“Naura, apa ibu bisa masuk?”
Dengan kepala dan tubuh yang menyembul sedikit dari balik celah pintu, Inah muncul dan menanyakan hal itu pada Naura yang tampak termenung menatap bayangannya di cermin.
“Tentu saja bu, silahkan masuk.” Ucap Naura dengan ramah sambil menyunggingkan senyum kecil diwajahnya. Senyum yang malah menunjukkan kesedihannya bagi siapapun yang melihatnya.
Begitu dapat ijin dari Naura, Inah segera duduk di sebuah kursi panjang yang ada diruang tempat Naura menunggu saat ini. Naura sendiri kini telah pindah duduk di kursi yang sama dengan ibu pemilik kontrakan dia tinggal selama sebulan yang lalu.
“Kamu sangat cantik,” kata Inah sambil tersenyum tulus karena sebenarnya dia memang sangat menyayangi Naura.
Naura sudah dianggapnya putri sejak dia menemukan Naura basah kuyup kehujanan ketika Naura sedang mencari untuk tempat tinggal. Tidak sulit buatnya untuk menyayangi Naura karena selain memiliki kepribadian yang baik dan menurutnya menyenangkan, Inah juga seolah melihat dirinya pada Naura.
Sebatang kara dan tidak diinginkan dalam bentuk berbeda.
Jika dirinya ditinggal selingkuh oleh suaminya karena tidak bisa memiliki anak, Naura yatim piatu lalu dibuang oleh keluarga angkatnya. Memang itu adalah kesimpulan sepihak darinya karena saat itu yang dia tau kalau Naura adalah anak panti asuhan yang kemudian diangkat sebuah keluarga, kemudian Naura pindah. Dalam pikirannya waktu itu. Naura pasti hidup tidak bahagia bersama keluarga angkatnya, makanya Naura sampai pindah.
“Ibu mau minta maaf.” Setelah memuji Naura cantik, kalimat itulah yang kemudian keluar dari mulut Inah. “Ibu benar-benar nggak tau kalau nak Ravael adalah…”
“Bu Inah nggak salah kok bu,” dengan cepat Naura memotong ucapan Inah karena memang dia tidak merasa ini adalah kesalahan wanita paruhbaya itu.
Sungguh Naura paling tidak bisa kalau ada orang merasa bersalah untuknya atas kesalahan orang lain. Seperti yang dilakukan Inah lakukan sekarang, padahal dia tidak pernah berpikir kalau wanita itu memiliki salah padanya. Karena ternyata sejak awal kepindahannya dari kediaman keluarga Utama, Ravael selalu mengawasinya. Makanya pria itu bisa menyadari kalau kondisinya tidak baik-baik saja hanya karena tidak hadirnya dia ditempat kerjanya.
Kalau Ravael sampai tau dimana Naura bekerja, itu artinya dia diawasikan?
Bicara soal rasa bersalah, Theresia juga jelas menunjukkan hal itu padanya sejak Ravael membawanya kembali pulang. Sikap itu jelas membuatnya merasa tidak nyaman karena sungguh, dia tidak pernah menyalahkan Theresia atas apa yang terjadi padanya.
Tidak suka dengan Theresia yang terus menyalahkan dirinya hingga sampai jatuh sakit, Naura akhirnya meminta Ravael untuk hidup terpisah dengan Theresia dan Philip. Karena dia tidak mau setiap kali Theresia melihatnya, tante angkatnya itu minta maaf sampai menangis. Semua itu membuat Naura ikut merasa bersalah karena sungguh, dia tidak pernah menyalahkan Theresia atas semua yang terjadi padanya.
Hari dimana Ravael menemuinya dikontrakannya, hari itu juga Ravael langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan semua. Dan ternyata apa yang ditakutkannyalah yang terjadi, Naura hamil dan umur kehamilannya itu sudah memasuki umur 5 minggu. Ketika semua itu sudah pasti Ravael meminta Naura untuk menepati perjanjian yang mereka buat saat Ravael setuju membiarkannya pergi. Naura masih ingat betul bagaimana bagaimana akhirnya kebebasannya dia dapatkan dan perjanjian itu bisa terjadi.
Flashback On
“Maaf pak, kalau begini terus kondisi mbak Naura akan semakin lemah.”
Naura mendengar jelas suara dari dokter yang baru saja memeriksanya, diapun bisa melihat dengan jelas tatapan tenang Ravael yang jelas tertuju kepadanya. Tatapan tenang yang Naura tidak tau apakah pure tenang atau ada kesal dan marah padanya karena untuk siang ini, Naura lagi-lagi menolak untuk memakan makanannya. Hingga membuat Naura hampir pingsan lagi. Itulah kenapa dokter ada dikamarnya saat ini.
Untuk membalas tatapan pria itu, Naura ingin rasanya dia berkata ‘bukankah sudah aku katakan aku akan melakukan apapun untuk kebebasanku?’ tapi Naura tidak bisa melakukannya. Tepatnya dia tidak sanggup melakukannya karena dia terlalu lemah karena aksi tidak makan yang dilakukannya. Sangat nekat memang, tapi ini adalah satu-satunya ide yang terpikirkan olehnya agar Ravael menyetujui keinginannya.
Kalau kalian pikir dihari pertama Ravael langsung menyerah karena aksinya itu, kalian salah karena pria itu tetap diam tidak menyinggung soal keinginannya. Padahal sepanjang waktu pria itu bersamanya dan menyiapkan segala keperluan Naura kecuali kalau memang ada pertemuan yang tidak bisa ditinggalkannya. Wajah lemas dan tidak berdaya Naura tidak menggugah pria itu sama sekali.
“Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu.”
Kepala Naura bergerak pelan agar tatapannya bisa bertemu dengan Ravael.
“Benarkah?” Kata Naura dengan pelan memastikan.
Ravael mengangguk, lalu duduk di kursi jaga yang ada di sebelah ranjang tempat Naura berbaring. Kursi yang Naura tidak tau sudah berapa lama Ravael duduki karena selama menjaganya di rumahsakit Ravael selalu duduk disana. Kecuali kalau Ravael pergi ke toilet, mandi atau makan semua dia lakukan di atas kursi itu. Bahkan tidurpun dia disana.
Ucapan setuju dari Ravael itu saja tentu membuat Naura senang karena dia benar-benar merasa cukup dengan persetujuan itu.
Dia berniat mengucapkan terimakasih pada Ravael, setelah nanti dia minum karena untuk sekarang tenggorokannya terasa sangat kering. Jadi dia tidak yakin bisa bicara dengan baik sebelum dia membasahinya. Ucapan terimakasih itu Naura ucapkan karena akhirnya Ravael mau mengalah dan akhirnya mau menurutinya.
Tapi,
“Aku akan menuruti mau kamu, tapi kamu harus berjanji satu hal padaku.”
Ingin rasanya Naura langsung mengatakan tidak pada Ravael saat itu. Tapi dia berpikir kembali kalau ini mungkin akan jadi kesempatan terakhir yang dia punya. Pria ini bukanlah seseorang yang bisa dia prediksi, Naura takut ketika dia bilang ‘tidak’ maka tidak akan ada lagi kata setuju dari Ravael.
“Baiklah, aku setuju dengan apapun yang kak Ael mau.” Jawab Naura sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan ringisannya.
“Kamu minum dulu.” Perintah Ravael sembari menyodorkan gelas berisi air putih pada Naura.
Sepertinya sekuat apapun dia menyembunyikan keadaannya saat ini dari Ravael, pria itu bisa menyadari apa yang salah pada dirinya. Lihatlah, Ravael tidak hanya sekedar memberikan Naura minuman kepadanya, tapi pria itu juga membantunya untuk duduk. Enggan rasanya Naura menerima semua hal baik yang dilakukan pria itu padanya, tapi kondisinya tidak memungkinkannya untuk menolak saat ini. jadilah dia pasrah dengan semua bantuan yang diberikan Ravael kepadanya.
“Kamu tunggu disini, biar aku belikan makanan buat kamu.” Kata Ravael setelah dia membantu Naura minum dan bersandar dibantalnya.
“Tidak. Kak Ael tidak perlu membelikankanku makanan.” Tolak Naura. “Sebaiknya kita langsung membicarakan apa perjanjian yang kak Ravael ingin buat denganku.”
Hufffttt…
Untuk pertama kalinya, Naura melihat Ravael menghela napasnya. Tampaknya kali ini pria itu sudah muak dengan kekerasan kepalanya. Pikirnya pria itu akan memakinya atau melakukan sesuatu apapun yang mungkin untuk menunjukkan rasa marah atau kesalnya. Tapi Naura salah karena yang terjadi adalah, Ravael sudah kembali dengan mode tenangnya.
“Kamu makan, atau kita batalkan semua pembicaraan ini.” Ucap Ravael dingin.
Naura akan menjawab kalau dia akan melanjutkan aksi mogok makannya, tapi Ravael segera menghentikannya.
“Jangan berpikir untuk mengancamku dengan mogok makan karena aku juga bisa melakukan sesuatu yang bisa memastikanmu memakan semua makananmu.” Lanjut Ravael yang membuat Naura tidak bisa berkutik sama sekali.
Jadi untuk kali ini Naura tidak bisa berkutik karena dia terlalu takut Naura yakin kalau Ravael serius dengan ucapannya.
Kemudian dalam diam Naura menikmati makanan yang baru dibelikan Ravael padanya. Karena ternyata pria itu tidak membutuhkan banyak waktu untuk membawakannya makanan yang ternyata bisa menggugah selera Naura. Tidak hanya bubur ayam yang harus Naura akui aroma dan rasanya, tapi juga buah yang dibawa pria itu untuknya, tampak dipilih sesuai dengan kondisi Naura saat ini.
Selama Naura menyantap makanan itu, dia merasa kecanggungan yang luar biasa karena Ravael kembali duduk di kursi jaga sambil menatapnya. Makanya dia berusaha secepat mungkin menyelesaikan makannya agar dia bisa segera memulai pembicaraan mereka.
“Aku sudah selesai.” Katanya Naura sambil sedikit mendorong meja kecil tempat makanannya.
Ravael tidak menjawab, hanya diam sambil menatap pada mangkok bubur ayam Naura. Dan Naura menyadari apa maksud dari tatapan itu.
“Porsinya sangat banyak, aku tidak sanggup menghabiskan semuanya.” Naura memberi alasan.
Beruntung Ravael mau mendengarkannya.
Lalu tanpa kata, pria itu membereskan sisa makanan dan bekas alat makan Naura. Setelah memastikan semunya selesai, pria itu kembali duduk dak dan menatap Naura.
‘Inilah saatnya,’ pikir Naura dengan jantung yang bedetak cepat.
“Kamu tau kenapa dokter tidak memberikanmu obat selama dirawat disini?” Mulai Ravael berbicara.
Naura diam.
Bukan karena tidak tau jawabannya, tapi karena dia bingung Ravael malah menanyakan itu padanya. Meski begitu dia tetap menjawab Ravael, walau hanya dalam bentuk gelengan kepala.
“Itu karena aku jaga-jaga kalau mungkin saja kamu hamil.”
“AKU TIDAK MUNGKIN HAMIL!” Naura menjawab cepat dengan nada tinggi terdengar panik.
Ravael diam melihat reaksi Naura itu, kemudian dia terlihat menunggu Naura untuk sedikit lebih tenang.
“Aku juga berharap kamu tidak hamil,” ucap Ravael. “Tapi kamu tidak bisa menghilangkan kemungkinan itu. Dan aku tidak mungkin tidak bertanggung jawab untuk anak itu kalau kamu benar-benar hamil.” Lanjut Ravael kali ini dengan nada stern yang membuat Naura tidak bisa membantah atau bergeming sama sekali.
“Tapi aku tidak ingin menikah dengan kak Ael,” Naira berkata lirih dengan air mata yang mulai berlinang dipelupuk matanya. Karena mau tidak mau dia harus membenarkan apa yang diucapkan Ravael, meski sebenarnya dia membenci itu.
Seperti sebelumnya ketika Naura menolaknya, raut wajah Ravael tidak menunjukkan apapun. Pria itu hanya menatap Naura lalu berkata, “Meski kamu tidak menyukainya kita harus tetap menikah, kalau memang benar kamu hamil.” Lanjutnya Ravael tanpa nada paksaan, tapi jelas terdengar seperti vonis bagi Naura.
Untuk beberapa saat suasana kamar itu hening, sampai Ravael kembali membuka suaranya.
“Kamu tidak perlu takut soal pernikahan ini,” ucap Ravael lagi. “Seperti yang kamu katakan kalau kamu tidak menginginkannya, jadi kamu bisa menganggapnya hanya status. Kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau, termasuk berhubungan dengan pria yang kamu inginkan.”
Flashback Off
BLANC