Bertemu (!)

1285 Kata
PUKUL 8 pagi, aku sudah selesai mandi serta mengenakan pakaian untuk pergi ke taman. Dress berwarna putih selutut dengan motif floral menjadi pilihanku hari ini. Di leher jenjangku terpasang pula kalung berbandul bunga pemberian Hugo bulan lalu-hadiah ulang tahunku yang ke-24. Tak lupa, cincin pertunangan dengan ujung permata melingkar indah di jari manisku. Memandanginya membuatku teringat Hugo dan tak bisa menahan senyum. "Fokus, Vanya, fokus. Lihat rambutmu, masih berantakan seperti singa," tegurku pada diri sendiri. Untuk kali ini, aku menata rambut panjang bergelombangku dengan membiarkan setengah bagian depannya dikucir rendah, lalu sisanya digerai. Lanjut ke wajah, aku hanya menggunakan sentuhan make up yang tidak begitu tebal karena aku lebih suka yang kasual. Sentuhan terakhir, aku menyemprotkan parfum beraroma teh hijau yang menenangkan dan manis, tetapi tidak begitu menyengat dan membuat muak. Selesai. I'm ready to go! Bunyi bel apartemen menarik perhatianku, membuat senyum manisku otomatis terkembang. Aku segera keluar kamar menuju ruang depan dan menyambut pria tampan yang datang berkunjung. Pria tersebut tiba-tiba memelukku begitu saja. Tentu saja aku terkejut oleh tindakan tersebut. Namun, aku tetap senang sehingga kubalas pelukan pria tersebut dengan peluk hangat. "Emmm, wanginya," puji Hugo, menenggelamkan wajah di ceruk leherku. Aku tertawa kecil merasa geli oleh endusan Hugo. "Hentikan, Hugo. Geli. Ah!" Tiba-tiba aku memekik karena merasa kulit leherku seperti terisap dan tergigit kecil. Sementara itu, Hugo mengurai pelukan, lalu menatapku seraya tertawa jahil atas apa yang baru saja dilakukannya padaku. Langsung saja aku balas menatap pria itu dengan delikan tajam. Bisa-bisanya Hugo mengambil kesempatan itu di pagi hari seperti ini. "Kau masak apa hari ini?" tanya Hugo, benar-benar tidak membahas apa yang baru saja dilakukannya padaku seolah-olah tak merasa bersalah telah membuatku terkejut. Dasar! "Coba tebak," balasku, kali ini dengan senyum menggoda. Aku lantas berjalan menuju dapur yang kurasakan diikuti oleh Hugo juga. Bangun tidur tadi, aku langsung berkutat di dapur, menyiapkan bekal makan yang sudah kujanjikan kemarin sore untuk Hugo. Menu tersebut sudah aku kemas dengan baik dalam kotak makan, lalu kumasukkan dalam paperbag kecil yang sekarang ada di meja makan. Aku menyerahkan paperbag tersebut kepada pria di sampingku. "Apa, ya? Yang jelas, sesuatu yang enak dan ...," Hugo menolek pucuk hidungku, "istimewa." Begitulah jawaban Hugo atas permintaanku dan kata terakhirnya membuatku refleks mendengus pelan karena tersipu. "Ya, kau benar," jawabku, mengiyakan saja. "Aku memasakkan makanan kesukaanmu." Hugo tampak terperangah. "Benarkah? Wah, aku jadi tidak sabar untuk memakannya." "Kalau kau mau, aku masih ada sisanya di kulkas." Hugo mendesah berat. Raut cerianya memudar secara perlahan. "Andai waktunya masih lama. Sayangnya, aku tidak bisa lama-lama, Vanya." Sudah kuduga, jawaban itu pasti akan keluar dari mulut Hugo dan itu ... sudah biasa bagiku. "Terima kasih banyak untuk bekalnya. Pasti akan kuhabiskan," kata Hugo sambil tersenyum, berusaha menghiburku. Aku hanya membalas dengan senyum. "Oh, ya. Kau ...," Hugo memindai penampilanku hari ini, "sudah akan pergi? Sepagi ini?" "Ya," jawabku dengan anggukan. "Aku rasa, waktu pagi adalah waktu yang cocok menghabiskan waktu di taman. Udaranya masih sejuk dan belum begitu panas." Hugo manggut-manggut menanggapi pendapatku. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita berangkat bersama? Arah ke taman kota searah, 'kan, dengan kantorku? Kau juga sudah siap untuk pergi." Aku terdiam. Tawaran Hugo membuatku berpikir. Andai tidak ada urusan lain, pasti aku akan dengan senang hati menerimanya. Namun, keadaannya berbeda. Ada sesuatu yang harus kulakukan sebelum ke taman. "Vanya?" Teguran Hugo menarik diriku kembali ke kesadaran. "Emmm, aku ... masih harus beberes apartemen dulu, Hugo," dahilku kemudian. Patutnya aku bersyukur karena Hugo bukan tipe pria yang mudah curiga. Jadi, setelah mendengar jawabanku, pria itu langsung mengangguk paham dan pamit berangkat. Namun, sebelum benar-benar pergi, pria itu kembali mencuri kesempatan dengan mengecup bibirku. Lagi-lagi, tingkahnya itu membuatku terkejut. "Hugo!" tegurku dengan senyum tertahan. "Lain kali aku akan membalasmu! Ingat itu!" "Lain kali? Memangnya tidak bisa sekarang, hem?" tantang Hugo dengan senyum nakalnya. Astaga! Pria ini benar-benar! Namun, pada akhirnya, Hugo-lah yang membayarkan pembalasanku. Pria itu mendekat dan tanpa pikir panjang mulai mempertemukan bibir kami berdua. Tangan pria itu menahan tengkukku dari belakang, membuat ciuman kami berpagut makin dalam. Aku mulai terlena oleh pagutan mesra itu dan membalas gerak yang disuguhkan Hugo. Ciuman pagi kami yang terasa hangat itu perlahan melebur dalam tubuh, membangunkan hasrat yang tertidur. Bentuk cinta ini memang mencandukan. Sayangnya, tidak bisa dilakukan terlalu lama karena Hugo segera ingat waktu harus berangkat sekarang juga. Aku menatap lekat Hugo dari jarak yang sangat dekat ini, lalu tersenyum dengan bibir yang masih basah, sisa pagutan yang kami lakukan. "Hati-hati. Kabari aku jika sudah sampai di kantor," pesanku lirih, seolah tenagaku tersisa sedikit karena ikut terisap saat berciuman dengan Hugo tadi. "Kau juga," balas Hugo dengan senyum menawannya. Pria itu kemudian berjalan keluar dari apartemen. Aku melambaikan tangan padanya, sebelum ia masuk lift. Begitu Hugo benar-benar pergi, aku kembali masuk apartemen dan menuju kamar. "Huh, gara-gara Hugo, aku harus memoles lip-cream lagi," gerutuku sambil mewarnai bibir yang agak pucat. Kadang, aku suka heran dengan Hugo. Katanya buru-buru, tidak bisa menyempatkan waktu sekadar mencicipi masakan, tetapi giliran melakukan bentuk cinta, pria itu paling semangat. Begitu merasa penampilanku cukup, aku segera mengambil tas berisi keperluan melukis dan juga beberapa camilan untuk di taman nanti. Tak ketinggalan, aku mengambil ponsel yang memuat alamat tempat yang perlu kukunjungi terlebih dahulu sebelum ke taman. ••••• MATAKU sesekali melirik ponsel yang menjadi pemandu jalanku hari ini. Aku mendesis pelan karena geram. Sebenarnya, jarak taman kota dari apartemen tidak begitu jauh, sekitar 15 menit sampai. Jarak tempat layanan yang akan kukunjungi juga tidak jauh dari taman kota. Akan tetapi, mengapa sudah 30 menit berlalu aku masih belum sampai juga di tempat itu? Seolah-olah, jaraknya jadi terasa lebih jauh dari seharusnya. Toh, rute yang kuikuti sudah benar. Aneh. Aku menepis kekesalanku sejenak untuk fokus berkendara. Mobil mulai memasuki area yang cukup sepi, terlihat hanya beberapa rumah saja dengan tanah lapang berumput hijau di sekitarnya. Akses jalan pun tidak terlalu besar, masih berupa tanah dan berbatu. Aku jari berpikir, kawasan ini berada di daerah kota, tetapi aku baru tahu ada pemukiman seperti ini. Kakiku secara perlahan menginjak pedal rem. Aku menoleh ke sisi kanan, memandang sebuah rumah bergaya sederhana seperti di vila-vila pegunungan. Rumah tersebut dikelilingi pagar rendah berbahan kayu sebagai pembatas. Di halamannya, berjajar rapi tanaman hias dalam pot yang tumbuh subur dan terawat, memberikan kesan asri terhadap rumah tersebut. Pandanganku kemudian mengedar. Rumah tersebut ternyata satu-satunya bangunan yang kulihat area ini. Apa memang rumah-rumah di daerah sini dibangun dengan sistem jarak jauh? Aku mematikan mesin mobil dan beranjak keluar dengan membawa ponsel. Sampai di luar, aku kembali memandangi rumah tersebut. Lantas, aku mengetik sebuah pesan singkat pada nomor kemarin, mengabarkan kalau aku sudah tiba. Sayangnya, pesan tersebut tidak terbalas hingga beberapa menit kemudian, membuatku mendengus pelan. "Orang ini benar-benar misterius," gumamku. Aku memutuskan untuk memasuki area rumah tersebut. Saat menapak tangga depan, fasilitas tersebut berderit samar karena tersebut dari kayu. Akan tetapi, ayolah, memang kayunya selemah itu untuk menahan beban tubuh yang terbilang ideal ini? Tatapanku lantas beralih pada bel di samping pintu utama yang juga terbuat dari kayu dengan hiasan bunga kering di bagian tengah. Alih-alih mengetuknya untuk memanggil si pemilik, aku justru termenung dengan pandangan kosong. Aku memikirkan ulang apakah harus melakukan ini atau sebaliknya hingga akhirnya, kalimat si pemilik kemarin. Menghubungi nomor itu, artinya kau membutuhkanku Tidak menghubungi nomor itu, artinya kau tidak membutuhkanku Semudah itu Aku kembali teringat pesan kemarin dari nomor itu. Ya, memang ada benarnya. Akan tetapi- Pintu di hadapanku tiba-tiba bersuara, lalu mulai terbuka perlahan. Seseorang muncul dari baliknya dan sukses mengejutkanku hingga refleks aku mundur satu langkah. Mataku terbuka lebar dengan mulut yang ikut terbuka. "Oh! Nyonya ... Vanya? Apa yang kau lakukan di sini?" BERSAMBUNG .... • • • • • Follow me on i********: @pe.naka and also this account too @penaka
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN