Setuju

1082 Kata
"KITA berdua?" Aku mengerjap dan buru-buru menggeleng. "K-kita, aku dan Hugo maksudku. B-bukan ...," ralatku dengan begitu tidak meyakinkan. Sementara itu, Jovan hanya tertawa. "Iya, iya, aku paham. Tidak perlu berlebihan begitu, Vanya. Lagipula, aku sadar diri sedang berhadapan dengan siapa sekarang." Aku hanya tertawa canggung. Ya ... meskipun balasan Jovan sedikit melegakan, tetap saja aku panik. Bisa-bisanya bibir ini asal bicara seperti tadi. "Omong-omong, sudah siang. Bagaimana kalau kita makan siang di restoran atau kafe dekat sini?" tawar Jovan, mengalihkan topik pembicaraan kami sebelumnya. "Ide yang bagus." Aku dan Jovan segera membereskan peralatan serta sampah bungkus camilan dan minuman yang kami nikmati tadi. Begitu semua sudah rapi dan tidak ada yang tertinggal, kami berjalan beriringan menuju parkiran. "Ada usulan makanan yang enak dimakan siang ini?" Aku berdeham panjang, memikirkan jawaban dari pertanyaan Jovan. "Bagaimana kalau makan yang manis-manis dan minum chamomile tea?" usulku sambil tersenyum. Entahlah, reaksi ini muncul begitu saja seolah aku dan Jovan memang telah berteman sangat lama sehingga tidak lagi canggung. "Emmm, kalau itu sebenarnya tidak perlu ke kafe atau restoran. Kita bisa melakukannya di rumahku." Pernyataan Jovan seketika membuatku terdiam. Ada apa ini? Mengapa jantungku berdegup dengan lebih kencang sekarang? "Oh, itu ada kafe, bagaimana kalau kita ke sana?" Perhatianku pun seketika teralihkan oleh seruan Jovan. Tanpa banyak pertimbangan, aku mengiyakan saja tawaran usulan Jovan tersebut. Setelah memasukkan barang ke bagasi mobil, kami berjalan menuju kafe dekat taman kota. Saat hendak menyeberang, tiba-tiba saja tangan Jovan meraih tanganku dan agak menggenggam. Tindakan tersebut cukup tiba-tiba, sukses membuatku menahan napas dengan jantung yang makin liar berdegup. Namun, begitu berhasil menyebarang, Jovan langsung melepaskan tangannya dariku. Setidaknya, hal itu membuatku kembali bisa bernapas dengan tenang kembali walaupun rasanya tetap canggung. Pintu kafe yang didorong dari luar oleh Jovan seketika memunculkan bunyi lonceng. Pria itu mempersilakanku masuk terlebih dahulu. Kami kemudian memilih untuk menempati salah satu meja dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman kota dengan orang yang hilir mudik di trotoar. "Jadi, manis-manis seperti apa yang ingin kau pesan?" Pertanyaan Jovan seketika membuatku tersenyum, merasa aneh saja dengan susunan katanya. Mataku mulai memindai buku menu yang diperlihatkan Jovan. "Emmm, matcha cheesecake sepertinya enak. Aku ... ingin memesannya," putusku kemudian dengan senyum tipis di bibir. "Baiklah. Matcha cheesecake dan chamomile tea masing-masing dua." Jovan meneruskan pesananku pada pelayan yang sudah siap mencatat. Setelahnya, pelayan pergi untuk mengurus pesanan kami. Sembari menunggu pesanan datang, aku kembali menatap pemandangan luar dari jendela. Pemandangan taman dengan danau di bagian tengah itu entah mengapa sedap sekali dipandang, bahkan berkali-kali memandang tak ada rasa bosan. Apalagi, cuaca sejak tadi benar-benar mendukung, cerah berawan, membuat danau taman kota berkilau indah dengan beberapa angsa putih bersih yang berenang di sana. "Silakan." Atensi terenggut ketika pelayan datang membawakan pesananku dan juga Jovan, matcha cheesecake serta chamomile tea. "Terima kasih," ucapku dan Jovan bersamaan tanpa sengaja. Kami saling menatap dan hanya tersenyum canggung. Aku meraih cangkir chamomile tea, menghirup aroma perpaduan hangat, manis, dan menenangkan beberapa saat sebelum akhirnya menyesapnya. Rasa dari teh tersebut menjalar pada lidah, manisnya pas sehingga benar-benar membuat rileks. Belum ada percakapan yang muncul di antara aku dan Jovan. Selama beberapa saat, kami sibuk menikmati hidangan sampai akhirnya aku berdeham kecil, memecah keheningan. Sayangnya, hal tersebut malah diartikan lain oleh Jovan. "Kau tersedak? Biar kumintakan air mineral untukmu," kata Jovan, hendak berdiri. Aku segera menggeleng sambil menahan tawa. "Tidak, Jovan. Aku tidak tersedak. Aku hanya berdeham saja. Tenanglah," ujarku diikuti tawa kecil. Jovan tampak mengembuskan napas lega. Tunggu. Memangnya, dia sekhawatir itu jika aku benar-benar tersedak? "Kukira kau tersedak." Jovan ikut tertawa pada akhirnya. Mungkin, menertawakan tingkah konyolnya sendiri. Aku tersenyum. "Terkait tawaranmu sewaktu di taman tadi," kataku, memulai perbincangan kembali setelah sekian lama hening. "Aku ... akan mencobanya." Jovan menatapku dalam diam. Namun, kedua alisnya terangkat tinggi sedikit, terkesan dengan pernyataanku barusan yang menyetujui sarannya. Aku mengangkat bahu. "Ya, kau benar. Tidak ada yang bisa menjamin kapan kesempatan itu akan datang lagi. Jadi, lebih cepat lebih baik, 'kan?" Jovan perlahan menyunggingkan senyum senang mendengar keputusanku, seolah seperti baru saja mendengar kabar telah memenangkan taruhan dengan hadiah ratusan dollar dari bank. Pada akhirnya, senyuman itu menular padaku. "Well, aku senang mendengarnya," ungkap Jovan. "Aku akan membicarakannya dengan temanku dan merencanakan pertemuan kalian." Aku sedikit terkejut dengan perkataan Jovan. "Ah, tidak perlu. Biar aku menghubunginya sendiri, Jovan. Aku ... tidak ingin lebih merepotkanmu. Terima kasih," tolakku sehalus mungkin. "Tidak apa-apa, Vanya. Aku tidak keberatan sama sekali. Lagipula, aku juga sudah cukup lama tidak berkontak dengan temanku itu. Jadi, sekalian saja." "Benar begitu?" tanyaku dengan ragu. Jovan mengangguk mantap. "Ya. Kau tenang saja. Biar aku yang membicarakannya dengan temanku. Kuharap, kalian bisa segera bertemu." Aku tersenyum. Astaga, bagaimana bisa ada pria sebaik Jovan di dunia ini? Pria itu sudah baik hati mau berteman denganku, sekarang pria itu juga yang membantuku mewujudkan kembali impian yang sempat pupus. "T-terima kasih, Jovan. Aku ... tidak tau harus bagaimana untuk membalas kebaikanmu." Jovan tertawa mendengar perkataanku. "Jangan berlebihan. Kau tidak perlu melakukan apa-apa untuk membalasku. Sungguh." "Tapi—" "Vanya," ucap Jovan pelan, tetapi tegas dan sukses membuatku diam. "Jika aku serius, maka aku benar-benar serius. Jadi, jangan menolak. Okay?" Aku hanya mengangguk lemah kemudian meskipun masih merasa tidak enak terhadap Jovan. Namun, suatu saat nanti, aku pasti akan tetap membalas kebaikannya. Begitu hidangan tandas sempurna, kami membayar pesanan, lalu keluar dari kafe untuk pulang. "Kita berpisah di sini," ucap Jovan begitu kami tiba di area parkir taman. Kedua alisku bertaut, heran dengan ucapan pria itu. "Di sini? Memangnya kau tidak mau pulang?" "Aku baru ingat ada keperluan lain. Jadi, kau pulanglah dulu." "Mengapa tidak pergi bersama saja? Kau bahkan tidak membawa kendaraan ke sini." "Tak apa. Lagi pula, lokasinya tidak jauh dari sini. Aku bisa menempuhnya dengan berjalan kaki." "Benarkah?" Jovan mengangguk. Aku mengembuskan napas pelan. "Baiklah, kalau begitu. Terima kasih banyak untuk hari ini, Jovan. Terima kasih ... sudah mau menemaniku." Bibirku melengkungkan senyum paling tulus. "Sama-sama. Kau bisa menghubungiku kapan saja kau butuh. Kita kan teman, tak perlu sungkan." Aku menanggapi perkataan Jovan dengan senyuman, lantas melambaikan tangan pada pria itu sebagai salam terakhir sebelum berbalik badan untuk masuk ke mobil. Namun, aku teringat sesuatu ada yang perlu aku katakan pada Jovan. Sayangnya, ketika aku berbalik badan, pria itu sudah tidak terlihat keberadaannya. Aku celingak-celinguk. Cepat sekali pria itu pergi, padahal belum ada satu menit berlalu sejak aku berpamitan. "Apa dia punya kekuatan super dapat menghilang secepat kekuatan cahaya?" gumamku. BERSAMBUNG .... • • • • • Follow me on i********: @pe.naka and also this account too, @penaka
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN