Part 3. Teori Cinta Zick Rubin

1080 Kata
Rumah besar milik Bintang terlihat lengang. Tidak ada suara apa pun yang tercipta di sana. Ini menjadikan dirinya rindu dengan kehangatan rumah orang tuanya. Tapi kini dia sudah menikah dan memiliki keluarganya sendiri. Tidak bisa seenaknya pergi ke sana tanpa membawa istrinya atau akan ada banyak pertanyaan dicerca kepadanya. Naik ke lantai atas, Bintang masuk ke dalam kamarnya yang terlihat tidak ada istrinya di sana. Menatap sekelilingnya, lelaki itu mengamati setiap jengkal ruangan tersebut. Benar-benar tidak ada tanda kehidupan sama sekali. Mencoba mencari Cinta di kamar lain pun tidak ada. Memang, mobilnya perempuan itu tak ada di garasi dan itu adalah sebuah tanda jika perempuan itu memang tak ada di rumah. “Cinta belum pulang, Bibi?” mencari asisten rumah tangganya, Bintang memerlukan informasi. “Tadi sudah pulang, Pak. Tapi keluar lagi.” “Jam berapa dia sampai di rumah?” jika setelah kejadian pertengkaran siang tadi, seharusnya Cinta sudah pulang ketika masih sore. “Agak sore, Pak. Sekitar pukul tiga.” “Oke!” prediksi Bintang benar. Perempuan itu pasti pulang terlebih dulu untuk mengganti bajunya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi mengenai perempuan itu. Ia sudah cukup dewasa dan bisa menjaga dirinya sendiri. Inginnya, Bintang peduli dengan Cinta. Bagaimanapun perempuan itu sudah sah menjadi istrinya dan sudah menjadi tanggung jawabnya. Sayangnya Cinta menolak niat baik Bintang dengan memilih mendorong Bintang untuk menjauh darinya. Tentu saja Bintang mengabulkannya. Sekitar pukul sembilan malam, suara mobil terdengar dan itu adalah mobil Cinta. Bintang yang masih terjaga dan melanjutkan pekerjaannya menunggu istrinya itu masuk ke dalam kamar dan akan melihat apakah ada itikad baik dari perempuan itu untuk meminta maaf karena keterlambatannya pulang ke rumah. Sayangnya itu sama sekali tak dilakukan. Perempuan itu justru sibuk dengan rutinitas malamnya sebelum akan keluar dari kamar. “Mau ke mana kamu?” Bintang sungguh merasa Cinta sudah keterlaluan. Menganggap suaminya tak ada di sana dengan melakukan apa pun semaunya. Alih-alih menjawab pertanyaan Bintang, bahkan untuk menatap lelaki itu saja Cinta tak melakukannya. Melihat tak ada respon yang diberikan, Bintang berdiri dan menarik tangan Cinta ketika perempuan itu hampir keluar kamar. “Saya berbicara denganmu!” bukan keputusan yang bijak ketika seorang berbicara baik-baik tapi diabaikan. “Kalau telingamu masih berfungsi dan rahangmu masih bisa digerakkan untuk berbicara, maka jawab pertanyaan saya.” Seumur hidupnya, Bintang tidak pernah bersikap kasar kepada orang lain. Tapi Cinta benar-benar menguji kesabarannya. Pernikahannya baru seumur jagung, tapi masalah yang membelit keduanya serasa tak bisa diurai. “Lepaskan aku!” seolah tuli, Bintang membalas Cinta dengan berpura-pura tidak mendengarnya. “Aku bilang lepaskan aku!” sekeras apa pun Cinta mencoba untuk meloloskan cekalan tangannya, dia tetap tak berhasil. Menyerah, perempuan itu kembali bersuara. “Aku akan tidur di kamar sebelah. Kita tidur terpisah saja. Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan dan aku tidak ingin terjebak satu ruangan denganmu.” Jika Cinta bisa mendeskripsikan raut wajah Bintang saat ini, maka dia akan dengan lantang mengatakan ekspresi lelaki itu sangat dingin dan tak bersahabat. Tubuhnya seolah mengeluarkan aura hitam kelam yang menakutkan. Namun, menunjukkan ketakutannya hanya akan membuat Bintang mendapatkan kemenangannya lebih awal dan harga diri Cinta tak mengizinkan itu terjadi. “Kamu sudah dengar apa yang akan aku lakukan. Sekarang lepaskan aku dan biarkan aku pergi dari sini!” setiap kata yang Cinta keluarkan adalah ketegasan yang selalu diberikan kepada karyawannya. Lalu, apakah itu mempan untuk Bintang? Tentu saja tidak. Bintang bahkan dengan kasar mendorong Cinta ke ranjang dengan sedikit keras. “Saya tidak akan pernah mengizinkannya. Tetaplah di kamar ini dan jangan coba berani kamu membantahnya.” “Kamu pikir kamu siapa berani mengekangku? Aku akan tetap tidur di kamar terpisah.” Bintang dengan cepat menarik kunci pintu setelah menguncinya dan melemparkannya ke sembarang arah. Cinta tak pernah menyangka jika Bintang akan bersikap semenyebalkan ini. “Selama saya masih memiliki stok kesabaran, maka tetaplah bersikap baik. Karena kalau tidak, saya bukan orang yang mudah memberikan maaf kepada orang lain. Saya tidak pernah memulai mengibarkan bendera permusuhan kepadamu tapi kamulah yang melakukannya lebih dulu.” “Lucu sekali.” Cinta melemparkan ponselnya di atas ranjang untuk menyalurkan rasa kesal yang sudah menumpuk di dalam kepalanya. “Kalau kamu ingin hubungan ini menjadi baik, kamu tidak akan pernah melakukan tindakan pengecut dengan menurunkanku di pinggir jalan.” Bintang kali ini merasa Cinta adalah perempuan yang sangat plin-plan. Siapa yang siang tadi merengek untuk keluar dari mobil dan tak bersedia sang suami membantunya? Bukankah dirinya sendiri? Lalu sekarang dia menyalahkan Bintang yang sudah bersedia menuruti permintaannya? Seringaian di bibir Bintang terlihat dan ia seperti pembunuh berdarah dingin. Sosok yang selalu hangat untuk orang di sekitarnya, kini menjadi lelaki kejam tak berperasaan. Di luar sana langit sudah menghitam. Keheningan mencekam. Dan seandainya mereka berada di film horor, maka ini adalah waktunya hantu mengeluarkan sosoknya. Bintang memutus jarak di antara keduanya. Cinta yang sadar dirinya dalam bahaya itu mundur untuk menghindar. Tapi dia tak benar-benar bisa lepas dari Bintang karena terjebak di antara tempat tidur dan suaminya. “Menurunkanmu di pinggir jalan adalah atas kemauanmu. Kamu sendiri yang menginginkan itu dan saya memberikannya untukmu. Lalu di mana letak kesalahan saya?” tatapan mereka beradu dengan kilatan amarah yang tak terbendung. “Kamu mengira saya akan membujukmu dengan kata-kata manis? Simpan saja anggapan itu di dalam kepalamu karena itu tak akan pernah terjadi. Sejak awal saya sudah menawarkan hubungan baik, tapi kamu menolaknya. Jadi itu bukan lagi tanggung jawab saya atas keputusan yang sudah kamu ambil sendiri.” Cinta meremas pakaian yang dipakainya dengan kuat. Lelaki di depannya ini adalah lelaki paling b******k yang pernah dikenalnya. Inilah kenapa penting untuk mengenal calon pasanganmu sebelum memutuskan untuk menikah. “Kalau begitu, kita tandatangani saja surat perjanjian.” Cinta memberikan penawaran. “Setelah kita mendapatkan apa yang kita mau, kita harus bercerai.” Cinta menunggu tanggapan Bintang. Tapi tidak ada satu patah kata pun yang lelaki itu keluarkan. Baiklah, ini adalah kesempatan Cinta untuk berbicara. “Kita tidak saling mencintai dan kita menikah karena keuntungan yang akan kita dapat satu sama lain. Jika kita sudah mendapatkan itu, untuk apa mempertahankan hubungan buruk seperti ini.” Dalam sebuah hubungan cinta ada tiga teori Zick Rubin yang setidaknya mencakup salah satunya. Perhatian, kasih sayang, dan keintiman. Tapi dari tiga teori itu tidak ada satupun yang terlibat di antara pernikahan yang dijalani oleh Cinta dan Bintang. Maka, mempertahankan terlalu lama, hanya akan menyakiti satu sama lain. Tapi, jawaban Bintang membuat kebencian Cinta kepada lelaki itu bertambah berkali lipat. Bintang bilang, “Bercerai? Saya hanya perlu melihat bagaimana itikad baikmu untuk mendapatkannya.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN