Ini adalah hari pertamaku menginjakan kaki di sebuah apartemen yang cukup nyaman menurutku. Sebuah ruangan dengan ukuran empat kali enam yang memiliki tiga ruangan yang diantaranya sebuah kamar, sebuah kamar mandi dan juga ruang tengah yang bersatu dengan sebuah dapur. Itu lah gambaran apartemenku, dan menurutku ini sudah lebih dari cukup, aku puas dengan apa yang aku dapat. Apartemen ini merupakan hasil susah payahku dalam menabung, dan ketika aku mendapat pekerjaan yang aku impikan, kuhabiskan seluruh tabunganku hanya untuk mencari sebuah tempat tinggal yang setidaknya layak untuk aku huni. Aku bekerja di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang investasi, dan beruntungnya aku, aku bekerja sebagai sekertaris utama dari CEO yang mengendalikan perusahaan itu, dan menurutku hal itu sangat-sangat aku impikan.
Ini adalah kali pertamanya aku sampai di apartemenku, dan besok adalah hari di mana aku harus mempersiapkan seluruhnya dan bekerja untuk pertama kalinya menjadi seornag sekretaris.
“Wah! Bagaimana ini? Apa yang haru aku lakukan pertama-tama?” aku hanya bisa bergumam di sana pagi itu, perjalanan dari desa ke sini tidak lah lama, hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk akhirnya sampai. Dan kupikir aku tidak akan memiliki banyak waktu karena harus membereskan barang-barang serta koper yang kubawa pada hari itu, namun pada kenyataannya aku hanya membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk membereskan semua yang aku bawa, karena barang lainnya akan sampai di hari lusa.
Kini, aku kebingungan. Tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana, namun aku teringat akan pesan dari ibuku yang menitipkan banyak sekali kue cookies yang dengan sengaja ia siapkan untuk kubagikan kepada seluruh tetangga yang ada di lantai apartemenku saat itu.
“Jangan lupa untuk memberikan kue kepada mereka dan menyapa mereka, agar setidaknya kau bisa mengenal dan berteman dengan mereka!”
Itu lah yang aku ingat dari perkataan ibuku, yang tentu saja hal itu membuatku kini memutuskan untuk membagikan kue itu dan menyapa dengan hangat mereka-mereka yang juga tinggal di satu lantai yang sama.
Aku tinggal di apartemen dengan nomor tiga lima tujuh, dan di lantai apartemen ini ada sekitar enam kamar yang tersedia dan lima kamar yang terisi, setidaknya itu lah yang diucapkan oleh pak satpam kepadaku.
“Nomor Tiga lima sembilan tidak terisi, jadi kurasa aku akan memberikan kue ini kepada satpam!” gumamku kini meletakkan toples plastik yang berisikan kue lezat buatan ibuku di dalam kamarku, yang kemudian kini aku hanya membawa empat toples kue di lenganku.
Langkan kakiku kini berjalan ke arah satu kamar yang letaknya paling ujung diantara yang lainnya, dan itu adalah kamar nomor tiga lima lima, tetangga sebelah barat yang letaknya diujung dan jauh dari lift.
“Huft!” aku menghembuskan napasku dengan kencang ketika aku menatap ke arah nomor yang tertempel di pintu tersebut, aku berdeham sesekali dan berusaha untuk menyamankan diriku. Setelah aku merasa rileks dan siap, aku pun dengan segera menekan bel yang kini berdentang di sana, aku berusaha bersikap setenang mungkin dan aku tersenyum agar setidaknya membuat mereka merasa nyaman dengan kedatanganku saat itu.
Cklek!
Pandanganku kini menoleh ke arah pintu yang terbuka dan memperihatkan seorang wanita dewasa yang kini membukakan pintunya cukup lebar di sana, membuatku nampak dengan jelas melihat pakaian dari wanita dewasa ini yang begitu glamor dan penuh dengan perhiasan.
“Ya? Ada apa?” sebuah pertanyaan yang aku dengar dair wanita itu, membuatku yang baru saja melamun di sana kini segera tersadar dan kembali tersenyum dengan manis ke arahnya.
“Selamat pagi, maaf mengganggu … saya Sophia, saya baru datang dan akan tinggal di nomor tiga lima tujuh … eum, saya ingin menyapa anda dan memberikan titipan yang disiapkan oleh ibu saya!” aku tersenyum seramah mungkin kepada wanita ini, namun nampaknya ia sama sekali tidak menanggapiku, ia hanya menganggukkan kepalanya manatapku dari bawah ke atas sebelum akhirnya mengayunkan tangan kanannya dengan berkata,
“Yah … yah … selamat datang di sini! Nyaman lah di sini ya … kita bertemu lagi nanti, jika aku tidak sibuk, bye!”
Dup!
Aku terdiam terkejut, melihatnya yang berbicaran dengan cepat dan menutup pintunya tanpa mengambil kue yang kuberikan kepadanya saat itu, seolah ia tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan aku pada saat itu. Yang tentu saja aku merasa cukup tersinggung dan sedih ketika melihatnya bertingkah seperti itu kepadaku, hingga aku kini menoleh pakaian yang aku kenakan setelah mengingat bagaimana cara wanita itu melihat diriku.
“Apa yang salah dengan pakaian yang aku kenakan?” itu lah gumamku, karena aku merasa tidak ada yang salah dengannya, membuatku memutuskan untuk pergi dari pintu itu dan menghampiri pintu lainnya.
Targetku saat ini adalah pintu dengan nomor tiga lima enam, tetangga yang tepat tinggal di sampingku, yang tentu saja aku harapkan jika tetangga yang satu ini tidak memiliki sifat yang menyebalkan, karena dia tetangga yang berada tepat di sampingku, setidaknya aku ingin dia bisa menjadi andalanku saat ini.
“Huft … kau bisa Sophia, semangat!” gumamku dengan pelan sebelum akhirnya dengan tanpa keraguan, aku menekan tombol bel di sana dan bel tersebut berdentang.
Cklek!
Pandanganku kini menatap seorang remaja wanita yang kini berada di hadapanku, yang tentu saja membuatku kini tersenyum kepadanya, berusaha untuk seramah mungkin kepada gadis remaja itu.
“Selamat pagi! Maaf mengganggu… nama saya Sophia, saya tetangga baru dan saya ingin memberikan kue buatan ibu saya!” ucapku kepada gadis remaja ini yang kini menyandarkan tubuhnya di ambang pintu itu seraya melipat kedua tangannya di d**a, menatapku dengan begitu tajamnya seolah aku adalah musuk bebuyutan yang baru saja di lihat olehnya.
“Khkh!” ia terkekeh setelah melihat keseluruhanku, gadis remaja itu persis seperti wanita di apartemen tiga lima lima, ia melihatku dari bawah hingga atas.
“Hh … jadi aku penghuni baru yang tinggal di sampingku?! hei, asal kau tahu saja … jangan pernah berbuat gadus atau aku akan memprotesmu!” aku mengerutkan dahiku ketika mendengar gadis itu berucap seolah mengancamku, yang tentu saja aku tidak mengerti mengenai kenapa dia bersikap seperti itu kepadaku.
“Hei! Aku menyapamu dengan ramah, tidakkah kau memiliki sopan santun terhadap orang yang berlaku ramah kepadamu?!” aku sudah kesal dengan anak gadis itu, namun aku berusaha untuk menahan emosiku sehingga aku mengatakannya dengan sebuah senyuman yang sengaja aku paksakan, karena aku tidak mau di hari pertamaku hari itu mendapat sebuah masalah hanya karena ketidak ramahan kedua tetangga ini.
“Ada apa ini?!” sebuah pertanyaan yang aku dengar pun, membuatku dan gadis remaja yang tengah menatapku dengan kesal kini menoleh dengan serempak ke seorang lelaki yang baru saja bertanya di saat itu.
Lelaki itu bertubuh tinggi namun kurus, ia memiliki kulit putih yang pucat dan rambut hitam acak dengan poni yang nyaris menutupi kedua matanya pada saat itu, dan ketika mengetahui siapa yang baru saja bertanya, membuat gadis remaja yang ada di hadapanku ini kini menggelengkan kepala dengan cepat seraya berkata,
“Aha … tak ada apapun, kak! Dia adalah tetangga baru dan memberikanku kue ini, terima kasih atas kuenya! Selamat datang di apartemen ini, semoga kita menjadi tetangga yang akur ya! Sampai jumpa, kak Sophie … permisi kak!” ucap gadis remaja itu seraya tersenyum ke arahku dan ke arah lelaki itu, sebelum akhirnya ia menutup kembali pintu apartemennya setelah ia mengambil dengan cepat toples kue yang aku genggam saat itu.
“...” aku terkejut sekaligus terheran dengan tingkah laku yang diperlihatkan oleh gadis remaja itu kepadaku, di awal ia terlihat sangat angkuh dan sombong, tapi kenapa ketika lelaki ini datang ia berubah drastis seperti seseorang yang gugup?
Aku mengerutkan dahiku, dan aku tolehkan pandanganku ke arah lelaki itu yang kini tengah menekan beberapa tombol pin password pintunya di sana, yang tentu saja membuatku merasa bahwa aku haru segera menyapanya sebelum terlambat,
“Oh, Hi! Maaf … aku Sophia, aku tinggal tepat di samping apartemenmu!” ucapku kepadanya, yang kini melirikku dan kemudian menatap ke arah pintu nomor lima tiga sembilan, namun dengan cepat aku menggeleng dan berkata,
“Bu… bukan sembilan, tapi tujuh!” jelasku membenarkan dirinya yang kemudian membuatnya menoleh ke arah kamarku dan kemudian mengangguk dengan singkat,
“Ah ini kue!” ucapku kepadanya yang kini menatapku yang berada tepat di sampingnya, dan hal itu tentu saja membuatku tertegun, bagaimana tidak? Ia menatapku dengan begitu menusuk, yang tentu saja membuatku menjadi tergagap karenannya.
“Eu … I … ini kue buatan ibuku!” ucapku, yang kemudian membuatnya kini tersenyum tipis ke arahku sebelum akhirnya meraih tolpes kue itu,
“Terima kasih Sophia! Sampai jumpa!”
Tak ada yang bisa aku lakukan selain terpatung di hadapannya yang kini segera masuk ke dalam apartemennya sebelum akhirnya ia menutup pintu itu dengan cepat. Oh my god! Aku terpukau seketika, senyuman lelaki pucat itu begitu tampan dan aku merasa tenggelam di dalamnya hingga aku tidak bisa menyembunyikan senyumanku sendiri pada saat itu.
“Oh no … apa yang kau lakukan bodoh! Masa kau menyukainya pada pandangan pertama? Yang benar saja!” gumamku dengan pelan, dan aku berusaha untuk mengendalikan diriku lagi saat ini.
“Ayolah Sophia! Ada satu lagi yang belum kau sapa, dan kau harus sadar karenanya!” gumamku, dan aku pun kini berjalan pergi menghampiri kamar nomor tiga lima sepuluh,
Cklek!
Pandanganku kini menatap ke arah lelaki muda yang kala itu mengenakan setelan rapihnya, yang membuatku kini segera menyapanya dengan ramah,
“Selamat pagi, maaf mengganggu … saya Sophia, saya baru datang dan akan tinggal di nomor tiga lima tujuh … eum, saya ingin menyapa anda dan memberikan titipan yang disiapkan oleh ibu saya, mohon diterima!”
“Oh ya, Hi! Selamat pagi … saya Andrew, saya pengacara! Salam kenal Sophia, saya terima kuenya ya! Tapi maaf sepertinya saya belum bisa membalasnya, saya harus menghadiri sidang pagi ini! Selamat datang di apartemen ini, nanti kita berbincang ketika aku ada waktu ya!” ucapnya yang kini dengan segera mengambil toples kueku dan berjalan keluar dari ruang apartemennya untuk kemudian mengunci pintu itu dan tersenyum kepadaku sebelum akhirnya ia pergi dari sana dengan tergesa menuju lift. Pandanganku terus menatapnya yang kini masuk ke dalam lift itu dan tersenyum ke arahku, ia mengangkat toples kue yang aku berikan dengan berucap,
“Thank you!” sebelum akhirnya pintu lift pun tertutup di sana.
Aku terkejut, setidaknya aku mendapatkan seseorang yang ada di sisiku saat ini, seorang pengacara muda yang cukup ramah kepadaku, setidaknya dia bisa aku andalkan jika ada hal buruk yang bisa saja menimpaku nantinya. Namun sayangnya Andrew terlihat sangat sibuk.
…
Hari itu aku bertemu dengan empat orang yang memiliki sifat yang berbeda, dan beruntungnya diriku setidaknya ada dua diantara keempat orang di satu lantai apartemen sana yang bisa aku andalkan, atau mungkin saja seperti itu. Andrew sang pengacara dan juga lelaki tiga lima delapan yang sangat tampan itu.
“Ah ya … aku bahkan lupa menanyakan namanya!” gumamku ketika menyadari jika aku tidak tahu siapa nama dari lelaki dengan senyuman tampan itu,
“Ahk! Sial sekali aku!” gumamku seraya merebahkan diriku di atas matras tipis yang tergelar di ruang tengah apartemenku.
“Baiklah … tak apa Sophia, kau memiliki waktu, setidaknya aku ada di sini selama tiga tahun, sesuai dengan kontrakku! Semoga saja aku bisa dekat dengan dia, hihi!” aku tertawa geli ketika mengingat senyuman lelaki itu, meski tersenyum tipis namun ketampanannya sangat luar biasa, hingga aku bahkan meleleh karenanya.
…