"GOOD morning, my sweetheart."
Sapaan lembut itu menyapa indra pendengaranku ketika aku membuka mata dari alam mimpi. Aku melirik sebelah kanan dan menemukan paras Hugo yang tengah tersenyum nakal kepadaku. Bibirku secara otomatis ikut tersenyum.
"Morning too," balasku dengan suara parau, khas orang bangun tidur. Tak sampai di situ, aku memeluk tubuh Hugo. Kulit kami bersentuhan langsung sisa keliaran kami semalam.
"Aaah, Vanya. Kau ... membuatku gemas ingin memainkannya lagi."
Aku tertawa kecil sukses mengerjai Hugo. "Lakukan saja kalau mau," tantangku.
"Jangan salahkan aku jika kau berteriak kencang, ya."
"Ah, Hugo!" Benar saja kata pria itu, aku berteriak ketika tangan Hugo meremas salah satu buah dadaku. Terasa kuat, tetapi tidak kasar.
Hugo tertawa jahil melihat reaksiku. Namun, pria itu tetap melanjutkan aktivitasnya, kali ini dengan penuh kelembutan sehingga untuk kesekian kalinya aku dibuat terbuai oleh sentuhan pria yang kucintai itu. Sesekali, aku mendesah karena tak tahan dengan gelenyar yang meletup-letup dalam diriku.
"Kapan ... kau akan ... berhenti, Hugo?" tanyaku dengan susah payah karena tak kuasa menahan gejolak dalam diri.
"Memangnya kau ingin aku berhenti melakukannya di saat kau tampak begitu menikmatinya?"
Sial! Pria ini benar-benar pandai menggoda!
Aku menangkup wajah Hugo, mempertemukan bibir kami dalam pagutan mesra. Such a good thing to do a morning kiss before start a new day, right?
"Vanya ...."
"Em?"
Hugo menekan belakang kepalaku, memperdalam pagutan bibir kami atau bahkan lebih dalam dari bagian itu.
Keliaran yang baru tertidur beberapa jam lalu kembali terbangun, mengambil alih kuasa kesadaran kami.
"Aaah," desahku merasakan gesekan di area sensitifku. Apa Hugo berniat melakukannya lagi? Andai aku wanita super, aku pasti membiarkannya saja. Akan tetapi, keliaran semalam saja masih membuatku kesakitan.
"H-Hugo ...," cicitku, susah payah memanggil pria yang tengah menggodaku dengan sentuhan-sentuhan sensualnya. "Aku ... masih kesakitan."
Hugo menatapku dengan mata sayunya. Pria itu tersenyum dan menyatukan dahi kami. Posisi itu membuatku dapat merasakan embusan napasnya yang begitu hangat dan lembut, membuatku tenang. "I know it," bisiknya, lalu kembali menciumku.
Di saat aku hendak membalas ciumannya, Hugo mengurai pagutan mesra kami. Ia bangun untuk meladeni ponsel yang berdering nyaring.
"Siapa?" tanyaku, ikut bangun dari posisi. Aku menyadarkan tubuh pada kepala ranjang, lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh atasku.
"Mom," jawab Hugo singkat. Pria itu mulai sibuk bercengkerama dengan ibu mertuaku via panggilan telepon. Sementara itu, aku hanya memperhatikan dalam diam seraya menerka-nerka apa yang tengah ibu dan anak itu bicarakan. Namun, atensiku harus terenggut karena ponselku juga berdering. Aku segera meraih benda tersebut dari nakas. Kedua mataku membulat sempurna melihat nama kontak yang terpampang jelas di layar ponsel saat ini. Jovan? Ada apa pria itu menghubungiku pagi-pagi begini?
Aku melirik sekilas ke arah Hugo. Pria itu masih sibuk bercengkerama dengan ibunya. Aku kembali sibuk dengan ponselku, lalu menggeser ikon berwarna merah. Setelahnya, aku mengirim pesan singkat pada pria yang baru menjawab sebagai temanku itu.
To: Jovan
Maaf, aku sedang tidak bisa menerima telepon sekarang
Ada perlu apa menghubungiku?
Tak berselang lama, Jovan membalas pesanku.
From: Jovan
Oh, baiklah
Maaf, membuatmu tidak nyaman karena aku telepon
Aku hanya ingin mengabari tentang temanku yang kuceritakan kemarin
Dia ingin bertemu denganmu hari ini, siang nanti
Apakah kau bersedia?
Tanpa sadar, aku tersenyum mendengar kabar dari Jovan. Namun, senyum itu segera lenyap dan berubah menjadi keterkejutan karena tiba-tiba Hugo menegurku. Untung saja aku tetap bisa mengendalikan diri.
"Ada apa, Hugo?"
"Berhubung hari ini Minggu dan aku libur, Mom dan Dad ingin kita makan siang bersama nanti. Kau mau, 'kan?"
Bagus! Mengapa waktunya harus bersamaan?
"Vanya?"
Aku mengerjap beberapa kali. Beberapa detik kemudian, aku mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, tentu saja."
Hugo ikut tersenyum. Pria itu mencuri kesempatan mengecup bibirku sebelum akhirnya bangkit dan keluar dari kamar dalam keadaan loncos. "Aku mandi dulu," pamitnya. "Aku tunggu di sana, ya."
Kedua mataku membulat sempurna. Aku berdecak pelan dengan senyum geli. Mentang-mentang sedang libur, seenaknya sekali Hugo itu.
Ponselku bergetar singkat. Ada pesan singkat baru dari Hugo.
From: Jovan
Bagaimana?
Aku mengembuskan napas berat, lalu mulai mengetik pesan balasan.
To: Jovan
Bagaimana kalau sore hari saja?
Aku ada acara siang hari
From: Jovan
Sebentar, kutanyakan dulu
Beberapa menit berselang, Jovan mengirim pesan baru.
From: Jovan
Maaf, Vanya, temanku hanya bisa siang atau malam saja hari ini
Bagaimana?
Atau kau mau mengajukan hari lain?
Mengajukan hari lain? Yang benar saja! Itu makin lama! Aku menimbang-nimbang pilihan tersebut.
To: Jovan
Baiklah, nanti malam
From: Jovan
Akan kusampaikan pada temanku
Sampai jumpai nanti, Vanya
Keningku berkerut samar. Apa maksud pesan terakhirnya?
To: Jovan
Tunggu
Apakah nanti malam kau juga ikut?
From: Jovan
Tentu saja
Entah mengapa, pernyataan Jovan tersebut sukses membuat jantungku berdegup lebih kencang dan kedua pipiku terasa hangat. Bahkan tanpa sadar aku tersenyum. Apakah aku memang sesenang ini jika ada hal yang berkaitan dengan Jovan? Tapi, kita hanya berteman.
Ponselku kembali bergetar, ada pesan masuk dari Jovan.
From: Jovan
Apa kau keberatan jika aku datang juga?
Aku tersenyum, lalu segera membalasnya.
To: Jovan
Tentu saja tidak
Kalau begitu, sampai jumpa nanti:)
• • • • •