bc

Lima Hari & Their Soulmates

book_age16+
174
IKUTI
1.0K
BACA
playboy
goodgirl
badgirl
band
bxg
campus
enimies to lovers
rejected
love at the first sight
colleagues to lovers
like
intro-logo
Uraian

Ini cerita tentang group band yang dikenal dengan nama panggung Lima Hari. Lima Hari terdiri dari lima cowok keren dengan kemampuan bermusik yang gak perlu diragukan lagi. Jadi inceran para perempuan cantik, jadi bahan gosip seantero kampus, jadi bahan gunjingan para dosen, semua lika-liku kehidupan masa remaja sudah mereka lewati. Menyesal? Enggak.

Baik Satria, Brian, Jefran, Wildan, dan Dafi malah mensyukuri apa yang terjadi selama ia hidup di dunia, dari detik mereka dilahirkan. Apa lagi ketika kehidupan yang biasanya mereka isi dengan tugas kuliah dan jadwal padat, kini mereka punya satu tugas tambahan : mencari soulmate.

Bukan tanpa alasan. Di usia yang hendak menginjak dua puluh satu tahun, munafik kalau lima cowok itu bilang mereka gak kepingin punya cewek yang bisa diajak uwu-uwu kayak di aplikasi Tik Tok.

Dan inilah kisah mereka.

Lima Hari dan lima soulmatesnya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Awal Cerita
* * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Sebagai kekasih yang tak dianggap aku hanya bisa mencoba bertahan...” Mendengar ada suara laki-laki yang menyanyikan lagu itu, Jefran otomatis segera menoleh dan langsung terbahak. Semuanya—empat laki-laki yang lainnya, jadi memusatkan atensi pada laki-laki berkacamata tersebut. “Apaan banget, Bri, lagu lo.” kata Jefran sambil menggeleng-gelengkan kepala usai  tawanya mulai mereda. Yang ditanya jadi sewot sendiiri. “Dih, orang asal nyanyi juga. Kenapa, dah?” “Biasa, Bri. Kalau gak ngetawain orang, kan, hidupnya Jefran serasa ada yang kurang.” ujar Satria masih dengan tatapan fokus ke depan layar laptop yang ia pangku. Perkenalkan mereka. Band Lima Hari. Band yang sedang digandrungi para kawula muda karena lima cowok di dalamnya adalah cowok-cowok tampan dengan kemampuan bermusik yang tidak bisa diragukan. Berawal dari iseng ingin menyewa studio—karena gak mungkin, kan, mereka berlima ke tempat karaoke buat nyanyi doang—apa lagi mereka sama-sama pintar dalam bermusik, jadi tiba-tiba Brian mencetuskan ide untuk membentuk band dan mendaftarkannya untuk bergabung dengan deretan band kampus yang biasanya akan diundang oleh acara-acara kampus. Semuanya setuju dengan alasan mereka memang masih semester satu dan tak banyak kegiatan yang dilakukan di kos. Jadi, mengapa tidak? Hal yang tidak pernah mereka duga adalah iseng mereka berubah jadi emas. Awalnya memang hanya mengisi acara kampus tanpa dibayar, mereka suka rela menyumbang suara dan bakat. Tapi ternyata, beberapa kali penampilan mereka direkam oleh penonton dan masuk ke dalam Insta Story membuat Lima Hari jadi dikenal banyak orang. Kafe-kafe kecil hingga restoran besar mulai mengenal namanya, mengundang mereka untuk mengisi malam minggu disana sebagai bintang tamu, lalu lambat laun, Lima Hari jadi langganan beberapa tempat kafe dan restoran dengan gaji yang naik karena banyak penonton yang meminta Lima Hari diundang lagi. Hingga sampai detik ini, walaupun tak sampai tour keluar kota, tapi Lima Hari punya nama besar di kota Jakarta. Sudah pernah beberapa kali mengisi radio, diundang di acara konser yang diadakan kota lalu jadi bintang tamu walaupun bukan yang utama, dan pencapaian besar lainnya. Bangga? Tentu. Gak usah ditanya, sih, soal itu. Belum lagi kalau bekerja dari sesuatu yang memang sudah hobi jelas menguntungkan. Udah dapet uang, bisa nyalurin kesenangan, obat stres pula. Apa gak top banget, tuh? Mereka lagi lucky banget. “Sat, nungguin lo kelar nugas bisa-bisa baru dua jam lagi mulai latihan.” protes itu keluar dari bibir Brian. “Bentar, nanggung. Tinggal daftar rujukan.” “Daftar Rujukan? Mata Kuliahnya Pak Sadun lo?” Satria mengangguk tanpa bersuara. “Lo semester ini juga ada Pak Sadun?” “Pak Sadun saha, Bang?” Dafi menimpali. “Daftar Rujukan itu apaan?” “Semester satu diem bae, ya,” kata Wildan dengan kekehan geli. “Kalau udah masuk semester depan, pasti kenal Pak Sadun.” “Daftar rujukan itu apa?” “Daftar pustaka, Daf.” “Lah, kok rujukan?” “Gak tahu. Pak Sadun selalu minta tulisannya bukan pustaka, tapi rujukan.” ujar Wildan dengan telaten menjelaskan. “Sampai diminus segala katanya kalau sampai gak pakai daftar rujukan. Gimana yang lupaan kayak gue coba?” “Lagian apaan banget dia pakai rujukan-rujukan. Dikira abis putusan jadi suruh rujukan?” Jefran mengangkat sebelah alisnya tinggi mendengar kalimat gak lucu yang keluar dari bibir Brian. Lalu kemudian dia memaksakan tawa yang dibuat-buat sambil bertepuk tangan. “Haha, lucu, Bri. Lucu, kok. Semangat belajar ngelawaknya, ya, Sayang.” Yang lain langsung tertawa—bahkan sampai terbahak karena selera humor mereka emang serendah itu—karena mendengar kalimat sarkasme Jefran. “Kurang ajar lo.” jawab Brian sambil berdecak. “Yok, dah selesai gua.” Yang ini suara Satria sambil berdiri usai menutup laptopnya. Ia menatap teman-temannya yang posisi masing-masing dari mereka sudah semburat tak karuan. Jefran yang tiduran di atas sofa dengan kaki menjuntai ke bawah karena kakinya terlalu panjang, Wildan dan Dafi yang saling menyenderkan kepala di sofa single dan duduk berdua bersempit-sempitan, lalu Brian yang lesehan di karpet bawah dengan bersiul dan melamun. Satria jadi terkekeh. Teman-temannya. nih, kenapa gak begini amat, dah? “Ayo, oi. Jadi gak, nih?” “Bentar, Bang. Ngantuk banget demi Allah, dah,” Dafi berujar lalu menguap. “Ye, nanti makin diundur-undur gak jadi latihan, nih. Bangun, bangun! Cepet!” “Anjir emang Satria,” Jefran mengumpat. “Dari tadi yang lain siap, dianya gak berdiri. Sekarang semua lagi posisi wenak, dianya nyuruh-nyuruh latihan.” Semuanya menggerutu setuju. Tapi Satria tetap Satria yang profesionalismenya tinggi—ah, profesionalis atau terlalu sat-set wat-wet?—jadi tidak peduli dengan protes teman-temannya, cowok itu langsung mengambil tempat. “Lagu apa dulu ini?” “When You Love Someone, coba. Lama banget gak pakai lagu itu.” Brian yang sudah berdiri dengan bass-nya memberi saran. Sesekali jemarinya iseng memainkan benda kesayangannya itu. “Wadaw, Pak. When You Love Someone banget nih?” Jefran meledek. Brian mencibir. “Apaan, dah, lu. Perasaan dari tadi gue salah mulu.” “Lagian heran ama Brian. Dia nulis lagu kenapa sedih mulu, sik, Ya Allah. Sekali-kali yang bisa buat mencak-mencak kayak lagi konser Yellow Claw, kek.” Semuanya setuju atas satu hal tersebut. Dari sekian lagu milik Lima Hari, Brian selalu jadi penulisnya. Iya, laki-laki itu adalah writer song Lima Hari. Lagu-lagu yang ia tulis, jujur, memang bagus dan selalu mengena di hati. Tapi entah mengapa, Brian selalu menciptakan lagu tentang patah hati. Padahal cowok itu jomblo dari lahir. Tahu-tahuan soal patah hati dari mana coba? Bukan berarti dia gak pernah nulis lagu soal yang bahagia-bahagia juga. Pernah, kok, satu atau dua kali. Cuman emang gak selaris kalau Lima Hari ngeluarin lagu galau. Kayaknya para pendengar musik di luar sana lebih suka mendengar melodi sendu dari pada bersenang-senang. Makanya Brian jadi memutuskan memperbanyak menciptakan lagu galau saja. Toh buktinya memang laris dan banyak yang suka lebih dari pada lagu-lagu gembira Lima Hari lainnya. “Ya udah, When You Love Someone,” Satria memberi keputusan. “Masih pada apal, kan?” “Apal.” “Wildan, tuh, yang perlu ditanya. Dia ‘kan yang paling tajem ingetannya.” Dafi terbahak kencang di posisi paling belakang—yang juga sudah duduk nyaman dengan stik drum di tangan—karena sindiran dari cowok paling jangkung di antara yang lainnya itu. “Kacau Bang Jefran. Semuanya aja lo buli.” Jefran hanya menyengir. “Fokus! Fokus!” suara Satria memecahkan ramainya suasana hari ini. Lagi pula, bukan Satria namanya kalau tidak kaku dan terlalu serius begini. Beruntung anggota Lima Hari sudah kebal dengan sifat si Bapak-Bapak yang satu itu. Eits, omong-omong, jangan kira karena banyak yang memanggil Satria dengan sebutan Bapak, artinya memang Satria sudah bapak-bapak. Salah total. Lagi pula yang paling tua di Lima Hari adalah Jefran. Si slengean satu itu, bukan Satria. Tapi Satria dipanggil Bapak juga bukan tanpa alasan dan asal nyebut saja. Melainkan karena cowok tersebut suka marah-marah, mengomel, kaku, dan tidak bisa diajak bercanda—bisa, sih, lebay kalau gak bisa, cuman ya gak seluwes yang lainnya aja. Keningnya lebih banyak berkerut. Bapak-bapak banget gak, tuh? “One, two, three.” Brian membuka aba-aba. “Go!” Dafi memukul drumnya pelan, sesuai dengan yang selama ini ia praktikkan. Disusul suara keyboard oleh jemari indah Wildan. Lalu suara Jefran keluar sebagai vokalis pertama dalam lagu ini.   “It was a really hard day today My heart aches for you The only thing I can do for you Is to be next to you, I’m sorry.”   Tidak heran, kan, kenapa Jefran digilai seribu perempuan?   Mendengar suaranya saja sudah banyak yang leleh.   You’re so pretty when you smile So every time you lose that smile Even if I have to give my all I want to give it back to you I want to cry for you I want to hurt instead of you I don’t want any scars in your heart Ever again Tepuk tangan dulu, dong, sama Brian. Gimana bisa, sih, cowok yang jomblo dan sama sekali gak pernah berhasil ngedeketin cewek bisa ngerasain patah hati sengena ini dan dituangin ke lagu yang mana jadi booming dan semua kawula muda kecanduan? Bohong kalau ada yang bilang ini lagu gak enak. Ini adem di telinga dan nylekit di hati banget, man. When you love someone So much that it overflows It’s so amazing Because this is how it is I hope I can be a little helpful at least I hope I can be your resting place I’ll try to make you feel at peace Whenever you think of me during your busy days You’re such a soft-hearted person Every time you are silently in pain Even if I have to give my all I want to make you smile again * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *   I'm thrilled with my whole body I'm so happy so I'm crying Some people say love. But I think there's more to it than that If you know, let me know. If not, build it. To this beautiful feeling.   “Being in the same world with you Each moment we breathe I Like it, the word love can't be enough This beautiful feeling.”   Mereka berlima tepuk tangan usai selesai menyanyikan lagu tersebut—hal yang selalu mereka lakukan usai latihan, salah satu bentuk apresiasi atas kerja keras mereka yang selesai dilaksanakan—dengan suara Brian sebagai penutupan atas lagu kedua yang baru mereka mainkan.   “Woo Hoo!” “Yum yum!” “Yippieee!” Koor tak jelas itu terdengar memenuhi ruangan dari banyak mulut. Emang ada anak Lima Hari yang waras? Ya jelas enggak.   “Udah, nih, cuman dua lagu aja?”   “Iye. Lagian kita cuman mau manggung enam lagu, kan, nanti?”   Semuanya mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Brian.   Memang, sesuai jadwal, hari ini—hari Sabtu di akhir bulan Januari—Lima Hari menjadi bintang tamu pengisi panggung di kafe dekat kampus. Mereka menandatangani kontrak selama tiga bulan untuk datang bernyanyi di setiap malam minggu. Malam minggu nanti adalah minggu kedua Lima Hari manggung disana. Maka dari itu, seperti yang sudah-sudah, Lima Hari akan latihan beberapa jam sebelum pelaksanaan. Tapi kalau sedang tidak malas saja. Kalau sama-sama sedang malas dan sibuk, biasanya mereka tidak akan latihan sebelum jam pelaksanaan. Itupun versi gak niat. Untungnya mereka selalu totalitas ketika sudah di atas panggung sekalipun baisanya tidak sempat latihan atau tidak maksimal ketika latihan.   Lagi pula bagi mereka, ini bukan tentang seberapa sering seorang penyanyi latihan sebelum naik panggung. Tapi bagaimana kalian menjaga daya tahan tubuh dan kesehatan tenggorokan. Itu yang lebih penting. Akan jadi percuma kalau seorang penyanyi latihan setiap hari sebelum hari H namun saat waktunya tiba, tenggorokan mereka sakit, atau tubuh mereka tidak fit. Itu kata Wildan beberapa bulan yang lalu dan empat anggota lainnya sangat setuju.   “Lo mau kemane, Jef, abis ini?”   Jefran yang baru akan merogoh rokoknya di saku celana jadi menoleh sekilas ke arah Satria. “Biasalah.”   “Nemuin Kintan?”   Jefran mengangguk cuek.   Kalau tidak ada yang tahu siapa itu Kintan, izinkan Jefran menjabarkan dengan sabar. Kintan adalah gebetan Jefran bulan ini. Oh, salah. Dua bulan ini. Biasanya, laki-laki kardus ini akan ganti gebetan setiap satu bulan sekali. Tidak bena-benar dijadwal, sih, tapi kenyataannya memang begitu. Sepertinya kadar bosan seorang Jefran Lee Samuel memang paling mentok, ya, tiga puluh hari. Tapi dengan Kintan, entah kenapa, Jefran sampai dua bulan lamanya.   Bukan hanya anak Lima Hari yang heran. Jefran sendiri juga ikut heran dengan diri sendiri. “Besok udah awal bulan lagi, Jef. Lo tumben banget sama satu cewek sampai mau tiga bulan?”   “Lah, iya, ya? Besok udah awal bulan, ya?” Wildan bertanya pada siapapun yang mau menjawabnya. “Tumben lu, Jef.”   “Udah cinta, kali.”   “Cinta pala lo?” Jefran melempar gumpalan kertas pada Brian. “Kagak tahu juga gue.”   “Bisa gitu gak tahu?”   “Ya emang gak tahu?” Jefran merebut pemantik yang hendak diambil Brian di depannya. Dia menjepit satu batang rokok di antara bibirnya. “Belum nemu cewek baru aja. Makanya awet sama yang ini.”   “Tumbeeeeen?”   Jefran melempar pemantiknya ke paha Brian. “Apaan, sih, Nyet, tumben-tumben mulu. Serius gue. Kalau ada yang mantep juga nanti gue ganti baru.”   “Berasa ngomongin ganti hape, ya, Bang?”   Jefran menyeringai sambil mengangkat jempolnya ke arah Dafi yang cengengesan. “Elo coba, deh, Daf. Deketin satu cewek gitu. Pasti ketagihan.”   “Ketagihan ngapain, Jef?” Wildan malah tanya.   Satria menggeleng-geleng kepala. Brian dan Jefran ngakak sejadi-jadinya.   “Jangan ngaco, tuh, mulut, Jef. Wildan masih polos,” Satria menegurnya. “Udahlah, main keyboard aja lu, Wil, paling bener. Lo juga, Daf. Main drum aja. Gak usah mainan cewek.”   “Bapak satu ini bener-bener, ya. Gak bisa banget diajak bercanda.”   Jefran menjetikkan batang rokoknya ke dalam asbak. “Lemesin, dong, Sat. Lo, tuh, udah tuwir. Gak mau cari soulmate apa?”   “Gue masih semester tiga, ya, Bangke.” “Nah, makanya. Semester tiga gak ada cewek, tuh, apa gak hambar hidup lu pada?” Jefran tetap kukuh pada pendiriannya. Bahwa hidup tanpa kekasih rasanya seperti sayur tanpa garam. Tidak enak. Tidak seru. Tidak menarik. Kalau lagi suntuk dan gak ada yang bisa jadi penghibur, ya, pasti larinya ke cewek, kan, biar bisa seneng-seneng?   “Emang cari cewek, tuh, dimana, sih?”   “Daf...” Jefran melengos. “Gak tahu lagi gue sama lo. Lagian heran. Di antara kita berlima, gue gak tahu kenapa lo semua pada betah jomblo. Liat, nih, gue yang udah gonta-ganti cewek.”   “Kalau udah waktunya, pasti juga soulmate-nya masing-masing bakal dateng sendiri, kali, Jep.”   “Kalau lo beneran cowok, yang bener elo yang nyari dan nyamperin si soulmate. Bukan malah duduk anteng disini nungguin disamperin.”   “Bener juga.”   “Tuh, kan!”   “Jangan kayak Brian, tuh, kejebak di masa lalu sampai trauma gak mau cari cewek.”   “Mana ada. Gue gak trauma, ye,” Brian protes tidak terima. “Lagian ngapain, sih, musti buru-buru cari cewek? Banggain, noh, nyokap-bokap lo di rumah.”   Wildan mengangguk-anggukkan kepala saja dari tadi. “Betul, betul, betul.”   “Tapi emangnya Bang Brian masih gagal move on dari mantan pacarnya? Siapa, sih, namanya.”   “Bukan mantan pacar, kali, Daf. ‘Kan gak pernah pacaran.”   “Hahaha, iya, ya? Belum sempet pacaran tapi udah ditinggal nikah muda sama yang lain,” ledek Jefran. “Kasihan banget temen gue yang satu ini.”   “Traumanya sampai sekarang, ya, Bri?”   “Diem lo, Sat. Gak usah ikut nyebelin kayak anak-anak.”   Satria ketawa. “Asli muka lo asem banget sekarang.”   “Inget Alyssa, tuh, pasti.” tambah Wildan ikut-ikuran.   “Ssstt! Sstt!”   Semuanya menoleh ke arah Jefran yang tiba-tiba berdiri dengan wajah serius sambil menaruh telunjuk di depan bibir. Rokoknya ada di antara jemari tangan kiri.   Merasa semua anggota Lima Hari sudah menaruh atensi pada dirinya, Jefran melanjutkan kalimat dengan muka tengil.   “Gak baik ngomongin bini orang!”   “Hiyaaaaaaaaaa.”   Koor ramai meledek Brian pun kembali terdengar. Tawa dan riuhnya suara empat laki-laki disana melebur jadi satu. Brian hanya sebagai bagian mengumpat.   Jika Jefran dikenal playboy kampus yang sudah master dan tak pernah terikat serius dengan satu perempuan, lalu ada Wildan dan Dafi yang polos serta jomblo dari lahir, Satria yang hanya pernah pacaran satu kali saat SMA tapi tidak ada drama dengan mantannya, Brian ini beda dari yang lain. Cowok itu sudah satu tahun lebih ditinggal oleh gebetannya, Alyssa, yang hamil diluar nikah dengan sahabat cewek itu sendiri.   Dulu, Alyssa dan Brian dipertemukan di satu sekolah SMA yang sama. Kelas 12, Brian memilih melakukan pendekatan dengan cewek dari jurusan Bahasa itu. Setelah enam bulan digantung oleh Alyssa yang tak pernah membalas pernyataan cintanya, tahu-tahu Alyssa memberi kabar bahwa ia hamil—dihamili oleh sahabat Alyssa sendiri, namanya Akbar. Brian jelas tahu bahwa mau tak mau ia harus mundur, apa lagi saat Alyssa bilang ia dipaksa menikah secepatnya sebelum sang janin lahir. Kejadian itu tepat terjadi saat Brian masih berada di semester satu.   Entahlah, Brian sendiri juga muak mengapa ia tidak bisa melepaskan perasaannya pada Alyssa padahal sampai detik ini, gadis yang tidak melanjutkan kuliah itu hanya akan datang padanya saat ia butuh saja. Selebihnya? Jelas kalau soal senang-senang, Alyssa akan kembali ke suaminya, Akbar.   “Bri, jangan nangis, Bri!”   “Wah malah ngelamun, nih, bujang satu.”   Ledekan demi ledekan ternyata belum berhenti. Brian mendengus, kini ikut serta bergabung mengambil satu batang rokok untuk ia hisap karena ia kembali kalut setiap kali memikirkan Alyssa.   “Jangan gitu dong, gais, sama temen sendiri,” Dafi berujar. Brian melempar kripik kentang ke drummer kesayangan kawula muda tersebut. “Gue lebih tua dari lo, ya, Nyet.”   “Ampun, Bang.”   “Doain aja. Semoga abis ini Brian segera dipertemukan dengan soulmate-nya.” ujar Satria tenang.   Brian tersenyum miris. “Gue doain lo juga, deh, Sat.”   “Doa bareng-bareng aja, dong!” Jefran berseru heboh. “Semoga kita berlima segera ketemu sama soulmate masing-masing.”   “AMIN!”   “Jefran juga berhenti jadi jabingan!”   “Hahaha! Aamiin!”   Di antara percakapan random mereka berlima siang itu, baik Brian, Satria, Wilda, Dafi, juga Jefran tak ada yang tahu bahwa Tuhan benar-benar akan mengabulkan doa lima pemuda tersebut.   Que sera-sera. What ever will be, will be.   * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * *  

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

GARKA 2

read
6.2K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.2K
bc

DIHAMILI PAKSA Duda Mafia Anak 1

read
40.7K
bc

TERNODA

read
198.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook