"Saat dimana aku berhasil membuat dia menjadi tunangan Ravael, aku berharap kamu disana melihatnya dan menerimanya dengan lapang dada."
Ucapan Theresia siang tadi pada Patricia, masih terngiang jelas dipikiran Naura. Entah kenapa hal itu sangat mengganggunya, padahal Theresia sendiri yang bilang sebelumnya kalau ini hanya bersandiwara saja. Tapi anehnya, berapa kalipun dia meyakinkan dirinya kalau itu hanyalah sandiwara, berapa kali pula hatinya memberi peringatan pada Naura.
Peringatan yang tidak dia tau apa dan kenapa membuatnya merasa tidak nyaman. Sangat tidak mungkinkan kalau Theresia berubah pikiran, membuat Naura benar-benar menjadi tunangan putra tunggalnya itu?
Baiklah, harus Naura akui kalau alasan tantenya itu tidak menginginkan Patricia sebagai menantunya sangat wajar karena siapapun orang tua pasti tidak ingin calon menantu yang mengkhianati anaknya. Tapi bukan berarti dia akan menurunkan kualitas wanita yang akan mendampingi Ravael jugakan? Apapun katanya Naura sangat sadar diri kalau dirinya tidak ada apa-apanya dari Patricia.
'Sepulang dari Surabaya, bisa kita bicara?'
Begitu kata tantenya padanya tadi sore setelah semua drama pada pertemuan mereka dan Patricia tadi siang. Dan Naura hanya bisa menurut saja, selain dia tidak mungkin memaksa Theresia untuk segera bicara, dia juga urusan tante dan omnya sangat mendesak. Jadi penjelasan drama tadi siang bisa ditundanya hingga tiga hari kedepan.
"Akkhhh..." Memutar kepalanya ke kanan dan ke kiri gusar, Naura mencoba mengganti fokus pikirannya. "Tenanglah Naura, tunggu saja tante Theresia menjelaskan semuanya padamu." Katanya lagi lalu menghembuskan napasnya kuat.
Masih pada posisinya yang berbaring di atas ranjangnya, Naura menoleh pada jam yang ada di dinding, mendapati benda itu telah menunjukkan pukul 11 malam.
"Kak Ravael sepertinya lembur." Naura bermonolog setelah menyadari kalau ini sudah hampir larut malam dan kakak angkatnya itu belum juga pulang.
Dia baru bangun dari posisi berbaringnya untuk memastikan keamanan rumah tantenya, ketika Naura mendengar sebuah suara sangat kuat. Saking kuatnya dia sampai terkejut dan hampir jatuh kembali kerangjangnya. Tiba-tiba rasa takut menguasainya, bayangan penjahat memasuki rumah itu membuat tubuh Naura seketika membeku. Rasa takut itu melumpuhkan diri Naura, tapi untuk sesaat saja karena kemudian dia kembali menguasai dirinya.
"Aku harus menyelamatkan rumah ini." Ucap Naura pelan setelah dia sadar dari rasa terkejut bercampur takutnya tadi.
Sebenarnya rasa takut masih menguasai Naura, apalagi ketika dia mendengar langkah cepat dan kuat dari luar, namun dia bertekad untuk menjaga rumah milik keluarga Utama itu. Meyakinkan dirinya kalau dia tidak akan terjadi apa-apa padanya Naura mulai melangkahkan kakinya menuju pintu kamarnya. Semakin dirinya mendekat pada pintu, semakin kuat pula rasa takutnya karena suara langkah kaki dari luar sana terdengar makin jelas. Saking jelasnya Naura sampai merasa langkah itu memang menuju kearahnya.
Dan, brakkk...
Pintu kamarnya terbuka, memunculkan sosok yang membuat Naura merasa lega sekaligus merasa takut.
"Kak Ravael..." Naura manggil pelan orang yang berdiri di depan pintu kamarnya itu. "Apa kak Ravael yang membuka pintu depan tadi?" Lanjutnya bertanya dengan suara sepelan mungkin.
Pertanyaan itu jelas tidak membutuhkan jawaban, hanya melihat dari kondisinya saja Naura sudah tau jawabannya. Dia hanya berusaha mencairkan suasana mencekam yang dia rasakan karena sangat sadar ada yang berbeda dari Ravael. Tidak hanya tatapannya, tapi juga aura yang dikeluarkan kakak angkatnya itu sangat menakutkan buatnya.
"Apa yang kamu dan mama katakan pada Patricia?" Suara itu begitu tenang dan berat bertanya pada Naura.
Deg...
Jantung Naura berdetak kuat, wajahnya pucat ketakutan mendengar pertanyaan dari Ravael. "A...ap...apa... maksud kak... Ravael?" Terbata-bata Naura menjawab, sambil kakinya melangkah mundur.
Satu langkah Naura mundur, satu langkah pula Ravael maju hingga jarak yang coba Naura jaga tetap tidak berubah. Dia layaknya kelinci yang tengah tersudut dan tak berdaya oleh singa saat ini.
"Kak Ravael..." Naura menggelengkan kepalanya kuat.
"Apa yang kalian katakan pada Patricia, sampai dia semarah itu dan tidak mau lagi bertemu denganku?" Lagi Ravael berbicara dengan nada seperti tadi.
Kepala Naura kembali menggeleng cepat.
"Tunangan?" Ravael semakin mendekat dan Naura tidak tau harus bagaimana karena kakinya sudah menyentuh pinggiran ranjang. "Aku tidak tau hubungan kita seperti itu. Lalu kamu sendiri, apa kamu tau apa artinya bertunangan?" Panik dan ketakutan di wajah Naura tidak membuat Ravael kasihan sedikitpun.
"Maaf kak... maaf. Aku hanya mengikuti perkataan tante Theresia." Mengiba, air mata menggenang dikelopak matanya Naura.
Namun Ravel tetap menunjukkan ketenangan yang sama seperti sebelumnya dan itu semakin menakutkan karena senyum miring dari kakak angkatnya itu.
"Ahhh, mengikuti perkataan mama ya." Kata Ravael menjawab Naura.
Kemudian Ravael mendorong Naura kuat sampai terjatuh di atas ranjangnya, dihimpitnya tubuh Naura yang memberontak dengan tubuhnya.
"Kalau kamu sepatuh itu pada apa yang mama katakan, biar aku bantu kamu membuat semuanya lebih mudah."
Naura meronta, tubuhnya bergerak sebisanya untuk lepas dari kungkungan Ravael. "Kak... tolong lepaskan aku. Jangan begini." Mohonnya dengan mata yang bersimbah air mata.
Tapi Ravael terlanjut dikuasai amarahnya, sehingga tidak ada sedikitpun belas kasihan dihatinya untuk Naura. Mengabaikan permohonan yang didengarnya, Ravael kemudian menunjukkan senyum miringnya dan membisikkan sesuatu pada Naura. "Kalau kamu memang tunanganku, aku pikir kamu tidak akan keberatan aku melakukan ini." Katanya sebelum akhirnya Ravael memberikan ciuman dan sentuhan kasar pada Naura.
Sedang Naura, dia hanya bisa diam, ketakutan dan pasrah ketika menerima semuanya.
BLANC
Langkah kaki Theresia tergesa memasuki lorong rumah sakit, tempat dimana Naura dirawat kata Ravael tadi pagi melalui pesawat telepon. Sedangkan Philip tertinggal sedikit jauh dibelakangnya berjalan tenang membawakan tas Theresia dan barang-barang mereka selama di Surabaya.
"Ael, dimana Naura? Ada apa dengan dia?" Tanya Theresia bertubi-tubi saat dia bertemu putranya terduduk di kursi yang berada di depan sebuah ruangan rawat inap.
Namun seolah tidak mendengar dan menyadari keberadaan Theresia, Ravael tetap duduk dengan posisi kedua tangan melingkupi kepalanya yang tertunduk. Ingin sebenarnya Theresia menyadarkan Ravael akan keberadaannya, tapi dia menahan dirinya karena fokus utamanya sekarang adalah Naura. Mengabaikan Ravael, Theresia kemudian memilih untuk masuk ke ruangan yang dia tau berisi Naura didalamnya.
Dan hatinya mencelos seketika saat melihat Naura yang terbaring disana.
"Sayang, apa yang terjadi padamu sampai kamu seperti ini?" Nada suara Naura pelan bergetar ketika bertanya.
Tidak menunggu jawaban dari Naura yang dia tau tidak akan menjawab karena dalam keadaan tidur, Theresia kembali menatap wajah anak yang diangkatnya itu. Dari wajah pucat itu dia bisa menebak kalau Naura kurang istirahat dan nutrisi sampai bisa pingsan seperti ini. 'Tapi kenapa Naura bisa begini? Bukankah 3 hari yang lalu dia masih baik-baik saja?' Theresia bertanya dalam hatinya.
Saat itu matanya langsung menangkap sesuatu yang berbeda pada pergelangan tangan Naura, Theresia akan memeriksanya ketika dia mendengar keributan dari luar.
BUGH...
PLAKKK...
BUGH...
Lagi Theresia mendengar suara itu, hingga mau tidak mau dia mencari asal suara itu. Dan saat dia menemukannya, dia hanya bisa membelalak tidak percaya karena asalnya dari suaminya yang tengah memukul putranya.
"PAPA!" Pekik Theresia marah. "Papa apaan sih!" Theresia mendorong Philip yang terlihat sangat marah untuk menjauhi Ravael yang sudah tersungkur jatuh di lantai dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah. "Papa bisa nggak sih bicara baik-baik dulu sebelum main tangan gini ke Ael." Kesal Theresia lalu mendekatkan dirinya pada Ravael.
"Ini kita lagi di rumah sakit loh buat Naura, kalian malah melakukan hal bodoh disini disini."
Merasa urusan putranya dan suaminya bisa diselesaikan nanti, Theresia melanjutkan omelannya sambil membantu Ravael untuk berdiri. Theresia sangat tau sekuat apa suaminya, makanya dia sangat khawatir pada keadaan Ravael yang terlihat sama sekali tidak baik. Dia berpikir menunda menyelesaikan permasalahan keduanya untuk sekarang karena ada Naura yang perlu mereka khawatirkan.
"Kamu nggak apa-apa sayang..."
"Papa pantas memukul Ravael ma." Sebelum Theresia menyelesaikan perkataannya Ravael memotong perkataan Theresia lirih.
Kening Theresia mengernyit antara tidak mengerti dan tidak suka.
"Kenapa kamu pantas mendapatkannya?" Tanya Theresia. "Hanya karena kamu tidak menjaga Naura dengan baik sampai sakit seperti ini?"
Ravael tidak menjawab, hanya diam sambil menatap matanya hingga membuat Theresia menyadari satu hal kalau kondisi putranya juga jauh dari kata baik.
"Ini kamu dan Naura ada apa sih, kenapa kamu terlihat tidak terurus begini?" Dengan kaki yang berjinjit Theresia mengusap wajah Ravael memakai sapu tangannya. "Apa yang sebenarnya terjadi sampai kalian seberantakan ini."
"Aku memperkosa Naura ma."
Tubuh Theresia kaku, dunia tempat dia berpijak saat ini seolah berputar membuatnya limbung dan hampir terjatuh. Beruntung Philip segera menangkapnya dengan sigap dan segera menggunakan tangannya sebagai penyanggah Theresia.
"Ka...kamu bilang apa?"
Menganggap yang tadi hanyalah angin lalu, Theresia bertanya untuk memastikan kalau dia hanya salah mendengar. Dia berharap kalau Ravael mengatakan hal berbeda dari apa yang didengarnya barusan.
"Aku memperkosa Naura ma." Kata Ravael yang kali ini terdengar sangat jelas buat Theresia.
Dan...
PLAKKK
Tanpa Theresia sadari tangannya melayang pada pipi Ravael, untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia menampar putra kesayangannya itu.
PLAKKK
Kembali Theresia memberikan tamparan tepat di pipi putranya itu, meski tatapannya sendiri terlihat kosong dan tidak fokus. Masih dengan keadaan yang seperti itu dia membalikkan tubuhnya pada Philip, meremas lengan kemeja panjang yang digunakan suaminya itu. Berharap dengan begitu dia tidak jatuh karena jujur saja kakinya dia rasa tidak mampu menumpu dirinya lagi. Lalu tanpa dia sadari tubuhnya bergetar hebat sebelum akhirnya dia jatuh pingsan dalam pelukan Philip.
BLANC
Begitu Theresia membuka matanya pertama kali, ruangan bercat putih adalah hal pertama yang dilihatnya. Ditambah bau khas yang cukup familiar, membuatnya mudah menebak dimana dia berbaring saat ini.
'Kenapa aku bisa di rumah sakit?' Begitu Theresia bertanya dalam hatinya karena seingatnya dia tidak sakit dan tidak mengalami kecelakaan. Lalu kenapa dia harus bangun di salah satu ruang rawat inap rumah sakit begini.
"Mama sudah bangun?"
Suara suaminya menyadarkan Theresia dari kesibukan dirinya mencari jawaban.
"Papa..." Jawabnya lirih dan lemas setelah Philip membantunya untuk bersandar di bantal yang disusun. "Mama kok bisa disini?" Katanya lebih lanjut karena otaknya benar-benar tidak memberikannya jawabannya.
Mengehembuskan napasnya pelan, Philip diam menatapnya seolah berpikir apakah dia harus menjawab pertanyaan Theresia atau tidak. Reaksi itu tentu membuat kening berkerut bingung, seharusnya jawaban untuk pertanyaan bukanlah hal yang sulit. "Pa, kenapasih? Terus mana Ae..."
Ucapan Theresia terputus saat menyebut nama panggilan putranya karena kilas pertemuannya tadi dengan Ravael terputar kembali di kepalanya. Membuka cepat selimut yang menutupi tubuhnya, Theresia ingin segera pergi ke ruang dimana Naura dirawat.
"Mama mau kemana."
Sebelum Theresia berhasil turun dari ranjangnya, Philip sudah terbih dahulu menahannya. "Mama mau kemana?" Katanya.
"Naura pa, mama mau ketemu Naura." Jawabnya cepat sembari berusaha melepaskan diri dari cengkraman Philip.
Tapi suaminya itu tidak membiarkannya, membuat Theresia memasang wajah tidak suka. "Pa, apa-apaan sih. Papa nggak dengar kalau mama mau nemuin Naura," kesalnya.
Tapi seperti tadi, Philip tetap menahannya dengan tetap memegang tangan kanan Theresia kuat, seperti sedang memaksanya untuk tetap tenang duduk diranjangnya. "Naura belum bangun ma. Dia masih istirahat dan Ravael sedang menjaganya disana."
Seketika wajah Theresia berubah garang, marah atas apa yang dikatakan suaminya. "Papa kenapa membiarkan Ravael menjaga Naura. Papa taukan apa yang telah anak kita lakukan? Naura bisa ketakutan melihat keberadaan Ael disana."
Dengan bertingkah seperti ini, Theresia tau kalau dia bertingkah sebagai orang tua yang kejam karena sudah memperlakukan anaknya sendiri seperti kriminal. Tapi dia tidak peduli, kenyataannya putranya memang melakukan kejahatan dan dia tidak bisa menutup mata untuk itu. Theresia tidak sebuta itu pada rasa sayangnya, jadi ketika Ael salah dia akan mengatakan kalau putranya itu salah.
"Pa..." Mengganti nada dan raut bicaranya, Theresia kini terlihat memohon pada Philip. "Tolong pa, biar mama temuin Naura. Mama mau ada disampingnya saat dia bangun nanti."
Hufffttt...
Philip menghembuskan napasnya kuat dan naik ke ranjang rawat, menarik Theresia untuk kembali berbaring disana. "Ma, papa tau kalau saat ini sangat marah dan kecewa pada Ravael." Akhirnya setelah memilih diam dari tadi, Philips akhirnya mengeluarkan suaranya. "Tapi bisakah mama mempercayai Ael seperti biasanya? Biarkan dia menyelesaikan masalah yang telah dibuatnya." Lanjut Philip dengan tatapan yang biasanya mampu membuat Theresia diam.
"Tapi pa..."
"Papa tau apa yang dilakukan Ravael fatal. Sangat fatal dan mungkin tidak termaafkan buat Naura, tapi mama percayakan sama anak kita?" Philip bertanya dan tidak dijawab oleh Theresia. "Meski tidak menunjukkannya diwajahnya, mama pasti tau kalau Ael saat ini juga sangat tersiksa."
Mata Theresia memejam, napasnya terasa sesak karena ingin menangis rasanya dia mengingat Ravael dan Theresia. Sebesar apapun dia ingin memojokkan putra kesayangannya itu bersalah, sebesar itu pula hatinya berharap Naura bisa memaafkan Ravael. Sungguh sebagai ibu dia tidak sanggup rasanya kalau membayangkan Ravael harus mendekam di penjara.
"Pa, bisa tolong panggilkan Ravael?"
Lama Theresia diam untuk menimbang apa dan bagaimana harusnya dia bertindak dan bersikap untuk Ravael dan Naura. Sampai akhirnya dia mengambil keputusan yang dia memikirkan apa yang terbaik untuk dua anak yang disayanginya itu. Meski hal tersebut tidak bisa mengembalikan semuanya kembali kesemula, setidaknya Theresia bisa meminimalisir perpecahan dikeluarganya.
Philip sendiri tidak langsung menyanggupi apa mau istrinya itu. Dia masih diam sambil menatap dalam pada mata Theresia, untuk memastikan kalau saat ini kondisi emosi istrinya itu sudah lebih baik dari yang tadi.
Sadar dengan apa yang mungkin dipikirkan Philip, Theresia kemudian memegang jari suaminya itu lemah sambil menatap. Lalu katanya, "Kalau papa mengkhawatirkan kondisi mama, papa tidak perlu khawatir karena mama sudah baik-baik saja. Mama hanya ingin bicara soal apa yang harus Ravael lakukan untuk memperbaiki semua ini. Dan papa pasti tau kalau bertanggung jawab selamanya untuk Naura adalah jalan satu-satunya untuk itu."
Philip menghembuskan napasnya kuat, tanda kalau dia menyerahkan semuanya pada sang istri.
“Ya udah, mama lanjut dulu istirahatnya. Biar nanti papa suruh Ravael menemui mama.”
BLANC