MELUKIS di taman kota yang telah aku rencanakan sejak kemarin akhirnya benar-benar terealisasi. Ya ... walaupun tidak dengan ditemani oleh pria yang kucintai, Hugo. Namun setidaknya, masih ada orang lain yang mau menemaniku yaitu Jovan, pria yang baru beberapa menit lalu resmi menjadi temanku.
Sesuai dugaan, udara pagi di taman kota masih terasa sejuk. Cuaca pagi ini juga cukup mendukung, cerah dengan langit biru yang dihiasi gumpalan-gumpalan awan putih. Bahkan ketika aku mendongak, aku menemukan kumpulan burung yang terbang dengan kompak, membentuk formasi yang begitu rapi. Pemandangan tersebut membuatku tersenyum. Rasanya ... begitu menenangkan.
"Biar kubantu memasang peralatannya."
Suara Jovan membuatku menoleh. "Ah, tidak perlu. Aku bisa memasangnya sendiri," tolakku halus.
"Lalu, apa gunanya aku di sini? Hanya diam menontonmu melukis tanpa membantu apa-apa?"
Senyumku kembali terulas. "Lakukan apa yang kau sukai saja kalau begitu."
"Aku suka membantu."
Hah, Jovan ternyata keras kepala juga. Akan tetapi, dibanding dengan Hugo, keras kepalanya Jovan lebih dapat kuterima. Entahlah.
"Kalau begitu kau bisa menggelar tikar untuk alas duduk," kataku seraya menunjuk salah satu tas yang dibawa Jovan. Jawabanku itu membuat Jovan tersenyum dan langsung bergerak. Aku hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum dan mulai menyiapkan segala peralatan untuk melukis mulai dari memasang penyangga dan kanvas, lalu menyusun kuas dan cat.
Begitu Jovan selesai menggelar tikar dan merapikan barang di atasnya, ia mempersilakanku duduk dalam posisi ternyaman untuk melukis. "Terima kasih ..., Jovan," ucapku dengan canggung menyebut nama pria itu secara langsung.
Jovan mengangguk. "Jadi, kesibukanmu adalah menjadi seorang pelukis?" tanya pria itu, seraya mendaratkan p****t di sebelah kiriku.
"Emmm, tidak juga. Dari dulu, aku memang suka menggambar, baik manual atau digital."
"Wow! Itu keren!" puji Jovan. Raut mukanya benar-benar menunjukkan ekspresi terpukau, seolah-olah kesukaanku adalah suatu hal langka dan hanya seorang saja yang meminatinya. "Kalau begitu, kau adalah seorang seniman. Betul?"
Aku tertawa kecil menanggapi perkataan Jovan. "Itu ... terlalu berlebihan."
"Mengapa?"
"Aku melakukannya karena aku sebatas senang saja, tidak lebih."
"Tapi, kau terus melakukannya sampai mau mendirikan galeri lukis pribadi, 'kan?"
Tanganku yang sedang membuat sketsa pada kanvas berhenti bergerak. Perkataan Jovan membuatku merenung karena teringat sesuatu. Aku menunduk, menurunkan tangan dari kanvas. "Aku ... tidak bisa melanjutkannya," ungkapku lirih.
"Apa? A-apa maksudmu berkata seperti itu?"
Aku mendesah berat. Dadaku tiba-tiba terasa sesak mengingat fakta yang sebenarnya berat aku terima hingga sekarang.
Sentuhan di pundak kiri membuatku menoleh dan menemukan Jovan yang tengah menatapku dengan raut khawatir sekaligus penasaran, meminta penjelasan atas ungkapanku. Lagi, aku mendesah berat. "Hugo tidak menyetujui cita-citaku itu," kataku pada akhirnya.
Jovan tidak membalas apa-apa, seolah sengaja memberikan waktuku untuk bercerita. Ya, andai Hugo yang ada di sampingku saat ini, aku juga ingin bercerita dengan maksud membujuk pria itu agar memberikan kelonggaran bagiku dalam meraih impian.
"Aku sudah sering bercerita padanya kalau aku memiliki cita-cita besar ingin mendirikan galeri lukis pribadi. Kukira, diamnya Hugo tanda setuju. Ternyata ...." Aku menggeleng pelan, tak sanggup mengingat kekecewaanku terhadap Hugo kala itu. Tanganku kembali bergerak, menciptakan garis serta lengkung yang berpadu membentuk suatu objek. Entah objek apa yang akan tercipta nantinya. "Memang mengecewakan ketika impianmu tiba-tiba dipupuskan begitu saja, apalagi ... oleh orang kau cintai," lanjutku.
"Lalu, mengapa kau tidak melawan kalau memang impianmu itu begitu berarti?"
Ketiga kalinya, aku mendesah berat. "Aku ... terlena dengan alasan logis yang Hugo berikan dan menurutku ... memang ada benarnya juga. Jadi, aku memilih untuk memendam impian itu, entah sampai kapan."
Beberapa detik berselang, kami tidak berbalas tanya atau jawab lagi. Hening mengambil alih situasi, menemaniku menyalurkan imajinasi dalam bentuk sketsa yang telah jadi dan siap masuk proses proses pewarnaan.
"Apa ... ada impian lain yang terpaksa kau kubur karena ... Hugo?" Jovan mengajukan pertanyaan setelah hening yang cukup lama, bahkan kini aku telah selesai mewarnai layar belakang untuk lukisanku kali ini.
Aku menjawab dengan anggukan pelan. Lidahku kelu karena kekecewaan waktu itu kembali menyeruak, terpanggil oleh pertanyaan Jovan yang rupanya begitu sensitif untukku.
"Boleh aku mengetahuinya?"
Pertanyaan Jovan tidak langsung aku jawab. Aku memilih menyelesaikan pewarnaan salah satu objek penting dalam lukisan sebelum fokus pada pertanyaan Jovan. Sepertinya, Jovan juga paham dengan maksudku karena pria itu hanya diam, menunggu tanpa banyak protes. Beda hal kalau yang bertanya adalah Hugo karena pria itu pasti akan terus menegurku dan mengira aku sedang tidak baik-baik saja, perlu istirahat. Semudah itu memang penyimpulannya.
"Aku tadi sempat bilang, aku tidak hanya suka menggambar secara manual, tapi juga secara digital. Aku sempat terpikir ingin menjadi ilustrator, apa saja, komik, buku, atau lainnya. Sekadar pesanan ilustrasi iseng dari orang-orang juga tak masalah. Aku ... ingin merasakannya. Merasakan bagaimana orang-orang akan terhibur dengan hasil karyaku itu." Aku tersenyum hampa, mengingat salah satu impian pupusku tersebut. "Ketika Hugo mengetahui impianku itu, ia menasihatiku agar tidak perlu berusaha terlalu keras jika hanya ingin menghasilkan uang dari kerjaku sebagai ilustrator. Ia meyakinkanku kalau ia yang akan bertanggung jawab penuh untuk urusan keuangan kami nanti, saat sudah berkeluarga. Tapi, andai Hugo mau mendengar, sebenarnya bukan sekadar uang yang menjadi fokusku melainkan kebahagiaan orang-orang."
Aku mengambil minuman kemasan dalam kaleng, menenggaknya untuk menenangkan diri yang makin sesak.
"Kalau kau memiliki kesempatan untuk mewujudkan kembali impian tersebut, apakah kau ingin memanfaatkannya?"
Aku melirik Jovan dengan pandangan memicing. Pria itu lantas mengambil sesuatu dari saku celana, ia mengambil ponsel dan sibuk sejenak dengan benda canggih tersebut.
"Ini bisnis percetakan milik temanku," kata Jovan, seraya memperlihatkan sebuah akun media sosial usaha percetakan dengan pengikut yang sudah begitu banyak, ratusan ribu. "Ia sudah banyak bekerja sama dengan ilustrator-ilustrator kreatif di kota ini. Mulai dari amatir hingga profesional. Kurasa, dia akan senang hati jika menjalin bekerja sama denganmu. Kau pun juga sama."
"Tapi—"
"Dengar, Vanya. Ini adalah impianmu, bukan impian Hugo. Terlepas dari Hugo adalah pria yang sebentar lagi akan menjadi suamimu, ia tetap tidak punya hak mencampuri urusan impianmu, apalagi sampai memupuskannya dengan alasan yang 'menurutnya' logis."
Aku hanya diam mendengarkan uraian Jovan.
"Kau yang menciptakan impian itu, kau yang mengusahakan itu, dan kau yang memiliki kendali penuh akan kau apakan impian itu. Bukan pihak lain." Jovan menatapku dengan mimik serius. "Temanku ini akan menjadi kesempatan keduamu dalam meraih impian yang sempat Hugo pupuskan. Namun, kalau kau menolaknya, aku tidak bisa jamin kau memiliki impian lagi atau tidak," lanjutnya, membuatku mulai berpikir berlebihan.
"Aku ... akan memikirkannya dulu. Terima kasih," ucapku dengan senyum yang entah mengapa terasa lebih berat. Aku berdeham, mengusir canggung yang tiba-tiba mendera. Lukisan yang belum selesai kembali menjadi fokusku sekarang, meskipun sesekali masih terpikirkan oleh kata-kata Jovan tadi. Selama aku menyelesaikan lukisan, Jovan hanya diam memperhatikan. Sesekali, pria itu juga bertanya warna apa yang aku pilih untuk objek di lukisan. Ya ... pria itu bertanya agar tidak hening terus menerus saja. Menurutku begitu.
Beberapa menit berlalu, akhirnya lukisan yang kubuat selesai juga. Kupandangi lukisan yang menampilkan suasana taman kota dengan danau di bagian tengah, lalu latar belakang gedung-gedung pencakar lain yang berkilau karena pantulan sinar mentari, persis seperti yang terjadi kali ini. Dan, yang tak kalah merebut atensiku serta Jovan adalah ... dua orang—pria dan wanita—yang duduk bersisian di atas tanah berumput menghadap danau. Refleks, aku menoleh menatap Jovan yang tengah terpukau dengan hasil lukisku.
"Siapa yang ada di pikiranmu ketika melukis dua orang itu?" tanya Jovan tanpa mengalihkan pandang dari lukisan. Tangan pria itu menyentuh objek dua orang yang dimaksudnya.
Aku lantas ikut mengamati dua orang dalam lukisan. Mudah saja aku menjawabnya bahwa orang-orang itu merepresentasikan aku dan Hugo. Akan tetapi, seolah tidak pernah ikut pengarahan bibirku justru berkata, "Kita. Kita berdua."
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account to @penaka