BLANC 2

3789 Kata
Jam menunjukkan pukul setengah 12 malam saat Naura keluar dari kamarnya untuk mengambil minum. Dia melangkah sangat hati-hati karena dia pikir semua orang dirumah itu pasti sudah terlelap di alam tidur masing-masing. Makanya ketika Naura mendapati daerah dapur lampunya menyala, dia sedikit kebingungan. "Kak Ael cari apa?" Tanya Naura saat dia menemukan Ravael di dapur dan terlihat sedang mencari sesuatu. Membalikkan tubuhnya, Ravael menatap Naura sebentar sebelum kemudian menjawab, "Bubuk kopi." Jawabnya pelan dan datar, lalu kembali membalikkan tubuhnya untuk melanjutkan kembali pencariannya. Menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal, Naura kemudian memasuki daerah dapur dan membuka satu lemari tempat dimana gula, kopi dan teh biasanya disimpan. Diambilnya toples kaca berisi kopi dari sana lalu memberikannya pada Ravael. "Kak ini kopinya," katanya canggung. Ravael menoleh dan ditatapnya toples itu sebelum mengambilnya. "Terima kasih", balas kakak angkatnya itu datar. Naura mengangguk dan memaksakan senyumnya. Seharusnya setelah itu, dia bisa mengambil minum dan segera pergi dari sana karena memang itulah tujuan Naura di dapur. Tapi bodohnya Naura malah hanya berdiri ditempatnya tidak melakukan apapun karena bingung harus bagaimana. Rasa segan dan canggung membuatnya tidak berani mendekat pada Ravael yang posisinya dekat dengan rak tempat gelas berada. "Apa yang kamu lakukan disitu?" Naura tersentak dari lamunannya saat dia mendengar suara rendah dan datar dari Ravael. Mengerjapkan matanya cepat, Naura kemudian menggaruk tersenyum canggung dan malu karena bisa-bisanya melamun sambil berdiri di tengah-tengah dapur. "Nggg... aku... aku..." Naura gelagapan, dia bingung harus menjawab seperti apa. Bukankah kedengarannya tidak sopan dan tidak tau diri kalau dia bilang, dia menunggu Ravael pergi dari dapur itu karena dia merasa canggung dengan keberadaan pria itu. Kalaupun ada diantara mereka yang merasa canggung dengan kehadiran salah satu dari mereka, harusnya Ravael-lah yang merasakan itu. Karena pria didepannya inilah penghuni asli rumah ini, bukan dia yang jelas pendatang di keluarga Utama, jadi dia tidak berhak melarang Ravael memasuki daerah manapun di rumah ini. "Apakah kamu tidak nyaman dengan keberadaanku?" Tembak Ravael tepat sasaran. Perkataan Ravael itu benar tapi Naura membantahnya dengan menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak mau putra Theresia itu berpikiran buruk tentangnya. "Bukan... bukan begitu kak." Ucapnya lagi, lalu membalas tatapan Ravael yang sedari tadi coba dihindarinya. "Aku hanya..." Lagi-lagi ucapan Naura terputus. Kali ini bukan karena bingung mau menjawab apa, tapi karena dia tenggelam pada tatapan Ravael. Tatapan dari bola mata biru gelap kakak angkatnya itu benar-benar langsung menarik semua perhatiannya. Tidak hanya karena keindahan bola mata itu, tapi juga karena sesuatu dalam tatapan pria itu. Sesuatu yang Naura tidak tau persisnya apa, tapi mampu membuatnya takut karena terlihat begitu dingin dan tidak tersentuh. "Kalau tidak nyaman, katakan tidak nyaman. Tidak perlu berpura-pura mengatakan 'tidak' kalau nyatanya 'iya'." Kata Ravael tenang dan datar, kemudian pergi dari tempat itu dengan secangkir kopi ditangannya. Tapi sebelum kakak angkatnya itu benar-benar meninggalkannya, Ravael kembali bicara. "Tidak perlu memaksakan dirimu untuk menerima aku, cukup bersikap biasa aja. Kalau tidak bisa, cukup menganggap aku tidak ada." Gigi Naura menggigit bagian dalam bibirnya. Kepalanya menunduk merenungkan apa yang dikatakan Ravael tadi. Sepertinya sikap tidak nyamannya begitu ketara, hingga kakak angkatnya itu sampai berkata begitu dan itu membuatnya merasa tidak enak sama sekali. Menghembuskan napasnya berat, Naura kemudian berjalan meninggalkan dapur. Dilupakannya rasa hausnya karena sekarang yang memenuhi pikirannya adalah Ravael, bagaimanapun dia harus meminta maaf. Meskipun yang dia tangkap dari cerita Theresia kalau Ravael bukanlah orang yang peduli dengan apa yang dipikirkan orang, tetap saja Naura merasa tidak enak. Mereka akan tinggal di bawah atap yang sama mulai hari ini, akan aneh dan bodoh rasanya kalau dia terus bersikap seperti ini. Jadi dalam hatinya Naura berjanji, besok hal pertama yang dilakukannya saat bertemu Ravael adalah meminta maaf pada kakak angkatnya itu. Dan kalau keberaniannya cukup, dia juga akan mengatakan pemikirannya untuk mencoba dekat dengan Ravael. BLANC Menyiapkan 4 piring di dekat kompor, Naura kemudian memindahkan nasi goreng yang baru dimasaknya kesana. Nasi goreng yang dimasaknya dengan seafood itu akan jadi santapan dia, Ravael, Theresia dan Philip untuk pagi ini. Setelah memastikan dia membagi nasi itu sesuai dengan porsi masing-masing orang yang akan menyantapnya, dia kemudian memindahkannya ke meja makan. "Naura, kamu masak apa?" Theresia yang baru masuk daerah dapur dan masih memakai baju tidurnya bertanya karena dia memang tidak sempat melihat apa yang Naura masak. "Nasi goreng seafood tante," jawab Naura. "Kemarin sorekan Naura beli cumi dan udang untuk itu." Theresia mengangguk dan tersenyum. Kemudian dia mengambil bubuk teh hijau, minuman yang dipikirnya cocok sebagai pendamping masakan Naura. "Biar tante yang lanjutkan, kamu sebaiknya siap-siap. Hari ini kamu kuliah pagi kan?" Kata Theresia lagi saat dilihatnya Naura mulai mengumpulkan peralatan masak yang kotor, bekas dia memasak tadi. "Tapi tan, Naura belom terlambat loh. Jadi Naura masih bisa melanjutkan ini semua." Namun bantahan Naura itu dibalas gelengan oleh Theresia. "Tidak. Tidak. Biar tante aja yang menyelesaikannya." Ucap Theresia masih dengan tangan yang sibuk menyeduh teh hijau. "Kamu ingatkan kalau pak Tono sedang pulang kampung? Jadi pagi ini kamu harus berangkat dengan om Philip atau Ravael." Naura tediam karena baru ingat dengan apa yang dikatakan tantenya itu. "Kalau Naura berangkat sendiri, bisa nggak tan?" Tanyanya ragu karena dia sebenarnya sudah bisa bisa menebak apa jawaban Theresia. "Nggak ah Ra Bahaya," jawab Theresia cepat hampir tidak berpikir. "Belakangan ini jambret sama copet semakin banyak berkeliaran di angkutan umum. Jadi lebih baik kamu berangkat bareng om atau Ael." Kalau Theresia sudah memutuskan begini, Naura tidak bisa membantah apa-apa lagi. Theresia dan segala bentuk perhatiannya adalah sesuatu yang tidak bisa ditentang Naura karena dia tidak mau dianggap tidak tau diri. Bukan, Theresia bukan seorang pemaksa yang suka memaksakan kehendaknya pada siapapun, termasuk Naura. Hanya saja tantenya itu cenderung terlalu perhatian, jadi apapun akan dilakukannya untuk memastikan keselamatan orang-orang terdekatnya. Dan Naura, dia menerima, memahami dan menghormati semua bentuk perhatian dari Theresia itu. 25 Menit, Naura butuh waktu sebanyak itu untuk kembali turun ke ruang makan keluarga Utama dengan penampilan yang sudah siap pergi ke kampus. Sedikit lama memang buat orang biasa, tapi Naura tau kalau Theresia tau kebiasaannya yang mandi lama. Makanya tantenya itu selalu menyuruhnya untuk cepat-cepat bersiap kalau dia kuliah pagi. "Naura, hari ini kamu berangkat bareng Ravael ya." Philip, om angkatnya itu membuka suara saat Naura baru duduk dan menyantap beberapa sendok nasi gorengnya. Dia terdiam sesaat, bingung harus menjawab seperti apa. Kemudian melalui ekor matanya dia melirik Ravael untuk melihat reaksi kakak angkatnya itu, berharap pria itulah yang memberi jawaban untuk Philip. Sayangnya itu hanya harapan Naura saja karena Ravael bukanlah tipe orang peka yang tidak akan tau apa yang kita pikirkan kalau tidak kita langsung katakan. Satu bulan tinggal bersama kakak angkatnya itu, cukup untuk membuat Naura kenal garis-garis besar sifat Ravael. Persis yang dikatakan Theresia, Ravael dingin, tidak pedulian, tidak peka dan sulit dimengerti cara berpikirnya. Naura masih ingat kejadian malam itu, malam dimana dia menyadari Ravael memiliki sesuatu yang entah kenapa membuatnya takut dengan pria itu. Meski paginya setelah malam itu Naura meminta maaf yang dibalas kakak angkatnya itu dengan kalimat 'lupakan saja, tidak apa-apa'. Tetap saja Naura selalu merasa perlu berhati-hati setiap kali berhubungan dengan Ravael. Saking hati-hatinya, Naura sampai bisa menghitung berapa kali mereka bicara berdua, padahal sudah termasuk bertegur sapa didalamnya. Berbeda dengan Ravael. Philip menangkap lirikan Naura. Membuatnya merasa beruntung karena setelahnya pertayaan padanya dialihkan pada Ravael. "Ael, nggak papakan kalau hari ini kamu mengantar Naura kekampusnya dulu sebelum kamu ke rumah sakit?" Kepala Ravael yang terangkat, fokusnya dari koran berpindah sebentar kepapanya, lalu ke Naura dan ke Philip lagi sebelum kemudian mengangangguk. "Hmm tentu saja, toh perjalanan kami searahkan." Jawabnya pelan. Kemudian dia melihat Naura sebelum kembali fokus pada sarapan dan korannya. Dan saat itulah Naura menghembuskan napasnya lega. Sungguh, dia tidak sadar kalau sudah menahan napasnya tadi saat Philip bertanya pada Ravael tadi. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, tegang setiap kali berhubungan dengan kakak angkatnya itu, Naura tidak tau. Hanya saja dia berharap bisa segera bersikap seperti yang diminta oleh Ravael padanya saat malam itu, bersikap biasa saja karena sulit buat Naura untuk bersikap seolah orang tidak ada. BLANC Naura berdiri di pinggir jalan yang berada di depan kampusnya dengan mata yang tertuju pada arah dimana mobil Ravael pergi. Sampai mobil itu benar-benar hilang dari tatapan matanya, dia tetap ada disana. Bukan karena Ravael menyuruhnya melakukan itu atau Naura yang segan dan tidak enak pada kakak angkatnya itu karena sudah mengantarkannya, tapi karena dia berpikir kalau itu adalah cara berterima kasih dan menghargai yang benar. Meski Naura sudah mengucapkan terima kasih sebelum dia turun tadi, tetap saja dia merasa itu tidak cukup. Makanya dia disana, memastikan kakak angkatnya itu pergi dengan baik dan selamat setelah meninggalkan dia. Barulah Naura memasuki kawasan kampus setelah dia yakin kalau Ravael tidak kembali. "Naura..." panggil seseorang dari belakang yang langsung menarik perhatian Naura. Menoleh, lalu tersenyum Naura menghentikan langkahnya untuk menunggu orang yang memanggilnya itu. "Hai Nath..." sapanya begitu orang itu mendekat. "Kamu berangkat sama siapa?" Tanya Nathalie, orang yang disapa Nath oleh Naura tadi. Nathalie ini adalah teman satu-satunya yang dimiliki Naura semenjak dia masuk kuliah. "Sama kak Ael, anak tante Theresia." "Ohhh kakak angkatmu itu ya?" balas Nathalie terlihat kemudian menyengir. "Aku pikir pacar kamu." Mata Naura melotot menatap ngeri pada temannya itu. "Pacar apa?" Katanya cepat. "Ya pacar," jawab Nathalie masih dengan cengiran lebarnya. Bibir Naura mengerucut, tau kalau saat ini Nathalie tengah menggodanya. "Hah... aku nggak punya pacar Nath dan nggak kepikiran buat punya." Naura menjawab jujur. "Fokus aku sekarang itu lulus secepat mungkin, biar tante Theresia dan om Philip nggak nyesal ngebiyayain pendidikan aku selama ini." Lanjutnya lagi dengan sebuah jawaban yang jujur dari hatinya. Dan kalau sudah dijawab begini, Nathalie tidak akan bisa lanjut menggoda Naura lagi karena sangat tau bagaimana prinsip hidup Naura. 'Tidak membuat malu dan membalas semampunya keluarga Utama' adalah hal yang tidak bisa diganggu gugat dari hidup temannya. Walau sebenarnya dia sedikit kasihan pada Naura karena prinsipnya itu otomatis mengurangi kebebasannya. Entah Naura menyadari itu atau tidak, Nathalie tidak tau karena menurutnya kalaupun Naura sadar itu, temannya itu akan tetap bertahan dengan prinsipnya. "Hari ini kamu mau duduk di belakang lagi?" Tanya Naura sebenarnya tidak perlu karena jawabannya sudah pasti 'ya' dari Nathalie. "Ya, iyalah. ngeri kali akunya ngehadapin pak Harjo." Nathalie menjawab sambil menampilkan wajah ngerinya. "Biar kamu dan anak pintar lainnya aja yang duduk di depan menghadapi beliau." Wajah Naura cemberut, tapi kemudian terkekeh karena dia tau kalau cemoohan Nathalie hanya candaan. "Kalau gitu aku ke belakang dulu ya, selamat menghadapi pak Harjo dan pertanyaannya." Kata Nathalie kemudian berlalu untuk mencari kursi yang paling belakang. Bangku yang posisinya aman dari tunjukkan dosen pengantar bisnis di kampusnya. Begitu Naura duduk di kursi urutan kedua dari meja dosen, dia langsung membuka buku bacaan untuk membaca materi kuliah hari ini. Seperti kata Nathalie, Harjo adalah dosen yang suka menunjuk mahasiswa yang duduk di depan untuk menjawab pertanyaannya. Jadi kalau mau duduk di depan, lebih baik sudah tau dulu materi kuliah hari ini agar tidak malu dan terlihat menyedihkan. Fokus Naura sepenuhnya tertuju pada bukunya saat seseorang tiba-tiba menarik kursi disebelahnya. Mengangkat kepalanya dari buku yang dibacanya, Naura langsung terdiam bodoh melihat orang yang mengambil duduk disebelahnya itu. "Tidak apa-apakan kalau saya duduk disini," orang itu terlihat salah tingkah karena tatapan Naura. Sadar dengan tingkah bodohnya yang terbengong karena keberadaan orang itu, Naura hanya bisa tersenyum tidak enak "Eh... euh... eh... tentu saja," jawab Naura salah tingkah. Lalu tanpa disadarinya dia menarik kursinya sedikit kekiri untuk menjaga jarak dengan orang itu. Bukan karena Naura tidak suka dengan keberadaan orang itu, hanya saja dia tidak mau melanjutkan tingkah bodohnya. Pasalnya orang yang tiba-tiba saja mengambil tempat disampingnya itu adalah David, laki-laki yang diam-diam disukai Naura selama ini. "Kamu yakin..." tanya David lagi karena menangkap gerakan yang dilakukan Naura. Meringis, Naura lalu menganggukkan kepala. "Iya, tentu saja," jawabnya kemudian kembali fokus pada bukunya. Naura tidak mau membuat David semakin salah sangka dengan tingkah absurd-nya. Sejak apa yang terjadi antara dia dengan Ravael, Naura menyadari satu hal kalau tingkah dan ekspresinya mudah sekali dibaca orang. Jadi daripada dia membuat orang tidak suka atau tidak nyaman, lebih baik dia segera menyibukkan dirinya. Apalagi orang ini adalah David, Naura tidak mau kesan aneh dan buruk yang dilihat pria itu darinya. Jadi lebih baik dia diam dan fokus pada bukunya karena diapun tidak mengharapkan banyak dari ketidak sengajaan ini. Tapi sepertinya David tidak setuju dengan pemikiran Naura itu. Makanya tanpa segan dia mengulurkan tangannya ke hadapan wajah Naura, sambil menyebut namanya, "David Pramudiaji, anak semester 9 yang lagi sibuk nyusun sikripsi." Tidak yakin kalau David mau berkenalan dengannya, Naura menatap tangan dan wajah pria itu bergantian. Sungguh dia tidak mau besar kepala akan sikap ramah David itu karena Naura sangat sadar dia dan David adalah orang yang berbeda. Ya, berbeda. Sangat berbeda karena David berasal dari keluarga berada yang hampir setiap tiga bulan sekali memberi sumbangan di panti tempat dia dulu tinggal. Panti Kasih Bunda, panti dimana Naura tinggal setelah mama papanya meninggal karena pamannya menolak untuk membesarkan dia. Di panti itulah Naura bertemu David pertama sekali karena sekali 3 bulan, David beserta kakek neneknya selalu mengunjungi panti Naura untuk memberi sumbangan. Sikap David yang baik, ramah dan tidak sombong kepada kakak, teman dan adik pantinya itulah yang menarik perhatian Naura. Membuatnya tanpa sadar selalu memperhatikan David dalam diam karena dia sangat yakin kalau David tidak tau kalau dia ada. Menggelikan dan menyedihkan memang, tapi Naura harus akui kalau sejak pertama kali dia bertemu David, dia sudah tertarik dengan cucu donatur tetap pantinya itu. "Hei..." Tangan David melambai di depan mata Naura. Dan saat perhatian Naura kembali, dia kembali mengulurkan tangannya. "David Pramudiaji," katanya mengulang namanya. Dengan ragu-ragu, Naura membalas uluran tangan itu. "Naura Distaira," katanya sambil memaksakan senyumnya. BLANC Sejak pulang dari kampusnya, senyum Naura tidak luntur sedikitpun dari bibirnya. Hingga siapapun yang melihatnya akan langsung tau kalau dia tengah bahagia saat ini. "Apa terjadi sesuatu di kampus?" Theresia yang menemani Naura untuk menyiapkan makan malam ini bertanya. "Kamu terlihat senang," ucapnya lagi sambil melihat wajah Naura yang masih saja tersenyum. Theresia ikut tersenyum, menunjukkan kalau dia ikut senang dengan apapun itu yang membuat Naura senang. Gugup kemudian salah tingkah, Naura akhirnya menjawab dengan terbata-bata. "Nggg... eum... iya tante. Kenapa?" Bodoh memang rasanya dia menjawab pertanyaan Theresia dengan pertanyaan. Tapi dia bisa apa, Naura tidak mungkin jujurkan soal apa yang dialaminya tadi di kampus? "Ini tentang cowok ya?" Akhirnya Theresia memilih menebak karena dia merasa kasihan sekaligus geli dengan kegugupan yang ditunjukkan Naura. Sungguh Theresia sedikit merasa sedih melihat bagaimana Naura yang masih terlihat sungkan dan tertutup padanya dan keluarganya. Padahal maunya Theresia, Naura bisa merasa bebas untuk melakukan apapun tanpa terikat perasaan hutang budi. "Eh... oh... ngg..." "Kalau iya juga nggak apa-apa kok," potong Theresia cepat. Kemudian dia mendekat pada Naura dan meletakkan kedua tangannya pada bahu anak itu dan berkata, "tante tau kok kalau kamu lagi naksir sama seseorang." Lalu Theresia menatap Naura lama sebelum kemudian dia memeluknya dan berkata, "Kamu jangan seperti ini." Menjauhkan tubuhnya dari Naura, dia lanjut bicara. "Kamu memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang kamu mau. Tidak perlu takut dengan apa yang kami pikirkan karena kami akan menerimanya selama itu bukanlah hal yang buruk." Naura terdiam, tidak tau harus berkata apa dan harus bereaksi bagaimana atas perkataan Theresia karena memang sulit untuknya membicarakan tentang perasaannya pada siapapun. Apalagi tentang perasaannya pada David, buat Naura itu adalah hal sensitif yang ingin disimpannya pada dirinya sendiri. Jangankan pada orang lain, orang yang Naura sukai saja tidak ingin dia beritahu tentang perasaannya itu. Itulah kenapa dia tidak berharap atau berpikir banyak tentang perkembangan hubungannya dengan David. Menyadari ketidaksiapan Naura untuk jujur Theresia kemudian terkekeh geli agar Naura tidak merasa tertekan dengan pernyataan barusan. Ditabrakkannya bahu Naura pelan dengan bahunya dan katanya, "Kamu bisa kasih tau tante siapa laki-laki yang beruntung itu lain waktu." Barulah setelah dia mengatakan itu, dia bisa melihat Naura kembali tersenyum. Ketika Theresia akan kembali berbicara, Ravael muncul di dapur dengan kemeja yang lengannya sudah dia lipat sampai siku. "Ma, malam ini aku makan di luar ya." Kata Ravael terlihat sedikit terburu-buru. Alis Theresia sedikit berkerut, tanda tidak suka dengan keinginan putranya. "Memangnya kamu mau kemana? Mama dan Naura udah masak banyak buat malam ini, jadi nggak ada yang bisa makan di luar." Galak Theresia yang memang tidak suka kalau ada yang tidak bisa makan malam bersama. Sedangkan Naura yang namanya disebut Theresia tidak mengatakan apapun, hanya kembali sibuk melanjutkan kegiatan memasaknya. Walau begitu telinganya Naura tetap mendengar pembicaraan ibu dan anak itu karena dia ingin melihat bagaimana Ravael meluluhkan Theresia. Semenjak bertemu secara langsung dengan Ravael, ada beberapa hal yang sangat Naura suka perhatikan dari putra tante angkatnya itu. Salah satunya adalah bagaimana Ravael menghadapi Theresia yang selalu terlihat manja dan kekanakan setiap kali berhadapan dengan suami dan putranya sendiri. "Mam please," Ravael menghembuskan napasnya sebelum berbicara. "Aku sudah berjanji untuk makan malam dengan teman-temanku malam ini." Dengan suara yang lembut Ravael minta pengertian mamanya. Dan Theresia pura-pura tidak mendengar permintaan itu dengan pura-pura kembali sibuk membantu Naura. Biasanya kalau sudah begini yang Naura tau, Ravael akan mengalah dengan mematuhi perkataan Theresia. Tapi ternyata, 'cup' Naura dengan ekor matanya melihat Ravael mengecup pipi mamanya sambil tersenyum tipis, "Sekali ini aja. Lain kali Ael janji nggak akan ngelewatin makan malam bareng kalian." Kata pria itu kemudian pergi sebelum Theresia sempat melemparkan keberatannya. "Uggghhh... nyebelin." Omel Theresia menarik perhatian Naura yang sedikit terkejut karena untuk pertama kalinya dia melihat Ravael meninggalkan dan menolak permintaan mamanya. "Bilang aja dia mau makan malam sama Patricia. Entah apa yang dilihatnya dari perempuan itu, padahal sudah jelas Patricia tidak serius dengannya." Lanjut Theresia mengomel ke arah dimana Ravael menghilang. Lalu dengan gerakan yang tiba-tiba, Theresia memutar tubuhnya ke arah Naura. "Naura, tante bisa minta tolong nggak?" Melihat kekesalan dan ketidaksukaan tantenya itu pada sosok Patricia, jujur saja membuat Naura sedikit ragu untuk mengatakan 'ya' untuk pertanyaan Theresia. Karena Naura kenal Theresia, tantenya itu adalah sosok yang tidak suka men-judge orang sembarangan. Jadi kalau sampai mama Ravael itu tidak menyukai seseorang, pasti ada yang sangat salah pada diri orang itu. Jadi jangan salahkan Naura kalau dia sedikit takut kalau sampai ikut campur dan berhubungan dengan Patricia, orang yang tidak disukai Theresia ini. Tapi Naura tetaplah Naura. Dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum untuk semua permintaan dari Theresia. "Iya tante, Naura akan bantu tante." Jawabnya. Dengan cepat Theresia memeluk Naura karena dia terlalu senang. Lalu katanya dengan nada riang, "Baiklah besok kita temui Patricia. Kamu akan tante kenalkan sebagai tunangan Ravael." Perasaan Naura tidak enak setelah apa yang dikatakan Theresia, namun dia tetap coba positif kalau tidak akan terjadi apa-apa karena kebohongan itu. Sayangnya apa yang Naura pikirkan, tidak sesuai dengan apa yang terjadi setelah kebohongannya dengan Theresia karena yang terjadi kemudian adalah sesuatu yang mengubah hidup Naura. BLANC Patricia Anggiana, adalah sebuah bentuk kesempurnaan sosok seorang wanita. Begitu Naura berpikir saat pertama kali dia bertemu dengan kekasih kakak angkatnya itu. Sungguh wanita itu sangat cantik rupa-nya menurut Naura, hingga dia tidak heran kalau Ravaelpun takluk kepadanya. Ditambah lagi dengan aura yang keluar dari Patricia, membuat siapapun wanita melihatnya akan merasa tidak adil karena nganggap kalau Tuhan memberikan semua yang terbaik pada Patricia. Itulah yang Naura rasakan sekarang, dia merasa seperti itik buruk rupa yang akan selamanya akan menjadi buruk rupa jika yang dibandingkan dengannya itu adalah Patricia. Bilanglah kalau dia sangat menyedihkan karena pikirannya itu, tapi nyatanya kekasih Ravael memang secantik itu. "Dia Naura, tunangan Ravael." Ucapan Theresia menyadarkan Naura dari lamunannya. Sepertinya dia terlalu larut dalam kekagumannya pada kecantikan Patricia tadi, sehingga dia tidak sadar kalau banyak pembicaraan yang sudah dia lewatkan. "Naura," katanya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Patricia. Saat melakukan itu Naura juga memasang senyum diwajahnya, senyum yang jelas tidak membantunya untuk menyembunyikan rasa minder yang dia rasakan. Karena dalam pemikiran Naura, selamanya dia tidak akan pernah bisa disaingkan dengan wanita dihadapannya ini. Rasa minder Naura bercampur dengan rasa malu ketika Patricia tidak menyambut uluran tangannya. Wanita itu hanya melihat tangannya sebentar sebelum kemudian dia mengembalikan tatapannya pada Theresia. "Tunangan ya?" Kata Patricia sambil tersenyum dengan nada tenang namun terkesan mengejek. "Ravael tidak pernah mengatakan tentang ini padaku." lanjutnya lagi terlihat tidak gentar menghadapi Theresia. Melihat bagaimana cara Patricia mengabaikan Naura membuat Theresia sangat marah. Raut wajah Naura yang terlihat malu membuatnya merasa bersalah karena permintaannyalah Patricia memiliki kesempatan untuk mempermalukan Naura seperti sekarang. Maka dengan cepat Theresia menarik tangan Naura turun saat dilihatnya Patricia tidak akan membalas Naura. Dan Naura tidak tau harus bagaimana berterima kasih pada Theresia untuk tindakan tantenya itu karena jujur saja rasa minder dan malunya membuat dia terlalu bodoh tadi. Hingga untuk menarik tangannya kembali saja dia tidak tau. "Iya tunangan. Kenapa?" Kali ini Theresia tidak setengah-setengah lagi, dia berniat menunjukkan pada Patricia kalau dia tidak akan menerima kehadiran wanita itu dikeluarganya. "Apa kamu pikir hanya karena menjalin hubungan dengan Ravael aku tidak bisa membuat bertunangan dengan wanita pilihanku?" Kembali seperti tadi pertama kali dia memasuki restoran bersama Theresia, Naura kembali menjadi pihak pendengar saja. Bukan karena rasa malunya lagi, tapi karena dia tau batasannya untuk tidak ikut campur. Meski sudah setuju untuk membantu Theresia, Naura hanya menjalankan perannya sesuai permintaan Theresia saja. Melihat bagaimana raut wajah Theresia, Naura yakin kalau tantenya itu sudah sangat emosi. Terlihat dari bagaimana dia tidak ingin lagi melawan Patricia dengan ketenangan seperti yang dilakukannya tadi, meski Patricia masih sama tetap tenang tidak terlihat terpancing dengan semua yang dikatakan Theresia barusan kepadanya. Patricia tersenyum tipis yang mengeluarkan kesan misteriusnya, Naura kemudian mendengar wanita itu menjawab Theresia. "Aku tidak pernah berpikir tante tidak bisa melakukannya," ucap wanita itu masih terlihat tenang. "Tapi pertanyaannya apakah Ravael setuju dan akan menurut pada tante." Marah. Tentu Theresia marah mendengar perkataan Patricia itu karena bagaimanapun dia merasa kalau dia adalah orang terpenting buat Ravael sampai saat ini. Berdiri dari duduknya dengan mata yang menatap tajam pada Patricia, Theresia kemudian berkata pada Patricia dengan nada dingin miliknya. "Jangan terlalu tinggi menilai dirimu," Theresia lalu tersenyum miring. "Aku akan menunjukkan kepadamu dimana posisimu dalam hidup Ravael." Untuk pertama kalinya Naura melihat Theresia yang seperti ini. Tantenya yang dikenalnya selama ini penyayang itu terlihat begitu dingin dan kejam. "Saat dimana aku berhasil membuat dia menjadi tunangan Ravael, aku berharap kamu disana melihatnya dan menerimanya dengan lapang dada." Theresia setelah itu tersenyum lebar seolah mengejek Patricia karena akhirnya dia berhasil meruntuhkan ketenangan wanita itu. Merasa tidak punya apa-apa lagi yang ingin disampaikannya lagi pada Patricia, Theresia menoleh pada Naura. "Ayo kita pulang." Ajak Theresia terlihat lebih bahagia. Tanpa banyak bicara, Naura langsung berdiri dan mengikuti Theresia yang sudah berjalan beberapa langkah. Dia pikir tidak akan ada lagi kelanjutan dari semua ini, tapi ternyata Naura salah karena baru selangkah Theresia menjauh, tantenya itu kembali membalikkan badannya. "Seharusnya sebelum menabuhkan genderang perang, kamu cari dulu kenapa kamu menjadi musuh orang itu. Kenali siapa dan kekuatan lawanmu sebelum kamu benar-benar hancur karenanya." Ucap Theresia memberi nasehat sekaligus peringatan secara tersirat. BLANC   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN