BLANC 5

1756 Kata
15 Menit telah berlalu sejak dokter meninggalkan ruangan Naura, setelah melakukan beberapa rangkaian pemeriksaan kepadanya. Sejak saat itu juga ruangannya kembali hening, bukan karena Naura tidak punya teman bicara, tapi karena dia tidak bicara dengan orang itu. Lagipula Ravael-pun tampak tidak ingin langsung berbicara, buktinya pria itu memilih diam duduk di kursi disampingnya sambil menantapnya. Muak dengan suasana yang tidak diinginkannya itu, Naura akhirnya mengambil inisiatif untuk membuka pembicaraan terlebih dahulu. Toh tidak ada gunanya dia terus berdiam diri seperti ini. Karena dia tau, untuk sekarang dia tidak akan bisa untuk menghindari Ravael. "Bukankah kak Ael bilang mau bicara?" Katanya masih berusaha sesopan mungkin, meski nada dingin tidak Naura sembunyikan agar pria itu tau dia marah. Pria itu tidak langsung menjawab, masih saja seperti tadi diam dan menatap Naura. "Sebaiknya kak Ael bilang sekarang karena aku mau istirahat." Lanjut Naura berbicara lalu memejamkan matanya. Sungguh tatapan Ravael tetap memberikan perasaan aneh buat Naura. Perasaan yang sudah dimilikinya sejak pertama kali bertemu, perasaan yang juga dia tidak tau harus menggambarkan dan menamainya apa. "Aku akan menikahimu." Mata Naura langsung terbuka saat itu juga. Tatapannya dia arahkan pada Ravael yang terlihat tenang, seolah tidak merasa telah menyampaikan hal gila. Siapapun pasti berpikir hal ini sangat gila karena setiap korban pasti membenci orang yang memperkosanya. Jadi tidak akan mungkin mereka mau menikah dan hidup selamanya dengan orang itu. "Apakah kak Ael sudah gila?" Tanya Naura frontal. "Setelah apa yang kak Ael lakukan padaku, apakah kak Ael berpikir aku mau melakukannya?" Nada suara Naura lebih tinggi dari sebelumnya ketika mengatakan itu semua karena dia tidak bisa menahan dirinya lagi. Sikap tenang yang ditunjukkan Ravael membuatnya sangat marah karena jujur saja, dia ingin Ravael menderita. Sama menderitanya dan sakitnya dengan dia yang merasa dirinya tidak berharga lagi setelah malam itu. Tapi sepertinya itu hanya dalam mimpinya saja. Naura sangat ingat apa yang Theresia pernah ceritakan kepadanya dulu tentang Ravael dan emosinya. “Haha…” Naura kemudian terkekeh menyedihkan. “Oh, tentu saja kak Ael berpikir kalau aku akan mau menurut saja menikah dengan kak Ravael. Aku terlalu mudahkan buat kak Ravael.” Ucap Naura dengan nada serak bergetar. “Kak Ael pikir, dengan menikahiku cukup untuk menghapus semuanya?” “Tidak,” setelah lama berdiam diri akhir Ravael mengeluarkan suaranya. “Aku tidak berpikir menikah denganmu bisa menghapus apa yang telah aku lakukan hari itu.” Ravael melanjutkan perkataannya dengan nada tenangnya yang biasanya. “Tapi tetap sajakan, aku harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki semua ini.” “Kak Ravael tidak perlu melakukannya karena aku tidak ingin hidupku berhubugan lagi dengan kak Ael.” Kata Naura cepat. Suasana kamar itu kembali hening karena kemudian Naura  diam, sama seperti yang Ravael lakukan. Bukan karena dia menyesal dengan apa yang dia katakan barusan pada Ravael, tapi karena dia ingin menyusun kata-katanya. Naura sadar apapun yang akan keluar dari mulutnya setelah ini, akan menentukan nasibnya di masa depan nanti. Bagaimanapun, dia sangat sadar kalau keputusan yang akan disampaikannya ini akan mempengaruhi banyak orang. Jadi Naura ingin menyampaikan sejelas mungkin agar Ravael bisa mengerti apa yang dia mau. Lalu dengan tangan yang saling berpegang erat, Naura mengeluarkan isi pikirannya. “Kalau memang kak Ael ingin benar-benar ingin memperbaiki semua ini,” ucapan Naura terputus. “Kak Ael tidak perlu menikahiku, cukup membiarkan aku pergi dan membuat tante Theresia dan om Philip mengerti kenapa aku memutuskan ini semua.” Kemudian Naura menghembuskan napasnya kuat dan mengatakan apa maunya. “Kak Ael tau, melihat dan bertemu kak Ael adalah hal yang sebenarnya tidak ingin aku lakukan lagi setelah kejadian malam itu. Jadi aku memutuskan untuk pergi. Aku harap kak Ael mengabulkan mau aku ini, jika kak Ael memang ingin melihat aku bisa hidup atau paling tidak sedikit bahagia.” BLANC Jadi satu bulan telah berlalu sejak kejadian di rumah sakit, tepatnya setelah Naura mengajukan permintaannya pada Ravael. Bukan hal yang mudah buat Naura mendapatkan kata setuju dari Ravael karena pria itu menganggap permintaan Naura tidak masuk akal. Buat Ravael menyanggupi keinginan Naura saat itu adalah hal terbodoh karena itu sama saja membuat dia semakin bersalah. “Tidak, aku tidak akan mau melakukannya.” Begitu Naura mengingat Ravael menolak permintaannya hari itu. Meradang sebenarnya Naura mendengar jawaban itu, namun dia berusaha menahan dirinya karena dia sadar tidak ada gunanya dia menggunakan emosinya berkomunikasi dengar Ravael. Jika dia menunjukkan kemarahannya ketika bernegosiasi dengan pria itu, sudah pasti Naura akan kalah. Ketenangan dan pengendalian diri hanya bisa dilawan dengan ketenangan dan pengendalian diri juga. “Kak Ael harus melakukannya,” kata Naura pelan. “Karena kali ini aku yang akan melakukan apapun agar kak Ael mengatakan ‘iya’ untuk permintaanku ini.” Lanjutnya mengancam. Tatapan mereka saling mengunci saat itu. Dari matanya, Naura ingin menyampaikan kalau dia tidak main-main, dia serius akan melakukan apapun agar Ravael mengabulkan maunya. “Sebaiknya kamu istirahat, pembicaraan ini kita lanjutkan nanti.” Begitu jawab itu keluar dari mulut Ravael, saat itulah Naura tau kalau dia harus menunjukkan pada Ravael kalau diapun bisa melakukan hal gila.  “Ra, kamu yakin nggak mau pergi kedokter saja?” Orang yang dipanggil Naura dengan sebutan bu Inah itu memberi saran dengan wajah khawatir. “Kamu sangat pucat, ibu yakin kalau kamu tidak baik-baik saja.” Katanya lagi sambil membantu Naura duduk dan meminum tehnya. Namun kepala Naura segera menggeleng lemah sebagai jawabannya. Dia tidak akan pernah mau kedokter karena dia sangat takut apa yang dipikirannya akan menjadi kenyataan. Padahal dia baru saja mendapatkan kebebasan yang dimintanya, ingin mati rasanya kalau dia harus kembali kekehidupan lama yang tidak diinginkannya lagi.  “Tapi Ra…” “Naura nggak papa bu,” kata Naura dengan nada lemah. “Ini paling masuk angin saja,”  Naura masih bersikeras menolak usulan bu Inah. Dan helaan napas berat adalah balasan yang didapat Naura dari ibu pemilik kontrakan tempat dia tinggal sekarang. “Baiklah kalau memang kamu bilang begitu. Tapi kalau kamu berubah pikiran atau membutuhkan sesuatu,  kamu datang ke rumah ya. Ibu ada disana seharian ini,” katanya sebelum kemudian pergi meninggalkan  kamar kecil tempat Naura berbaring saat ini. Sepeninggalan ibu pemilik kontrakannya, Naura hanya bisa terdiam sambil menatap langit-langit kamarnya. Hingga airmata kemudian jatuh menetes dari kelopak matanya dan Naura segera mengusapnya dengan cepat dan kasar. “Tidak…tidak… Aku tidak mungkin hamil,” katanya pelan. “Aku hanya kelelahan dan masuk angin biasa,” Naura berucap seperti hendak menegarkan dirinya. Namun semakin dia berusaha mengingkarinya, ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya tidak nyaman seolah menyuruhnya untuk memastikan perkatannya. Walau sebagian hatinya juga menolak untuk mencari tahu kepastiannya karena dia terlalu takut apa yang disangkalnya malah yang terjadi kepadanya. ‘Tuhan, tidak mungkinkan Engkau memberi cobaan seberat ini?’ Naura berucap dalam hatinya. ‘Karena kalau memang Engkau memberikan aku sesuatu yang tidak aku inginkan, aku tidak yakin bisa menerima dan menyayanginya.’ Kembali Naura bermonolog dalam hatinya. Dan lagi-lagi airmata jatuh dari matanya karena entah kenapa dia merasa ada yang menjawabnya. Jawaban bahwa ketakutannyalah yang akan terjadi, bukan apa yang diinginkannya. BLANC Jam sudah menunjukkan jam 15.30 ketika Naura terbangun dari tidurnya. Sepertinya dia terlalu banyak menangis tadi, hingga tanpa sadar dia akhirnya jatuh kedalam alam mimpinya. Dia bahkan melewatkan makan siangnya karena kalau dia menghitung lagi, dia tidur hampir sampai 7 jam lebih. Karena seingat Naura, dia hampir jatuh pingsan tadi saat hendak pergi bekerja. Itu artinya pukul 08.00 pagi tadi. Memang setelah keluar dari keluarga Utama, Naura memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya karena dia cukup sadar diri kalau dia tidak punya biaya untuk itu. Bahkan untuk makan dan menyewa tempat saja dia harus meminjam uang dulu pada Nathalie. Beruntung temannya itu murah hati dan berasal dari keluarga yang sangat mampu, hingga tidak sulit untuknya untuk memberikan Naura sejumlah uang. Untungnya lagi uang sewa kontrakan tempat Naura tinggal sekarang tidaklah terlalu mahal, barang-barangnyapun cukup lengkap. Jadi dia masih bisa bertahan hidup dengan uang pinjamannya yang jumlahnya jelas tidak banyak. Kalau mendengar hal ini, orang-orang pasti berpikir kalau Ravael, Theresia ataupun Philip sangat kejam kepadanya. Tidak hanya terlihat seperti membuang Naura, keluargaa Utama juga seperti ingin melihat Naura menderita. Padahal sebenarnya Nauralah yang menolak semua penawaran kebaikan yang ditawarkan keluarga Utama itu kepadanya. Baik itu dalam bentuk materi maupun bantuan bentuk lainnya, Naura menolaknya. Walau Theresia sampai memohon agar dia mau menerima apa yang diberikannya. Tapi Naura sudah bertekad untk tidak menerima apapun lagi dari keluarga yang telah mengangkatnya itu. Jadi sekecil apapun bantuan dari keluarga Utama, dia tidak akan menerimanya karena dia benar-benar ingin lepas sepenuhnya dari mereka. Harus Naura akui kalau hidupnya sangat berat setelah meninggalkan kediaman keluarga Ravael. Bekerja dari pagi hingga malam jadi tukang bersih-bersih dan cuci piring disebuah restoran yang tidak begitu besar. Namun dia menikmatinya, meskipun rasanya sangat melelahkan. Buatnya dengan bekerja hampir sepanjang hari membantunya melupakan masalah yang sedang dihadapinya. Sebenarnya rasa tidak enak badan, pusing dan mual sudah dia rasakan beberapa hari belakangan ini. Tapi Naura bisa bertahan mengabaikan semua perasaan itu, sampai akhirnya tadi pagi dia hampir jatuh pingsan saat akan mengunci pintu kontrakannya. Dan bu Inah yang kebetulan sedang menyapu halaman rumahnya menangkap Naura dan membantunya untuk berbaring kembali dikamarnya. Naura sudah akan turun dari ranjangnya, ketika dia mendengar ketukan pintu depan kontrakannya. Tok...tok…tok… Kening Naura berkerut samar karena dia tidak merasa seseorang  tertarik untuk bertamu kekontrakannya. Selain karena dia merasa adalah anak sebatangkara yang sudah memutuskan hubungannya dengan siapapun. Termasuk paman, bibi dan keluarga angkatnya, Naura juga tidak punya teman atau kenalan lain yang cukup dekat dan akrab dengannya yang sampai mau mengunjunginnya. “Naura!” Suara bu Inah terdengar dari depan pintu rumahnya. “Bu Inah,”  Naura menjawab panggilan ibu pemilik kontrakan sambil berjalan menuju arah pintunya. Meski masih belum baikan, dia berusaha untuk terlihat lebih baik agar bu Inah tidak perlu mengkhawatirkannya lagi. Tepat disaat dia membuka pintu dan tersenyum untuk menyambut sang pemilik kos-kosan, tubuh Naura membeku seketika. Wajahnya yang awalnya sudah terlihat tidak baik semakin pucat saja karena kemunculan seseorang yang tidak diharapkannya. Orang di sebelah bu Inah yang menatapnya dengan tatapan tenang namun  cukup untuk membuat Naura ketakutan. “Ra Ini ada…” “Apa yang kak Ravael lakukan disini.” Naura memotong ucapan bu Inah. Bukan karena dia ingin bersikap tidak sopan, tapi karena dia tidak mendengar suara wanita paruhbaya itu. Nyatanya saat ini Naura merasa hanya ada dia dan Ravael ditempat itu. Selain tidak melihat keberadaan orang lain disana, diapun tidak bisa mendengar suara yang lainnya karena tiba-tiba saja dia merasa semuanya senyap. “Aku datang untuk meminta kamu memenuhi janjimu.” jawab Ravael yang seperti jadi akhir segalanya saat ini buat Naura. BLANC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN