BLANC 4

1580 Kata
Tidak akan memaafkan Ael. Itulah tadi yang ditekadkan Theresia dalam hatinya, setelah dia tau apa yang telah dilakukan Ravael pada Naura. Tapi pada akhirnya tekad itu tidak bisa dia laksanakan semudah dia memikirkannya karena pada akhirnya dia tetaplah seorang ibu. Seberapa marah atau kecewanyapun seorang ibu akan salah anaknya, pada akhirnya akan selalu ada kata ampun dan maaf yang datang darinya. Apalagi jika si anak terlihat kalut dan menyesal karena kesalahan itu, perasaan ibu anak itu pasti akan langsung tergerak. Seperti apa yang dirasakan Theresia sekarang pada Ravael, sekuat apapun dia ingin memegang tekadnya, pada akhirnya dia kalah. Kasihnya sebagai seorang ibu tidak akan pernah membiarkan dia tega melihat sang putra menderita. Ya, Ravael menderita dan Theresia tau itu. Philip memberitahunya bagaimana Ravael tidak sedikitpun beranjak dari depan ruang inap Naura. Bahkan untuk makan saja dia harus dipaksa, begitu juga dengan istirahat.  Buat orang lain, hal ini terdengar seperti sebuah bullshit atau pembelaan yang tidak masuk akal karena mau dilihat dari sisi manapun Ravael terlihat baik-baik saja. Sikap tenang dan pengendalian diri yang ditunjukkan putra Theresia itu memang selalu mampu menyembunyikan apapun yang dia rasakan dan pikirkan. “Ma,” Ravael memanggil. Namun Theresia tetap diam, memilih untuk tetap memusatkan tatapannya pada jendela kaca ruangan tempat dia dirawat. “Mama…” Ravael mengulang panggilannya. Tapi lagi-lagi Theresia mengabaikannya. Walau tidak semarah kemarin, saat dia tau apa yang dilakukan Ravael, Theresia masih ingin menunjukkan kemarahannya pada putranya itu. Biarpun ada maaf dan ampun dari dia, bukan berarti dia akan melepaskan Ravael begitu saja tanpa hukuman. Bahkan ketika Ravael sudah duduk di kursi jaga yang ada di sebelah ranjangnya, Theresia tetap diam, bertingkah seolah tidak ada seorangpun disana. Sampai dia merasakan sesuatu menumpu pada pahanya. “Mama, maaf.” Suara Ravael lebih pelan dari sebelumnya. “Tolong jangan diamin Ael seperti ini.” Lanjutnya lagi. Dan saat itulah airmata Theresia jatuh lagi. Dia menangis untuk meluapkan perasaan sesak dalam hatinya karena sungguh, dia sangat kecewa pada Ravael. Putra yang selalu dia banggakan dan sayangi itu melakukan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Theresia menatap Ravael. Lalu, “Kenapa kamu melakukan itu ke Naura?” Akhirnya Theresia bersuara. “Bagaimana bisa kamu melakukan hal sekeji itu ke dia.” “Maaf ma.” Hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Ravael. “Apakah ini karena Patricia?” Saat memikirkan apa yang mungkin menjadi alasan Ravael bisa melakukan sesuatu yang sangat jahat pada Naura, apa yang dilakukannya pada Patricia adalah yang terpikirkan olahnya. Dan dia sangat yakin kalau memang itulah penyebabnya, dia bertanya hanya untuk mendengarnya langsung saja dari Ravael. “Apakah kamu secinta itu padanya, hingga kamu tega melakukan hal yang tidak manusiawi pada Naura hanya karena dia ikut dalam rencana mama?” Kembali Ravael tidak menjawab. “Mama benar-benar kecewa kekamu.” Kata Theresia ditemani isak tangisnya. Tidak ada balasan dari Ravael, dia memilih untuk tetap diam sambil menggenggam erat tangan Theresia. Hingga yang terdengar diruangan itu hanyalah isak tangis Theresia, sampai akhirnya dia bisa menguasai sedikit dirinya. Menghirup udara sebanyak yang dia bisa agar tangisnya bisa mereda, Theresia kemudian menatap sang putra. Kemudian dibuatnya Ravael menegakkan tubuhnya agar tatapan mereka bisa bertemu dengan cara menarik tangannya dari genggaman putranya itu. Lalu katanya, “Mama sudah memikirkan semuanya.” Ucapan Theresia berjeda, “mulai saat ini kamu harus bertanggung jawab sepenuhnya atas Naura.” Ravael diam tidak mengiyakan atau membantah. Walau begitu Theresia tau apa jawaban putranya itu karena Theresia sangat mengenal putranya itu. Ketika Ravael sudah menyadari dia melakukan kesalahan, Ravael akan melakukan apapun untuk memperbaikinya. Jadi Theresia yakin kalau Ravael akan melakukan apa yang dimintanya dan putranya itu pasti mengerti dengan maksud tanggung jawab yang dia maksud barusan. BLANC Ketika Naura terbangun dari tidurnya, pusing kepala yang sungguh hebat langsung menyerangnya. Membuat dia akhirnya menutup matanya kembali, cara sederhana yang dipikirnya mampu meredakan pusing dikepalanya. Dan ternyata caranya itu cukup ampuh untuk menolongnya. Meski tidak sepenuhnya hilang, setidaknya Naura bisa bernafas sedikit lega karena pusing yang dirasakannya tidak separah yang tadi. “Hufffttt…” Seolah ingin membuang sedikit lagi bebannya, Naura menghela napasnya kuat. Lalu ditatapnya langit-langit ruangan tempatnya berbaring saat ini hanya untuk memastikan kalau dia memang tidak berada dikamarnya. Tidak sulit buatnya untuk menebak kalau saat ini dia tengah berbaring disalah satu ruangan rumah sakit. Karena tidak hanya didominasi cat warna putih, ruangan itupun didominasi bau obat dan anti septik. Rasa sesak seketika menyusupi hatinya saat dia mengingat apa yang membuat dia hingga berakhir ditempat ini. Ingatan yang sebenarnya ingin sekali dilupakannya selamanya karena hanya akan menimbulkan luka dan kemarahan saja dihatinya setiap kali dia mengingatnya. Naura tidak yakin kalau dia bisa hidup dengan baik dan normal lagi setelah apa yang menimpanya. Flashback On Mata Naura menatap kosong pada dinding kamarnya, sedangkan tangannya mencengkram kuat selimut yang menutupi tubuh telanjangnya. Sama seperti matanyanya yang kosong, pikiran Naura pun ikut kosong karena dia benar-benar terguncang. Tidak pernah terpikir olehnya sesuatu yang sangat buruk seperti ini akan terjadi kepadanya. Hingga rasanya mati jadi salah satu pilihan terbaik yang dimilikinya karena dia tidak bisa membayangkan hidupnya setelah semua ini. “Nggghhh…” Suara erangan dari belakang tubuhnya, tidak membuat Naura menoleh atau melakukan apapun. Dia tetap diam dengan tangan yang semakin erat memegang selimutnya, seolah selimut itu bisa melindunginya dari pria dibelakangnya. Kemudian suasana kembali hening entah apa yang pria dibelakangnya itu lakukan, Naura tidak peduli. Sampai, “s**t…” Ravael mengumpat dan bergerak kasar di belakang Naura, sebelum kemudian dia turun dan keluar dari kamar Naura. Naura tidak menahannya, dia membiarkan Ravael berlalu begitu saja. Bukan hanya karena tubuhnya yang dia rasa mati hingga tidak bisa melakukan apapun, tapi juga karena Naura tidak tau harus bagaimana untuk berhadapan lagi dengan Ravael. Entah bagaimana Naura harus mendeskripsikan perasaannya pada putra Theresia itu, tapi yang pasti untuk sementara dia tidak ingin berhubungan dengan Ravael. Dan Naura tidak keluar sedikitpun dari kamarnya sejak saat itu. Dia tidak menghabiskan waktunya dengan berbaring diranjangnya dan menatap kosong pada apapun yang ada dihadapannya. Tidak ada makanan sedikitpun yang masuk ke dalam perutnya, hanya air putih saja yang jadi sumber tenaganya. Padahal dalam satu hari ada tiga kali makanan diantarkan kekamarnya, namun dia tidak pernah menyentuhnya. Naura yakin kalau orang itu adalah orang suruhan Ravael karena pekerja sebenarnya keluarga Utama sedang pulang. Selain tidak makan, Naura juga tidak tidur, jadi sangat wajar rasanya kalau akhirnya dia collapse. Yang jadi  pertanyaannya, siapa yang membawa dia ke tempat ini? Setaunya pekerja sementara keluarga Utama selalu bekerja setengah hari saja, saat mereka selesai dengan pekerjaan mereka, mereka akan langsung pulang. Ravael? Tidak, Naura berharap bukan kakak angkatnya itu yang melakukannya. Sangat menyedihkan rasanya kalau orang yang menghancurkan kamu, malah menolongmu kemudian. Seolah orang itu ingin ingin mengolok-olokmu dengan membuatmu merasakan penderitaan yang lebih lama lagi. Tapi siapa lagi yang melakukannya kalau bukan, Ravael? Flashback off Krieeettt… Suara pintu menyadarkan Naura dari lamunannya, walau begitu dia tetap memejamkan matanya seperti tadi. Entah kenapa dia melakukan itu, tapi yang pasti otaknya memberi perintah pada matanya untuk  tetap begitu. Dalam keadaan mata yang tertutup, Naura mencoba menebak siapa kira-kira orang yang masuk keruang rawat inapnya. Dia yakin kalau orang itu bukanlah dokter atau perawat karena dia tidak mendengar sesuatu yang membuat dia berpikir itu mereka. Jadi kemungkinan besar orang ini adalah orang yang mengantarkannya kerumah sakit karena dia tau keberadaannya. Ketika Naura masih sibuk berpikir siapa kemungkinan orang itu, sebuah sentuhan dingin dikeningnya membuatnya berhenti. Sentuhan terasa dingin dikeningnya, sentuhan yang memberinya perasaan tenang dan nyaman. Ingin rasanya dia membuka matanya saat itu untuk melihat siapa pemilik tangan itu, namun sebelum dia melakukannya orang itu sudah terlebih dahulu menunjukkan identitasnya dengan mengeluarkan suaranya. “Aku tau kalau kamu sudah bangun.” Tubuh Naura seketika membeku mendengar suara itu, suara milik orang yang tidak ingin ditemuinya lagi kalau dia bisa. “Aku akan panggilkan dokter untukmu.” “Berhenti berpura-pura baik.” Naura menghentikan Ravael. Matanya yang tadinya tertutup, kini menatap penuh kemarahan pada kakak angkatnya itu. “Aku tidak membutuhkannya.” Ravael terdiam sebentar, sebelum kemudian dia melanjutkan langkahnya ke arah pintu ruangan Naura. “Aku akan kembali bersama dokter Elena.” Katanya Ravael seolah tidak mendengar perkataan Naura. Dan tentu saja hal itu memancing kemarahan Naura. “SEBENARNYA APA MAU KAK AEL?” Naura berteriak. “TIDAK PUASKAH KAK AEL MENGHANCURKAN AKU? ATAU MASIH ADA LAGI YANG INGIN KAK AEL LAKUKAN UNTUK MEMBALAS AKU?” Naura tidak tau apa yang Ravael pikirkan setelah ledakan kemarahannya itu karena Ravael membelakanginya. Bahkan gerakan tangannya yang akan menurunkan knop pintu tadi saja berhenti Sungguh dia tidak peduli kalau Ravael tersinggung atau marah dengan semua yang dikatakannya. Kalaupun Ravael ingin menghukumnya lagi dengan hukuman yang lebih jahat karena kelancangannya, Naura siap menerimanya. Tapi, “Aku hanya sebentar. Kita bicarakan semuanya nanti, setelah dokter Elena memeriksa kamu.” Kata Ravael lalu berlalu dari kamar Naura. Dan lagi-lagi air mata Naura jatuh lagi karena harus menelan sendiri kekesalan dan kemarahannya pada Ravael. Yang dia mau Ravael tetap menjahatinya, tidak melakukan sedikitpun kebaikan hingga mudah buat Naura untuk tetap membencinya. Apa yang telah Ravael lakukan padanya, rasanya tidak akan bisa dimaafkannya. Jadi dia tidak ingin kakak angkatnya itu melakukan sesuatu yang mungkin membuatnya goyah. Hingga sebuah pemikiran melintas dikepalanya, pemikiran yang menurutnya jadi jalan terbaik yang dimilikinya saat ini. Walaupun itu artinya dia harus kembali kehilangan apa yang baru dimilikinya kembali dan sangat berharga untuknya. “Aku harus pergi.” Ucap Naura dengan suara berbisik. “Ya aku akan pergi meninggalkan semua kegilaan ini.” Naura mengulang ucapannya, seolah menjadi penegasan akan keputusannya. BLANC   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN