan dan kiri adalah pohon-pohon hijau yang tak terurus, yang tentu saja membuat dahiku berkerut ketika mendapati untuk apa kami di sini saat ini. “Hei … kenapa kita ke sini?” itu lah pertanyaan yang aku lontarkan, namun dengan cepat Marilyn menarik lenganku seraya berkata, “Sudah lah … jangan banyak bertanya dan ikuti saja kami!” itu lah yang di ucapkan oleh Marilyn kepadaku, dan tentu saja karena aku percaya bahwa mereka tidak akan melakukan hal yang bodoh, membuatku menuruti saja apa yang di katakan dan melangkah mengikuti langkah kaki Lisa yang berjalan terlebih dahulu, pandanganku juga tertoleh dengan singkat ke arah Rico yang kini berjalan di belakangku dengan membawa sebuah kamera, yang tentu saja aku tahu jika kamera itu akan digunakan untuk mengambil jejak rekaman kita semua, yang nantinya bisa menjadi barang bukti bahwa kita sudah melewati hal ini dan itu. Aku terkekeh disetiap langkahku mengikuti mereka semua, aku merasa senang sekaligus yakin, jika mereka bertiga tidak akan membuatku kecewa. Dan benar saja, aku terpukau dan tidak merasa kecewa sama sekali ketika kami sudah tiba di lokasi tempat yang mereka maksud sore itu. Sebuah air terjun kecil yang indah yang pemandangannya juga sangat-sangat aku sukai, terdapat sebuah meja dan kursi, dengan banyak sekali cemilan dan pastinya keluargaku pun ternyata ada di sana, dan itu sangat mengejutkanku! Mereka melompat dengan riang dan berkata ‘Selamat!’ dengan kompaknya, menyelamatiku dan mendorongku untuk lebih semangat lagi di kedepan harinya, yang tentu saja membuatku terharu dan kembali menangis karena senang. “Kapan kalian mempersiapkan ini semua?!” ucapku setelah merasa terkhianati sekaligus terkejut dengan kejutan yang mereka berikan di sana, Ibuku hanya tertawa dan ayahku bahkan yang kala itu tengah memasak dagingpun ikut tersenyum di sana, “Rico yang memberi saran ini semua … sayangku!” jelas Bibiku, yang tentu saja kini aku tatap adik lelakiku itu yang hanya tersenyum dan enggan untuk melihatku, ia lebih terfokus kepada kamera yang ia genggam di sana, “Hei!” panggilku kepadanya, yang kini menoleh menatapku dengan tatapan senang. Aku berjalan dan memeluknya dengan erat seraya berkata, “Thank you!” bisikku kepadanya yang kini dengan segera melepaskan pelukanku karena merasa tidak nyaman di sana, “Ugh … jangan peluk aku! Lebih baik kita makan dan berphoto!” ucapnya kepadaku, dan aku tahu ia merasa malu ketika memelukku, jadi aku turuti saja ucapannya dan kami berpesta untuk terakhir kalinya di air terjun yang indah itu sebelum aku pergi ke kota di pagi harinya. … 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN