Nikah?

2175 Kata
"Ni, gue pingin kawin." "Ha?!" Aku langsung menoleh ke arah Sandra dengan ekspresi bibir terbuka lebar. Kaget banget dengar Sandra tiba-tiba ngomong gitu. "Mulut lo kemasukan laler ntar. Di tutup dulu gih." Sandra tertawa terbahak, membuatku langsung menutup mulut. "Lagian kamu mikirnya gila banget, sih, yang bener tuh nikah dulu baru kawin. Ngapain coba tiba-tiba ngomong begitu?" "Gue bosen belajar, Ni. Otak gue udah panas. Pingin kawin aja lah, produksi anak, biar suami gue yang kerja." Sandra tertawa, enteng sekali mulutnya kalau ngebacot. Emang ngeluarin anak nggak sakit apa. "Lambe mu, San. Emang kamu kira nikah cuma produksi anak doang apa? Eh, aku kasih tahu ya, nikah itu nggak selalu enak aja, tapi kamu tuh bakal nemu jalan-jalan terjal, nggak selamanya lurus kayak jalan tol." "Dih, sok bijak lo, kayak udah pernah nikah aja." Sandra nyindir aku. Aku nyengir lebar. Iya sih aku belum pernah nikah, tapi emang bener 'kan, nikah itu nggak semudah apa yang di haluin orang, makanya kudu di pikirin matang-matang kalau mau melangkah ke situ. "Emang mau nikah sama siapa sih, San? Perasaan kemarin-kemarin banyak tuh cowok yang naksir sama kamu, tapi kamu tolakin semua." "Mana ada?! Bukannya gue tolak, mereka aja tuh yang nggak berani ngungkapin. Lagian gue mau nyari yang serius, nggak menye-menye cuma buat mainan. Soalnya ini hati, bukan tempat kos yang cuma buat mampir doang." Sandra menepuk dadanya pelan sambil menutup matanya. Tumben banget sih dia drama kayak gini. "Kamu beneran pingin nikah ya?" Aku menatap Sandra aneh. Dan dia hanya membalas dengan anggukan. "San, kamu 'kan, kaya, papa kamu juga masih bisa sekolahin kamu tinggi-tinggi, otak kamu juga nggak sedodol aku, kenapa kamu nggak manfaatin aja kesempatan itu. Aku aja kalau jadi kamu pasti udah lanjutin ke jenjang yang lebih tinggi pastinya." "Itu 'kan, lo bukan gue. Lagian ya, kalau dipikir-pikir, duit bokap gue 'kan, banyak. Masih bisa tuh gue nikmatin tujuh turunan, apalagi gue anak tunggal." Satu lagi nih sifat Sandra selain galak, dia tuh keras kepala, dosa apa aku punya sahabat kayak dia. "Kamu kok jadi dodol gini sih, San. Duit papa kamu emang banyak, tapi kalau kamu nggak bisa ngelola belum tujuh turunan udah habis." Aku menoyor kepala Sandra pelan, pertama kalinya nih aku ngelakuin itu, habis gemas banget sama kelakuan dia kali ini. Beneran deh, dia tuh belum pernah mikir kayak gini sebelumnya, terus tiba-tiba ngomong begitu, jadi aneh 'kan? Aku khawatir kalau dia kena pelet malah. "Kamu nggak lagi dipelet orang 'kan?" "Nggaklah, gila kamu!" Sandra menjawab cepat menyangkal tuduhanku. "Apa jangan-jangan kamu abis kejedot tiang listrik?" "Nggak, Ni. Gue sehat lahir batin, nggak kenape-nape." Aku cuma ngangguk doang, habisnya aneh. Kalau dilihat-lihat, dia sepertinya emang lagi jatuh cinta, tapi nggak tahu sama siapa. Aku emang nggak pernah maksa Sandra buat cerita, jadi aku lebih memilih dia yang lebih dulu mengutarakan apa yang sebenarnya terjadi. "Kamu jangan kebanyakan nonton drama kuriyah mending, San. Halu kamu melebihi aku tau nggak. Apalagi kamu pernah mimpi pingin di nikahin mihun atau siapa itu, aku nggak tahu, pokoknya si opa-opa kuriyah." "Gue serius tahu, Ni, soal nikah itu.Lagian mihun siapa, coba? Omongan lo typo mulu deh." "Ya udah terserah, semoga kamu segera di pertemukan sama jodoh kamu. Aku tinggal ya, San. Harus ke café soalnya." Aku memeriksa jam yang tertera di layar ponsel, kemudian di balas anggukan oleh Sandra. "Angkot pada kemana sih? Tumben banget susah begini." Aku menggerutu, sudah hampir lima belas menit menunggu tapi belum juga ada angkot yang lewat. Saat udah mulai jenuh nungguin angkot yang dari tadi nggak ada, tiba-tiba sebuah motor malah berhenti di depanku. 'Siapa ya? Apa tukang ojol? Tapi aku 'kan, nggak pesen.' Aku memandangi penampilan lelaki yang berada di atas motor, tubuhnya jangkung. Dari bodynya kayaknya tampan, siapa sih, perasaan aku nggak kenal banyak temen kuliah cowok. "Daffin?!" Aku terkejut begitu lelaki itu membuka helmnya. Gila! Keren juga nih cowok. Tapi ngapain dia berhenti di depanku? Ah, aku tahu, pasti bensinnya abis. "Mau ke café?" Aku semakin bingung sama tingkah dia. Buat apa dia tanya seperti itu? Pasti ada tai kucing di balik gundukan pasir nih. Nggak mungkin cowok super hemat ini tiba-tiba tanya begituan kalau nggak ada maksud tertentu. "Kenapa? Ada mau apa kamu sama aku? Nggak mungkin kalau kamu tiba-tiba tanya kayak gitu." Aku menudingnya, mencoba menyelidiki dari raut mukanya, tapi ternyata susah, nggak bisa di baca ekspresinya. Daffin tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya terus menatapku, jadinya aku malah salah tingkah. Siapa yang nggak risih coba di tatap seperti itu oleh laki-laki. Apalagi tatapannya itu loh tajam banget, pingin aku colok aja matanya biar ketajamannya bisa diturunin dikit. "Kamu kenapa sih, Daf? Gitu banget liatin aku." "Jawab." "Iya-iya, aku mau café, kenapa?!" Aku menjawab sedikit nyolot, habisnya tingkahnya ngeselin banget. "Naik!" "Naik ke mana? Kamu jangan ngaco ih." Jangan salah paham ya sama pertanyaan ku, aku cuma bingung aja sama permintaan manusia non ekspresi ini, kali aja dia nyuruh aku naik pohon atau atap kampus, soalnya nggak mungkin banget kalau dia nyuruh aku naik ke atas motornya. Mustahil. Daffin menepuk belakang jok sepeda. Maksudnya apaan? Dia beneran nyuruh aku naik ke situ? Demi supermen yang belum bisa pakai sempak di dalem, itu nggak mungkin banget. Di saat aku masih bingung sama tingkah dia, Daffin tiba-tiba memakai helmnya kembali. "Oke, kalau nggak mau." "Eh-eh! Iya-iya aku mau. Ngambekan banget jadi cowok!" Aku menggerutu, kemudian naik di atas motornya. Mana susah lagi gara-gara motornya yang tinggi gede sedangkan badan aku kecil gini. Kali ini mending aku nerima tawarannya Daffin, dari pada aku telat kerja. Sebenarnya nggak masalah sih, toh Bagas juga nggak bakal marah. Dia 'kan, bos paling baik sedunia. Menurutku loh ya. Aku mencoba memegang ujung baju Daffin biar nggak jatuh. Ini adalah pertama kali aku di bonceng seorang pria, karena jujur, seumur-umur belum pernah aku boncengan seperti ini, jangankan di bonceng, dekat dengan mereka aja nggak. Wajar juga sih, aku 'kan, nggak secantik teman-teman ku di kampus yang kebanyakan mereka memakai skin care ini itu, sedangkan aku? Mana tahu model dan mereknya, beli aja nggak mampu, mendingan uangnya di tabung buat kebutuhan yang lebih perlu. Bisa beli bedak tabur buat kuliah aja udah syukur. "Jangan salah paham, anggap aja ini terima kasih aku, karena kemarin udah nolongin." Daffin bersuara, setelah sekian lama kami sama-sama diam di atas motor. Dan... Wow, ini adalah kalimat terpanjang yang pernah Daffin ucapkan selama aku kenal sama dia. 'Hebat. Bisa ngomong panjang juga dia.' Aku hanya menjawab 'Hmm' doang, mencoba meniru gayanya seperti biasa. Ternyata tidak buruk, aku sendiri sampai terkikik. Sesampainya di café aku mengucapkan terima kasih ke Daffin, kemudian melenggang pergi meninggalkannya. Setelah berada di dalam, aku di kejutkan lagi dengan keberadaannya, ku kira dia kembali pulang, ternyata dia ikut masuk ke dalam café, dan tidak lama setelah itu Bagas keluar nemuin dia. Mereka berbincang, entah apa yang sedang di bicarakan, tapi dari yang ku perhatikan Bagas terlihat gusar, yang paling aneh adalah, kenapa mereka terlihat akrab sekali? Apa mungkin sudah saling kenal? "Nini, layanin tamu di nomer lima ya." Riska menyerahkan buku menu ke arahku, kemudian ku balas dengan anggukan dan segera menuju ke tempat yang di maksud Riska. Satu jam hampir berlalu Daffin baru beranjak dari tempatnya bicara, sebelum keluar dia sempat melirikku sebentar, setelah itu kembali berjalan dan pergi meninggalkan café. Mungkin tujuannya ke sini salah satunya juga untuk ketemu Bagas, bisa jadi dia adalah salah satu teman Bagas. Sangat di sayangkan tapi. Orang sedermawan Bagas harus mempunyai teman seperti Daffin. *** Aku memasuki rumah dengan kondisi yang benar-benar capek. Mana di depan pintu sudah ada tante Dewi sama nenek lagi. Eh? Kok ada laki-laki-- mata ku langsung membulat begitu tahu siapa laki-laki yang berdiri di samping tante Dewi. Aku langsung berjalan agak cepat untuk melepas rindu pada pria yang sudah ku anggap seperti ayahku sendiri itu. "Om Andrian." Aku memekik senang kemudian memeluknya, memang sudah tidak kaget kalau aku melakukan itu, om Andrian juga sudah menganggapku seperti anak sendiri, Nana juga nggak ada masalah, nenek... kadang-kadang suka, kadang-kdang juga julid, cuma tante Dewi seorang di rumah ini yang bener-bener nggak suka sama kedekatan ku dengan om Andrian. "Om pulang kenapa nggak ngasih kabar?" "Sengaja ngasih kejutan sama yang lain. Kamu dari mana? Sore banget pulangnya." "Abis dari café, Om. Baru pulang kerja." Aku nyengir lebar. Om Andrian sebenarnya memang melarangku keras untuk kerja, katanya fokus kuliah saja, tapi aku mencoba memberi pengertian bahwa aku baik-baik saja dengan hal yang ku lakukan ini. Lagi pula aku harus mandiri sejak dini, bersiap dengan segala kemungkinan yang terjadi, jadi kalau seumpama nanti aku benar-benar di tendang dari rumah ini, setidaknya aku tidak akan kesulitan menjalani kehidupan yang tidak selalu mudah. Salah satu alasan kenapa aku bekerja sangat keras, karena untuk membiayai daftar wisudaku nanti, karena aku juga tak enak dengan Om Andrian yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk ku dari aku kecil sampai ke perguruan tinggi, setidaknya untuk kali ini aku bisa mendapatkan gelarku dengan usahaku sendiri. Om Andrian memang awalnya tak setuju, tapi karena segala alasan yang ku lontarkan pria paruh baya ini akhirnya menyetujui meskipun agak berat. "Nini, kamu masuk terus beres-beres ya, ada yang mau Tante bicarakan sama kamu." Aku mengangguk, kemudian pergi menuju kamar dan membersihkan diri. Setelah selesai dengan ritual mando, aku di kagetkan dengan keberadaan Nana di kamar, untung aja aku udah pakai baju. "Tumben, Na, kamu ke sini. Biasanya kalau aku baru pulang kerja kamu nggak mau deket-deket." Aku mengambil sisir, kemudian menyisir rambutku yang agak lembab karena abis mandi. Nana emang nggak pernah mau deket-deket aku kalau baru pulang kerja, katanya sih aku masih bau keringat, takut ketularan bau asemnya, makannya aku heran saat tahu dia sekarang ada di kamarku. "Lo 'kan, udah mandi. Oh iya, Ni. Selamat ya." Nana tersenyum sambil menatapku senang. Aku semakin tidak mengerti dengan maksudnya. "Selamat apaan?" "Lho, gimana sih, lo nanti 'kan, mau di lamar. Bentar lagi calon lo mau datang ke sini." "Ha?!" Aku langsung menjerit kaget. Gila! Nana bisa ngelawak juga ternyata. Aku kirain dia cuma bisa dandan mempercantik diri, dan banggain dirinya. Ternyata ada bakat humornya juga. "Aku baru tahu, lho, Na, kalau kamu pandai melawak." Aku tertawa kemudian kembali menyisir rambutku. "Melawak p****t lo bisulan! Gue serius ngomongnya, kampret!" Aku memberhentikan kegiatan ku, berganti memperhatikan mimik mukanya Nana. Ternyata benar, handbody lotion ini nggak lagi ngelawak. "Maksud kamu apaan sih, Na? Di lamar apaan? Pacar aja aku nggak punya, gimana mau ada yang lamar coba." Aku terkikik setelah membalas perkataan Nana. "Iya sih, lo emang nggak punya pacar. Tapi bukan berarti nggak ada cowok yang mau melamar." Aku mengernyit, kembali memandang Nana. "Maksud kamu?" "Kebanyakan maksud lo. Sini duduk gue jelasin!" Nana menepuk kasur yang ada disampingnya. Aku pun menurut. "Mama, Nini udah siap mental nih kalau mau ngomong!" Bukannya menjelaskan maksudnya apaan, Nana malah memanggil tante Dewi. Aku langsung menoleh begitu pintu kamarku terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang masih terlihat cantik. "Tante?" Tante Dewi ikut mengambil kursi yang tak jauh darinya, kemudian menariknya mendekat ke arahku dan Nana, lalu mendudukinya. "Ada yang ingin Tante bicarakan sama kamu." Aku mengangguk. Sebelumnya tante Dewi memang sudah bicara seperti itu, hanya saja rasanya kali ini benar-benar serius. Auranya aja udah mencekam, nggak tahu kenapa, mungkin efek aku abis mandi kali ya. "Kamu pasti udah dengar 'kan, apa yang di bicarakan Nana tadi. Tante dan om juga sudah mendiskusikan hal ini sebelumnya. Bukannya bermaksud apa-apa, tapi sekarang ini yang lebih pantas menikah itu kamu. Kamu yang sudah mandiri dan bisa mengurus suami, sedangkan Nana...." Tante Dewi melirik anaknya sebentar. "Dia masih harus banyak belajar, jadi begitu temannya Om kamu ingin melamar anaknya, kami sepakat untuk menyandingkannya dengan kamu." Bentar. Otak ku kayaknya masih loading. Melamar? Temannya om Andrian? Berarti aku mau di lamar temannya om Andrian, otomatis dia sudah tua dong. Bagaimana bisa? Nggak. Aku nggak mau menikah dengan orang seumuran om Andrian. "Tapi, Tan-" "Ni, anggap sajalah ini terima kasih kamu kepada kami. Om kamu itu sudah menerima lamarannya. Nanti dia bakal datang ke sini untuk memastikan kamu juga menerima. Kalau kamu memang sayang sama suami Tante, setidaknya jangan permalukan dia di depan temannya!" Aku terdiam. Bagaimana ini? Aku harus menjawab apa? Sungguh aku belum ingin menikah, apalagi sama temannya om Andrian, tidak kenal pula. Tapi aku juga tidak mau mengecewakan om Andrian, dia pasti sangat kecewa kalau aku sampai menolak permintaannya. Apa ini memang sudah takdirku? Apa memang nasib ku harus seperti ini? Menikah dengan orang yang tidak di kenal pula. Tuhan, kenapa harus begini. Aku menarik napas, mencoba menahan butiran bening yang ingin menerobos keluar. Aku harus kuat, aku harus tahan, namaku Adriani, arti dari nama ku tak secengeng itu. Aku wanita kuat. "Bagaimana, Ni? Tante harap kamu tidak mengecewakan kami." Tante Dewi hendak beranjak dari tempat duduknya, tapi pergelangan tangannya keburu aku cekal. "I... iya, Tan. Aku bakal nerima." Suaraku tercekat, kecil sekali volumenya, tapi meski begitu kedua orang yang ada di kamarku ini bisa mendengar. "Bagus. Nana, kamu bantu Nini untuk dandan!" Tante Dewi tersenyum, entah itu untukku atau untuk anaknya. Nana mengangguk menjawab perintah Mamanya, baru setelah itu tante Dewi pergi meninggalkan aku dan anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN