PULANG dari mal, aku segera masuk kamar. Paperbag berisi peralatan melukis serta melukis yang baru saja dibeli aku letakkan begitu saja di atas tempat tidur. Setelahnya, aku mengambil handuk hendak membersihkan diri di kamar mandi dalam kamar. Rasanya, tubuhku begitu lengket dan bau masam usai berkeliling mal. Namun, niat bebersih itu harus tertunda sejenak kala mendengar dering nyaring dari ponsel. Aku segera mengambil ponsel pintar dari dalam tas. Refleks saja, aku tersenyum ketika melihat nama Hugo muncul di layar. "Halo, Hugo?" sapaku hangat.
"Kau sudah pulang?"
"Sudah. Sepertinya, baru beberapa menit aku mengabarimu tadi."
"Hanya ingin memastikan saja. Kau tau, aku selalu memikirkanmu, Vanya."
Aku tertawa kecil mendengar perkataan manis Hugo. "Hanya itu yang ingin kau tanyakan?"
"Memangnya apa lagi yang harus kutanyakan?"
Senyumku memudar. Agak kecewa sebenarnya mendengar respons Hugo tersebut. Kupikir, ia akan peka dengan menawarkan kegiatan apa yang ingin kulakukan besok saat malam minggu, malamnya pasangan menghabiskan waktu berdua. Namun, pria itu malah bertanya seolah tidak ada hal penting lain yang perlu ditanyakan.
"Vanya?"
"Besok, aku ingin membuat lukisan baru," kataku, langsung pada inti. "Aku ingin melakukannya di luar. Di dekat danau taman kota menarik sepertinya. Suasana di sana mendukung sekali untuk melukis."
Belum selesai aku berkata, terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Apakah Hugo muak dengan kegemaranku ini? Tapi, bukankah dia selama ini mendukung? Toh, ia juga sangat mengapresiasi karya lukisku berupa wajah tampannya satu bulan lalu.
"Maaf, Vanya."
Permintaan maaf lagi. Huh, aku sudah paham akan mengarah ke mana alasan Hugo kali ini. Ya ... lagipula, alasan pria itu tidak akan berkutat ke mana-mana selain ... pekerjaan.
"Besok aku tidak libur. Ada presentasi produk terbaru dari divisi RnD dan aku harus hadir."
Tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku hanya memasang kuping, meladeni permintaan maaf yang kembali diutarakan Hugo.
"Tapi, aku janji, aku pasti akan menemanimu melukis lagi seperti biasa nanti. Okay?"
Aku mengembuskan napas pelan. Meskipun kecewa, bibirku tetap menyunggingkan senyum. Aneh memang. "Baiklah, semangat untukmu besok. Emmm, bagaimana kalau kusiapkan bekal makan untukmu? Kau mau?"
"Tentu saja mau."
"Kalau begitu, besok jangan lupa mampir ke apartemenku sebelum berangkat, ya."
"Okay. Terima kasih selalu mengerti aku, Vanya."
Aku hanya tersenyum. Terima kasih selalu mengerti aku. Kalimat Hugo tersebut kembali terlintas di pikiran. Kemudian, aku tersenyum kecut dan berpikir kapan Hugo akan mengerti aku, mengerti bahwa aku butuh ditemaninya. Apa pria itu tidak sadar kalau waktu kebersamaan kami akhir-akhir ini terus berkurang dan semuanya bermula ketika ia naik jabatan? Huh, tetapi percuma juga andai aku mengutarakan semua itu langsung pada Hugo karena pada akhirnya, prioritasnya adalah pekerjaan, 'kan?
Aku mengakhiri sambungan telepon dan melanjutkan niat membersihkan diri dengan setengah hati karena suasana hati yang memburuk.
Selesai mandi, aku tidak tenang memikirkan kegiatan besok. Aku bingung apakah akan tetap melukis di taman kota atau membatalkannya dan memilih melukis di apartemen. Akan tetapi, keinginan ini sudah dari jauh hari aku targetkan dan tidak mungkin aku abaikan begitu saja. Ini juga sebagai hadiah kecil untuk diri sendiri usai bertunangan dengan Hugo, pria yang kucintai.
Sebenarnya, kalau Hugo tidak bisa menemaniku besok, aku bisa pergi sendiri. Toh, aku memang biasa seperti itu ke mana-mana. Jadi, apa aku pergi sendiri saja, ya? Tapi, aku sedang ingin ditemani. Apalagi, di sana pasti banyak orang. Aku tidak kuat jika aktivitasku menarik perhatian mereka. Yang ada, lukisanku tidak jadi-jadi.
Tanganku segera meraih ponsel, lalu menggulir daftar kontak. Aku menghubungi beberapa teman sekolah atau kuliah dulu yang masih berhubungan baik denganku sampai sekarang. Sayangnya, aku hanya bisa mengembuskan napas berat ketika membaca balasan mereka yang kompak menyatakan "tidak bisa".
"Huh, sepertinya memang harus pergi sendiri besok," putusku pada akhirnya.
Sore hari memang waktu yang cocok untuk menghabiskan waktu menekuni hal kesukaan dan itu yang ingin kulakukan sekarang. Membaca buku adalah hal kedua yang kusukai setelah melukis. Segera, kuambil buku di rak yang baru setengah habis dibaca, lanjut mengambil highlighter pen yang baru kubeli tadi di mal. Oh, tak ketinggalan pula earphone untuk mendengarkan playlist dari platform musik. Saat mengambil earphone dari dalam tas, fokusku terhenti pada amplop merah misterius. Aku baru ingat masih menyimpan benda tersebut usai pertunanganku dengan Hugo kemarin.
Aku kemudian duduk di tepi tempat tidur dengan memangku buku serta highlighter pen. Kalimat pada kartu menjadi perhatianku.
Hubungi nomor di balik ini jika kau butuh teman. Kau kesepian. Jangan sangkal itu.
Keningku berkerut samar. "Apakah ... ini semacam layanan sewa teman? Tapi, kenapa tidak ada merek layanannya."
Aku kembali memikirkan rencanaku besok. Apa ... aku manfaatkan layanan ini saja, ya, agar ada yang menemani?
Ide tersebut menggerakkan tanganku meraih ponsel, lalu menghubungi nomor telepon di kartu. Nada sambung terdengar, tetapi tak kunjung dijawab hingga beberapa detik berlalu. Aku hubungi ulang nomor tersebut. Sayangnya, tetap tidak dijawab. Aku berdecak kesal dan mengira kalau layanan tersebut adalah fiktif. Namun, notifikasi pesan singkat yang baru saja masuk sukses membuatku tercenung.
From: Unknown number
Kau membutuhkanku?
Napasku tertahan kala membaca pesan tersebut.
Apa aku membutuhkannya? Ya atau tidak, aku masih bimbang. Jadi, jariku memutuskan untuk mengetikkan balasan berupa pertanyaan balik.
To: Unknown number
Layanan apa sebenarnya ini?
Apa kau manusia?
Tak lama, pesan balasan muncul.
From: Unknown number
Pertanyaanku tidak dijawab
Apa kau membutuhkanku?
"Kau juga tidak menjawab pertanyaanku," sungutku lirih sambil mengetikkan balasan.
To: Unknown number
Tapi, aku perlu tau siapa kau sebenarnya terlebih dahulu sebelum akhirnya memutuskan membutuhkanmu atau tidak
From: Unknown number
Menghubungi nomor itu, artinya kau membutuhkanku
Tidak menghubungi nomor itu, artinya kau tidak membutuhkanku
Semudah itu
Jadi, jadi jawab pertanyaanku: Kau membutuhkanku?
Aku berdecak pelan.
To: Unknown number
Iya, aku membutuhkanmu untuk menemaniku besok
Beberapa detik setelah pesan itu terkirim, aku terdiam. Astaga! Sepertinya aku telah bertindak terlalu cepat. Memangnya aku benar-benar butuh? Jariku menahan lama pesan tadi untuk menghapusnya. Akan tetapi, pesanku telanjur dibaca dan dibalas lagi. Refleks, aku mendesis geram.
From: Unknown number
Temui aku besok di sini
Ada link yang dikirimkannya, merujuk sebuah tempat. Aku segera mengakses link tersebut. Tempat yang dimaksud adalah sebuah rumah asri dan sepertinya terpisah dari pemukiman lain, letaknya pun tidak begitu jauh dari taman kota. Akan tetapi, kenapa aku harus ke sana dulu? Mengapa tidak langsung ke taman kota saja, seperti keinginanku?
Renunganku terburai oleh denting singkat dari ponsel. Nomor itu kembali mengirim pesan singkat.
From: Unknown number
Terima kasih sudah menghubungi, Vanya Yui)
"Astaga!" Refleks, ponsel yang semula aku pegang, terlempar ke depan. Benda canggih tersebut membentur lantai cukup keras, tetapi tidak mati. Tanganku mengelus d**a, berusaha menenangkan diri. "A-apa? Dia ... tau namaku? Bagaimana bisa?" bisikku masih dengan keterkejutan sekaligus takut. Aku ingat sekali kalau tidak memasukkan nama di identitas kontak. Foto profil juga default dari aplikasi. Tapi, bagaimana bisa dia tahu namaku?
BERSAMBUNG ....
• • • • •
Follow me on i********: @pe.naka and also this account too @penaka