"OH! Nyonya ... Vanya? Apa yang kau lakukan di sini? Ah, maksudku, Vanya. Apa yang kau lakukan di rumahku?"
Aku masih terjebak dalam keterkejutan. Mengapa aku justru bertemu dengan Jovan, si pemilik vendor acara pertunangan serta pernikahanku dan Hugo? Mataku mengerjap beberapa kali, memastikan ulang kalau memang Jovan yang ada di hadapanku saat ini.
Jovan memandangiku dengan kening berkerut samar. Pria itu lantas mendekatiku, lalu bertanya, "Kau ... baik-baik saja? Kau ... tampak pucat. Apa kau sakit?"
Pertanyaan sarat kekhawatiran dari Jovan tersebut aku tanggapi dengan gelengan lemah. Sebesar ini ternyata efek terkejut yang baru saja kualami hingga energiku tersedot.
"Lebih baik kita bicara di dalam saja. Akan kubuatkan minuman untukmu. Silakan masuk, Vanya." Jovan menjulurkan tangan ke samping, mempersilakanku untuk masuk ke rumahnya atau lebih tepatnya rumah pemilik nomor asing yang menawarkan layanan pertemanan.
Aku mengangguk, lalu berjalan dengan kikuk melewati pintu utama rumah Jovan dengan pikiran yang berkelana mengenai Jovan yang ternyata adalah orang di balik amplop merah, nomor asing, dan penawaran pertemanan. Namun, aku jadi memikirkan sesuatu. Aku dan pria itu sempat bertukar kontak dan sadar betul kalau nomor yang ada di kartu tidak sama dengan milik Jovan. Akan tetapi, bagaimana bisa nomor itu merujuk pada Jovan?
"Silakan duduk, Vanya."
"I-iya," balasku seraya perlahan mendaratkan p****t di sofa ruang tamu Jovan yang terasa empuk dengan warna biru pastel yang lembut. Pandanganku kemudian mengedar, menelusuri sudut-sudut ruangan dan baru kusadari bahwa warna cat dinding bagian dalam rumah Jovan serba biru, memberi kesan tenang. Aku pun menarik kesimpulan pria itu menyukai warna biru atau minimal memiliki kesan tersendiri terhadap warna tersebut. Warna yang kurang lebih sama dengan ... favoritku.
Perhatianku lantas teralihkan oleh aroma khas yang tak asing bagi indra penciumanku. Aku menoleh ke sumber aroma dan menemukan Jovan yang kembali dengan nampan berisi dua cangkir minuman yang terlihat masih mengepulkan uap tipis. Aroma minuman tersebut terkesan ringan, tetapi manis.
"Apa itu ... chamomile tea?" tebakku spontan.
Kedua alis Jovan terangkat tinggi mendengar tebakanku. "Oh, bagaimana kau tau?"
"Aku ... sering meminumnya. Jadi, aku hapal dengan aromanya. Lagipula, chamomile tea itu ... minuman favoritku."
"Benarkah? Wah, kalau begitu selera kita berdua sama. Chamomile tea juga minuman favoritku."
Aku tercenung beberapa saat. Lagi-lagi, kami memiliki kesukaan yang sama. Tadi menyangkut warna, sekarang minuman favorit. Hah, bagaimana hal ini terjadi? Apa hanya kebetulan saja?
"Kebetulan sekali, ya, minuman favorit kita sama. Oh, atau jangan-jangan kita berjo-" Jovan langsung bungkam, tidak melanjutkan kalimatnya yang aku tahu akan mengarah ke mana. Pria itu lantas meringis samar dan segera melanjutkan, "Tidak, tidak. Aku hanya bercanda."
Aku menanggapi dengan senyum kikuk.
"Minumlah, mumpung masih panas. Jangan sungkan pada minuman favoritmu sendiri." Jovan tertawa kecil. "Oh, ya, kalau kau merasa masih kurang manis, aku bisa mengambilkan gula di dapur untukmu karena aku hanya menggunakan madu alami sebagai pemanis chamomile tea. Rasanya lebih menenangkan."
Gerakanku yang hendak mengambil cangkir terhenti sejenak begitu mendengar perkataan Jovan. Madu? Kebiasaan tersebut lagi-lagi sama denganku yang mana aku lebih memilih menggunakan madu alami untuk menyeduh chamomile tea daripada gula karena rasa manisnya jadi tidak terlalu pekat. Kebetulan macam apa ini sebenarnya? Terlalu banyak banyak hal kesukaan kami yang sama.
Aku kemudian hanya tersenyum dan mulai menikmati chamomile tea yang disajikan Jovan, menepis kebetulan-kebetulan yang mengganggu pikiran.
"Jadi, dalam rangka apa kau datang ke rumahku?" Jovan membuka topik obrolan.
Aku membasahi bibir, agak ragu untuk mengutarakannya pada Jovan. Namun, beberapa detik kemudian, aku mengambil amplop merah dari dalam tas. "Amplop ini aku temukan kemarin di tas saat hari pertunanganku dengan Hugo kemarin," ujarku seraya menyerahkan amplop merah tersebut pada Jovan yang langsung dibuka oleh pria itu. "Hari ini, sebenarnya aku ada rencana untuk pergi ke taman. Niat awal ingin pergi bersama Hugo, tapi ia tidak bisa. Aku kemudian ingat pesan di kartu tersebut, lalu menghubunginya dan aku diminta untuk datang ke alamat yang dikirimkannya."
"Kau ... menghubungi nomor itu karena," Jovan melirikku penuh selidik, "butuh teman?"
Aku hanya menunduk, menghindari tatapan pria itu yang seolah sedang menghakimiku.
"Lalu?"
Aku kemudian mengambil menyalakan ponsel dan membuka halaman percakapanku kemarin dengan pemilik nomor asing itu via aplikasi chatting.
Jovan menatap layar ponselku dengan raut serius. "Rumahku ...," gumamnya.
"Jadi, di sinilah aku sekarang. Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau ... orangnya."
Jovan membulatkan mata usai mendengar perkataanku. "Aku?" Pria itu tertawa sejenak, lalu berujar, "Dengar, aku benar-benar tidak tau menahu terkait amplop merah beserta isinya."
"Tapi, ini rumahmu, 'kan?"
Jovan mengangguk. "Ya, ini memang rumahku. Tapi, kau perlu tau ...." Pria itu meletakkan amplop merah, lalu mengambil sesuatu dari saku celana bahannya. Beberapa saat ia tampak sibuk dengan ponsel pintar, entah sedang apa. Kemudian, pria itu menghadapkan layar ke arahku. "Ini nomorku yang asli. Seingatku, kita juga sudah bertukar kontak, 'kan? Lihat, nomornya berbeda."
Aku melirik nomor di kartu, lalu membandingkannya dengan yang di ponsel. Apa yang baru saja dipaparkan Jovan sama dengan pemikiranku beberapa saat lalu.
"Kalau kau masih ragu bukan aku orang di balik amplop merah itu, coba saja kau hubungi nomor itu." Jovan meletakkan ponselnya di atas meja dalam keadaan layar menyala. Pria itu kemudian menyandarkan punggung pada sofa, lalu duduk dengan menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, begitu santai sambil memperhatikanku.
Dengan sedikit ragu, aku pun mengambil mengikuti arahan Jovan. Nada sambung terdengar. Sambil menelepon, mataku melirik ponsel Jovan di atas meja. Tidak ada tanda-tanda panggilan telepon masuk di ponsel pria itu. Sepertinya, Jovan memang benar karena beberapa detik setelahnya, panggilan telepon yang kulakukan terhenti otomatis karena lama tidak mendapat respons. Aku mengembuskan napas berat, lalu meletakkan ponsel di atas meja.
Seakan tahu hasil dari usahaku barusan, Jovan berkata, "Sepertinya, ada seseorang sedang menjebakmu. Menjebakku juga sebenarnya."
Aku hanya diam mendengar dugaan Jovan hingga dibuat terkejut oleh suara debuman yang Jovan ciptakan dari memukul siku sofa.
"Sialan sekali orang tidak bertanggung jawab itu, menggunakan alamatku sembarangan! Apa orang itu tidak tahu yang namanya privasi? Aku sengaja memilih tempat tinggal yang sangat jauh, berpuluh-puluh kilometer dari pusat kota agar bisa hidup dengan tenang. Sekarang ..., ARGH! Orang itu benar-benar menguji kesabaranku! Awas saja jika aku menemukannya!"
"T-tunggu sebentar, Tuan Jovan," selaku, merasa janggal oleh perkataan pria tersebut.
"Jovan saja, Vanya." Jovan meralat.
Aku berdeham, meredakan kecanggungan yang tiba-tiba terasa karena masih belum terbiasa memanggil Jovan dengan nama langsung. Kembali ke topik. "Tapi, bukankah jarak rumahmu dengan pusat kota tidak begitu jauh? Aku sudah mengeceknya lewat aplikasi navigasi dan hanya 5 kilometer jika ditempuh dengan mobil."
Jovan menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, pria itu tertawa kencang bahkan sampai menepuk lutut. Hei, memangnya ada yang lucu dari perkataanku? Aku sedang tidak melawak.
Pria itu lantas mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap, lalu menatapku dengan lekat. "Benarkah?"
Aku mengangguk yakin. Sebagai bukti, aku segera membuka aplikasi navigasi di ponsel dan mencari alamat Jovan jika ditempuh dari lokasi apartemenku. Namun, aku justru dibuat terperangah ketika melihat hasil yang muncul di layar. Aku mengerjap beberapa kali, memastikan tidak salah baca. Bagaimana bisa estimasi jarak tempuhnya berubah dari 5 kilometer menjadi ... 20 kilometer?
"Asal kau tau, jarak rumahku dari pusat kota sekitar 20-an kilometer," ungkap Jovan, memperjelas kebenaran yang baru saja kuketahui. Sementara itu, aku masih termenung memandangi layar ponsel.
"Butuh berapa menit kau tiba di sini? Apa cukup hanya 5 atau 10 menit jika memang benar jaraknya hanya 5 kilometer?"
Pertanyaan Jovan mengingatkanku dengan keanehan yang sempat kurasakan saat perjalanan dari yang mana jarak tempuh menuju tempat ini terasa lebih jauh dan waktunya lebih lama, hampir satu jam.
"Kau ... pasti juga sadar jika rumah yang berdiri di daerah sini jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Ya ... karena memang lokasinya masih jauh dari perkotaan, maka hanya sedikit yang berani tinggal di sini, termasuk aku."
Benar, aku menyadarinya. Keanehan ini membuatku pusing. Apakah ini nyata atau aku hanya sedang berkelana di alam imajinasi?
"Baik, mari kita lupakan saja masalah itu. Sepertinya, kau hanya sedang banyak pikiran hingga tidak begitu fokus." Jovan berkata sambil tersenyum, mencoba menenangkanku.
"Soal amplop merah tadi, kau harus lebih berhati-hati. Kita tidak bisa menjamin siapa saja yang positif atau negatif terhadap kita," ujar Jovan, mengalihkan pembicaraan ke topik awal. "Masih beruntung kau akhirnya bertemu denganku. Setidaknya, kita sudah saling kenal sebelumnya, walaupun baru beberapa hari. Tapi, semua akan beda cerita kalau akhirnya kau justru ... dipertemukan dengan orang jahat. Astaga, membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Ah, maaf, aku tidak bermaksud menakut-nakutimu."
Aku hanya mengangguk lemah. Ya, aku setuju dengan perkataan Jovan dan karena itu, aku jadi sedikit menyesal telah mengikuti pesan di kartu itu. Ini ... membuatku terlihat bodoh.
"Dan sebenarnya, jika kau memang butuh teman ketika calon suamimu sedang sibuk-sibuknya ...." Jovan menatapku sambil tersenyum, lalu melanjutkan, "Aku siap menemanimu. Kau bisa menghubungiku kapan saja." Pria itu lantas tersenyum sebelum kembali menikmati chamomile tea dari cangkirnya.
Perkataan Jovan barusan entah mengapa membuat sesuatu dalam diriku tercubit. Rasanya, seperti ada makna lain dari setiap kalimat yang dilontarkan pria itu. Namun, tak ditampik juga jika aku merasa lega dengan tawarannya. Setidaknya, kedatanganku di sini tidak begitu meninggalkan kesan yang memalukan.
"Jadi, apa kau masih butuh teman hari ini?" tanya Jovan dengan tatapan yang lekat.
Aku membalas tatapan teduh itu dan mengangguk pelan.
Jovan tersenyum yang anehnya, membuatku ikut tersenyum. Pertemanan kami pun resmi dimulai.
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account too, @penaka