HUGO menepati perkataannya untuk datang ke apartemenku setelah selesai bekerja. Rencananya ia akan menginap di apartemenku malam ini.
Sekitar pukul 11 malam, bel apartemenku berbunyi, menandakan ada yang datang bertamu. Aku sudah menduga bahwa Hugo yang datang sehingga dengan wajah berseri, aku segera berjalan cepat menuju pintu utama dan membukakannya. Benar saja, mataku langsung disambut oleh penampakan seorang pria yang kucintai. Kehadiran Hugo membuat senyum di bibirku kian merekah. Aku lantas menggamit lengan pria itu, mengajaknya masuk.
"Kau tampak bahagia sekali. Ada apa?" tanya Hugo, menunduk sedikit untuk menatap wajahku.
Aku tersenyum dan menggeleng. "Tidak ada apa-apa. Senang saja karena kau datang ke sini untuk menginap."
Hugo tertawa mendengar alasanku.
"Omong-omong, kau tampak lelah sekali," kataku, memperhatikan paras rupawan pria di sampingku yang walaupun tersenyum tetap tak mampu menyembunyikan raut kelelahan.
Hugo mengembuskan napas panjang. "Ya ... begitulah. Kau tau, 'kan, betapa melelahkannya jadi seorang pekerja?"
Ya, itu sebabnya kau tidak mengizinkanku menjadi pekerja juga meskipun bidangnya berbeda atau lebih santai. Aku hanya berani mengatakannya dalam hati karena tidak ingin merusak suasana kebersamaan kami malam ini.
"Tapi, begitu melihatmu, rasa lelahku jadi berkurang." Hugo menggodaku sambil menggesekkan pucuk hidungnya dengan milikku.
Perlakuan Hugo tersebut membuatku tertawa geli.
"Kau tidak keberatan, 'kan, aku menginap kali ini di apartemenmu?"
"Hei, ini bukan pertama kalinya kau menginap di sini, Hugo. Jadi, untuk apa kau bertanya seperti itu? Seperti orang asing saja."
Hugo hanya menanggapi dengan tawa. Ia ia kemudian melanjutkan, "Ya ... siapa tau kau sedang tidak ingin diganggu karena ... badmood."
"Kali ini aku sedang good mood, tenang saja."
"Karena aku?"
Aku diam beberapa saat. Sial! Pertanyaan Hugo malah mengingatkanku dengan Jovan yang mana hari ini aku menghabiskan separuh waktu bersama pria itu dengan cukup menyenangkan, lebih dari saat aku menghabiskan waktu bersama Hugo. Namun, aku segera tersenyum seraya mengangguk. "Tentu saja karenamu. Memangnya karena apa lagi?" sahutku dengan tangan yang makin erat memeluk lengan Hugo. "Duduklah, biar kubuatkan cokelat hangat untukmu."
Hugo mengangguk, lalu duduk di kursi ruang makan. Sementara itu, aku dengan cekatan menyeduh dua cangkir minuman cokelat instan. Tak sampai 5 menit, minuman itu jadi dan siap disajikan.
"Untukmu," Aku mendekatkan satu cangkir kepada Hugo, "untukku." Cangkir yang satu aku taruh di hadapanku. Aku kemudian duduk di samping Hugo.
Hugo dengan semangat langsung menikmati minuman cokelat hangat buatanku. "Emmm, enak. Hah, kau memang paling tau cara menghilangkan rasa lelah."
Pujian Hugo membuatku tersenyum. "Oh, ya. Apa kau ingin makan?"
Hugo menggeleng. "Ini sudah begitu malam. Bukankah kurang baik makan terlalu larut seperti ini?"
Perkataan Hugo membuatku mengangguk. "Omong-omong soal makanan, bagaimana bekal yang aku siapkan tadi untukmu? Apakah kau menyukainya?" Tanpa menunggu Hugo menjawab terlebih dahulu, aku meraih tas kerja pria itu untuk mencari kotak makan yang kuberikan tadi pagi. Akan tetapi, aku dibuat heran karena kotak makan tersebut masih terasa berat, sama seperti pagi tadi. Lantas, kulepas penutupnya dan aku terdiam menatap isinya.
Hugo mendesah berat. "Maaf, Vanya. Pekerjaanku benar-benar banyak tadi, lebih banyak dari dugaanku. Saking banyaknya, aku sampai kesulitan mencari waktu senggang untuk ... sekadar menikmati bekal makan spesial darimu. Sekali lagi, aku minta maaf."
Aku mengerjap beberapa kali, menghalau pedih yang sedikit terasa di mata. Tidak mungkin aku tidak kecewa. Siapa yang tidak kecewa ketika hasil kerja keras kita tidak dihargai oleh orang yang kita cintai. Lebih mengecewakannya lagi, alasan yang Hugo berikan kembali bersinggungan dengan yang namanya "pekerjaan". Ayolah, Hugo. Apa kau tidak sadar jika selama ini aku telah muak mendengar alasan seperti itu? Klise.
Desahan berat keluar dari mulutku begitu saja. "Aku sudah menyiapkan bekal makan untukmu dengan segala kemampuanku, tetapi ... kau dengan mudahnya menyalahkan pekerjaan." Aku menatap Hugo dengan tajam. "Sebenarnya, memang itu kenyataannya atau kau ... hanya tidak suka dengan apa yang aku lakukan dan berikan padamu?" lanjutku yang entah mengapa jadi lebih sinis padahal aku tidak berniat seperti itu.
"Vanya, tenanglah. Aku tidak berbohong."
Entah mengapa, tiba-tiba saja air mataku meleleh. Aku segera menangkup wajah, menyembunyikan lelehan bening itu dari Hugo. Sebenarnya, aku benci jika harus menangis di depan orang lain, meskipun orang itu adalah Hugo, pria yang kucintai.
Samar, aku merasakan tubuhku didekap dengan erat dan hangat. Usapan kecil di punggung mencoba menenangkanku yang kecewa berat.
"Maafkan aku, Vanya," bisik Jovan lembut.
"Kalau memang tidak menyukainya ...," ucapku di sela-sela tangis yang membuat suaraku lebih serak dan mengecil, "kau bisa menolaknya sejak awal. Itu ... lebih baik bagiku daripada harus menelan kecewa seperti ini, seolah-olah kau meremehkan apa yang kuberikan untukmu, tidak menghargai kerja kerasku."
"Sekali lagi, aku minta maaf. Baiklah, aku akan menghabiskannya sekarang juga untukmu. Okay?"
Kurasakan tubuhku lebih bebas sekarang. Perlahan, aku menurunkan tangan yang semula menangkup wajah. Aku memperhatikan Hugo yang dengan lahap memakan bekal yang kusiapkan tadi pagi untuknya. Melihat pria itu membuatku tersentuh dan rasa kecewaku berangsur mereda. Tangisku juga sudah berhenti.
Aku tergerak mengambilkan segelas air mineral untuk Hugo, lalu mendekatkannya pada pria itu ketika isi kotak makan telah habis. Hugo melirikku dan tersenyum sekilas sebelum akhirnya menenggak air mineral yang baru saja kuberikan.
"Apa kau masih marah padaku?"
Aku menatap Hugo dengan raut datar, lantas menggeleng. "Aku tidak marah. Hanya ... sedikit kecewa."
Hugo tersenyum. Tangannya kanannya terulur ke arahku, mengusap puncak kepalaku dengan lembut. "Jangan marah padaku, ya. Aku minta maaf sudah membuatmu kecewa."
Aku mengangguk, menerima permintaan maaf Hugo.
"Aku ingin mandi dulu." Setelahnya, Hugo bangkit, meninggalkanku sendiri di ruang makan.
Aku membereskan cangkir serta kotak makan dan mencucinya di wastafel. Begitu selesai, aku mencuci tangan dengan sabun, lantas masuk kamar. Aku berbaring di atas ranjang dengan kepala bersandar pada bantal. Pandanganku secara tak langsung mengarah ke depan, ke arah lukisan buatanku tadi di taman kota yang kini telah terpajang di dinding kamar. Aku memasangnya sore tadi setelah melakukan varnish pada lukisan agar warnanya tetap awet, tidak mudah rusak.
Hugo masuk ke kamar, lalu menutup pintu. Pria itu baru selesai mandi. Aroma sabun menyeruak dalam kamar, begitu segar hingga membuatku terbuai beberapa saat. Rambut Hugo tampak masih basah dan berantakan karena keramas. Gemas sekali rasanya ingin menyisir rambut pria itu.
"Oh, sejak kapan ada lukisan di situ?" Hugo tampak terkejut melihat lukisan di dinding kamar.
Aku tersenyum melihat ekspresinya.
"Apa itu lukisanmu hari ini?" Hugo lantas ikut berbaring di sampingku.
Dalam posisi ini, aku makin dapat menghirup dengan jelas aroma sabun yang masih menempel di tubuh pria itu. Hah, lama-lama aku bisa mabuk karrnanya.
"Jadi, siapa dua sosok di lukisan itu?" tanya Hugo seraya merangkul bahuku, mengelus-elus bagian tersebut yang memang kebetulan terekspos jelas karena aku hanya mengenakan sport bra berwarna hitam.
"Menurutmu?" Aku melirik atas, menatap paras rupawan Hugo.
Hugo balas menatapku. Pria itu mendekatkan wajahnya denganku, menjawab pertanyaanku tadi dengan sebuah ciuman. Kedua mataku terpejam merasakan sentuhan lembut tersebut. Hugo membuatku terbuai hingga tanpa sadar, kedua tanganku mulai melingkari leher pria itu. Kurasakan tangan Hugo menyentuh belakang kepalaku, meremasnya pelan yang sukses menciptakan gelenyar aneh dalam diriku.
Aku makin merapatkan posisi tubuh dengan Hugo hingga akhirnya aku duduk di pangkuannya, membuat ujung sensitif kami bergesekan, rasanya seperti tersetrum. Tentu, bukan setruman dalam artian harfiah melainkan ... gairah.
Bibir kami masih berpagut begitu dalam dan mesra seolah belum memenuhi kehausan hasrat kami, padahal tubuh sudah sama-sama panas dan napas mulai sesak.
"Would you mind if we ... do it again?" Hugo bertanya dengan begitu lirih dan serak.
Aku menatap Hugo dengan pandangan sayu, efek terlena dengan ciuman kami. "Apa pun jawabannya, pada akhirnya kita tetap akan melakukannya juga, 'kan?" balasku dengan senyum miring, mencoba menggoda Hugo.
Hugo tersenyum. Ia kembali mempertemukan bibir kami, menyatukannya dalam pagutan dalam dan mesra. Tangan Hugo mulai liar melepas kaitan sport bra hitam yang kukenakan. Tak ingin kalah, aku juga mulai melepas kancing kemeja yang pria itu kenakan. Beginilah jadinya jika Hugo menginap di apartemenku. Tidak ada yang bisa menjamin tertahannya keliaran kami meskipun hanya semalam.
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account too, @penaka