“Jadi, kalian bisa menggunakan rumus yang lebih sederhana ini, cu...” ucapan pak Candra terhenti saat melihat seorang murid memasuki kelas. Murid itu memasuki kelas tanpa menoleh pada pak Candra. Ia terlihat begitu tak acuh. Pak Candra hanya mampu menghela nafas, kejadian yang selalu terjadi. Ia bisa apa selain membiarkan si pembuat masalah itu. Prillia mengambil posisi duduk di samping Alfi mengabaikan tatapan tajam Alfi. Ia duduk di kursinya kemudian mengeluarkan ponselnya dan sibuk dengan ponselnya tanpa memperhatikan penjelasan pak Candra.
“Minta maaf sekarang,” Prillia mengerutkan dahinya mendengar ucapan Alfi. Ia menatap acuh kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.
“Letakin HP dan minta maaf sama pak Candra sekarang!” Ucap Alfi lagi dengan nada lebih tegas. Prillia menghela nafas kasar menatap Alfi malas.
“No!” Alfi memejamkan matanya berpikir keras cara apa yang dapat membuat gadis keras kepala ini mendengarkan ucapannya. Rasanya Alfi sudah kehabisan ide dan ancaman untuk merubah sikapnya. Namun sesaat kemudian Alfi terpikir sesuatu. Alfi menggenggam satu tangan Prillia kemudian membawanya ke bibirnya dan dikecupnya cukup lama hingga membuatnya terpejam. Prillia terpaku melihat perlakukan Allfi yang begitu tiba-tiba.
“Sekarang minta maaf, tunjuki ke pak Candra kalau lo masih bisa menghargai dia,” ucap Alfi lembut masih menggenggam tangan Prillia. Prillia mengangguk kecil kemudian bangkit dari duduknya melepaskan pegangan Alfi.
“Pak,” panggil Prillia membuat pak Candra yang masih menjelaskan menatap Prillia.
“Saya minta maaf karna tadi terlambat,” ucap Prillia membuat pak Candra membulatkan matanya tak percaya.
“Tidak apa-apa Prill,” balas pak Candra kikuk. Alfi tersenyum puas. Setidaknya ia bisa menjadi pemilik remote control Prillia untuk beberapa waktu walaupun ia harus memutar otak untuk mencari cara agar gadis itu menurutinya. Alfi tahu gadis ini tak seburuk kelihatannya.
***
“Lo mau ke mana?” Baru Alfi akan bangkit dari duduknya ia sudah mendengar pertanyaan dari Prillia. Alfi melirik Prillia malas kemudian kembali duduk di tempat duduknya. Satu persatu murid sudah mulai meninggalkan kelas karna memang ini sudah waktunya untuk istirahat. Prillia mengerutkan dahinya karena belum mendapatkan jawaban dari Alfi. Biasanya Alfi akan menunggunya untuk merapikan bukunya dahulu kemudian ke kantin bersama, ralat! Bukan biasanya? Tapi Prillia yang membiasakan Alfi untuk melakukan itu dan dengan terpaksanya Alfi pun melakukannya, namun kini ia tampak terburu-buru.
“Lo mau ke mana?” Prillia mengulang kembali pertanyaannya.
“Gue ada rapat sama ketua ekskul, lo ke kantin sendiri aja. Kalau sempat ntar gue nyusul.”
“Rapat apaan? Gue ikut,” Alfi memutar bola matanya malas kemudian berdecak sebal. Gadis ini mulai lagi.
“Gue sama yang lain lagi menyusun agenda rutin akhir bulan buat camping khusus ekskul, lo gak ada kepentingan apa-apa, jadi lo gak usah ikut.”
“Lo lupa gue si..”
"Yes, i know you. Lo anak yang punya sekolah dan lo berhak ngelakuin apa aja. Tapi lo lupa kalau lo gak masuk ekskul apa-apa? So, ini bukan urusan lo. Buruan ke kantin sana.”
“Gue bakal ikut salah satu ekskul di sekolah ini, tapi yang pasti bukan satu ekskul sama lo karna band lo itu norak dan gak menarik. Gue ke kantin duluan, gue gak mau tau 15 menit lagi lo nyusul atau gue bakal datangi lo ke ruang rapat,” ucap Prillia memperingati kemudian berlalu dari Alfi keluar kelas.
Alfi mengacak rambutnya frustrasi. Kini giliran ia yang dikendalikan oleh gadis itu dan Alfi sangat yakin Prillia tak pernah main-main dengan ucapannya. Merasa sudah sangat terlambat, Alfi langsung bergegas menuju ruang rapat.
***
“Kali ini yang bakal pergi adalah ekskul musik yang terdiri dari paduan suara dan band, dan juga ekskul seni tari dan drama,” jelas Alfi.
“Yahhhh,” terdengar suara sorakan kecewa dari beberapa orang namun juga ada beberapa orang yang memekik girang.
“Come on guys, yang lain kan udah bulan lalu, gantian dong,” Alfi mencoba menengahi yang membuat mereka akhirnya bungkam.
“Sama seperti yang lainnya, kali ini kita ke puncak. Setelah camping kali ini selesai kita buat agenda baru dengan lokasi baru karena semuanya udah nyobain ke puncak. Dan jangan lupa setiap ekskul bawa materi mentahnya dan tampilin nanti saat camping biar bisa kita bahas sama-sama dan saling memberi masukan, paham?” Tanya Alfi. Semuanya langsung mengangguk paham.
Camping ini memang merupakan agenda rutin SMA Cendana. Setiap bulan mereka selalu mengirim 2 atau 3 ekskul secara bergantian untuk mengadakan camping. Hal ini bukan tanpa alasan, mereka melakukan ini agar mereka bisa lebih dekat dan kompak serta saling memberi masukan. Kekompakan mereka lah yang membuat SMA Cendana menjadi salah satu SMA yang sangat di takuti saat menghadapi lomba atau festival mana pun karena mereka sudah menjadi langganan mendapat piala. Agenda rutin ini juga baru berjalan selama 1 tahun terakhir semenjak Alfi menjabat sebagai CEO ekskul, Alfi sempat protes atas gelar mengada-ada yang dibuat oleh teman-temannya itu. Yang ia tahu CEO memimpin sebuah perusahaan.
“Terus berangkatnya Sabtu, minggu Al? Jum’at tanggal merah loh.” Baru Alfi akan menjawab pertanyaan dari salah satu anggotanya itu, suara pintu yang terbuka membuat Alfi mengurungkan niatnya. Semua pasang mata yang berada dalam ruangan itu menatap seseorang yang tanpa mengucapkan kata apa pun masuk ke dalam ruangan itu dan langsung mengambil posisi duduk di samping Alfi yang memang terdapat kursi kosong. Alfi menghembuskan nafasnya kasar kemudian kembali fokus pada teman-temannya.
“Kita berangkat hari jum'at aja setelah sholat jum'at. Hari minggu siang kita balik kesini lagi. Masalah transportasi biar gue dan Nino yang urus. Bisa kan No?”
“Siap,” balas Nino ketua ekskul drama.
“Kalau masih ada yang belum jelas bisa ditanyakan langsung,” ucap Alfi memberikan teman-temannya waktu untuk bertanya.
“Gue mau masuk eksul drama,” ucap Prillia membuat seisi ruangan itu menatapnya tak percaya mendengar penuturan gadis yang baru memasuki ruangan beberapa saat lalu.
“Bisa kan?” Tanya Prillia menatap Nino yang ia ketahui ketua ekskul drama itu.
“Bisa,” balas Nino cepat. Tidak mungkin ia menolak permintaan anak pemilik sekolah ini bukan?
“Ya udah rapatnya sampai di sini. Terima kasih buat waktunya, kalian bisa kembali ke kelas karena 5 menit lagi bel masuk,” ucap Alfi membuat semuanya bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan itu meninggalkan Alfi dan Prillia.
“Maksud lo apaan sih?” Tanya Alfi.
“Maksud gue? Bukannya tadi gue udah bilang kalau gue bakal ikut.”
“Big No Prill! Lo gak tahan dingin, lo pasti gak sebego itu buat lupa dinginnya puncak kan?” Tanya Alfi kesal yang malah membuat Prillia menyunggingkan senyumnya.
“Sweet banget sih Alfi Arkayuda, jadi makin sayang. Gue bakal baik-baik aja kok,” Prillia menyandarkan kepalanya di bahu Alfi.
Alfi yakin gadis itu kini sedang besar kepala. Namun sungguh, di ikat gadis ini berbulan-bulan membuat Alfi sangat tahu sifatnya. Alfi hanya tak ingin ia sakit dan akan makin menyusahkannya apalagi sampai di datangi oleh Pak Daniel, ayah dari Prillia. Alfi sangat yakin jika putrinya kenapa-kenapa, Alfi lah orang pertama yang akan ia jumpai.
“Lo dengarin gue ya, sekali gue bilang enggak ya enggak.”
“Oke, tapi lo juga gak boleh pergi.” Alfi menghembuskan nafasnya frustrasi. Ia tak akan lupa kalau gadis ini selalu punya cara untuk mengancamnya.
“Terserah lo deh,” Alfi bangkit dari duduknya dan langsung di ikuti oleh Prillia. Prillia menggenggam tangan Alfi mengikutinya menuju kelas tanpa memedulikan wajah masam Alfi.
***
“Selamat siang non, makanannya udah siap di meja makan non,” suatu mbok Iyem menyambut kedatangan Prillia yang baru saja memasuki rumahnya.
“Papi udah pergi ke Bangkok Bik?” Tanya Prillia.
“Udah Non, tadi kata tuan kalau Non udah sampai rumah Non bisa hubungi tuan karena tuan pasti udah sampai di Bangkok,” jelas mbok Iyem.
Prillia mengangguk pelan pertanda paham kemudian tersenyum kecil dan berlalu ke kamarnya untuk membersihkan diri karna badannya terasa sangat lengket kini. Walaupun ia selalu bersikap keras di depan banyak orang, namun itu tak pernah berlaku jika ia berhadapan dengan mbok Iyem, asisten rumah tangga yang sudah mengabdikan dirinya di rumah super megah itu sejak Prillia masih sangat kecil.
Setelah membersihkan dirinya Prillia menghubungi papinya. Seperti biasa yang Prillia dapati adalah pesan-pesan untuk menjaga diri karena ia tak akan pulang untuk beberapa hari karna kesibukannya. Merasa sudah cukup menghubungi papinya Prillia langsung bergegas menyantap makan siangnya.
“Ini Non, bibik udah siapin makanannya. Non hati-hati ya, salam buat nyonya,” ucap bik Iyem yang dibalas Prillia dengan anggukan. Setelah menyelesaikan makannya, Prillia langsung meraih kotak makan yang diberi bik Iyem dan segera berpamitan dengan wanita paruh baya itu untuk melalukan aktivitas rutinnya. Prillia mengemudikan mobilnya keluar dari pelantaran rumahnya.
***
“Mommy gak mau makan ya sus?” Tanya Prillia.
Seorang suster yang sedari tadi berusaha menyodorkan sesuap nasi pada wanita yang bahkan sama sekali tak memedulikan kehadirannya menoleh pada gadis yang begitu ia kenal.
“Iya Prill, seperti biasa. Tadi saya kira kamu gak bakal datang soalnya sudah lewat dari jam biasanya, makanya saya inisiatif untuk kasih mommy kamu makan dulu,” jelas suster itu.
“Tadi pulang sekolahnya rada lama sus, ya udah aku aja yang kasih Mommy makan ya. Makasih ya sus.”
“Sama-sama Prill, kalau gitu saya tinggal dulu ya,” Prillia mengangguk kecil membiarkan suster itu berlalu.
Prillia mengalihkan pandangannya menatap wanita yang sedang duduk di hadapannya dengan pandangan lurus ke depan. Pandangannya terlihat kosong tak menyiratkan apa pun membuat siapa saja yang melihatnya tak bisa mengartikan arti tatapan itu.
“Prillia datang nih Mom, saatnya Mommy datang. Seperti biasa Prillia bawain masakan dari chef ternama, chef mbok Iyem,” Prillia terkekeh kecil menyadari apa yang baru ia bicarakan dan segera membuka kotak makannya dan menyendoknya.
“Aaakkkk, buka mulutnya Mommy, pesawat datang,” ucap Prillia memancing wanita itu agar membuka mulutnya. Wanita itu hanya diam tak merespons apa-apa membuat Prillia harus menghela nafasnya. Sudah sangat sering terjadi.
“Ayo Mom buka mulutnya karna pangeran bergitar sebentar lagi akan datang,” ucap Prillia dengan kalimat andalannya membuat wanita itu menoleh padanya.
“Dia akan datang?” Tanya wanita itu. Prillia mengangguk pasti.
“Dia datang?” Tanya wanita itu lagi namun kini diiringi tawanya. Prillia mengangguk dengan mata yang mulai memanas. Suara gelak tawa wanita itu makin terdengar kencang dan kini diiringi dengan suara tepukan tangannya. Prillia dengan cepat menyeka sesuatu yang sudah jatuh mengalir begitu saja di pipinya.
“Sekarang Mommy makan ya,” Prillia menyodorkan sesendok nasi beserta lauknya yang langsung diterima wanita itu. Wanita itu mengunyah makannya sambil terus meracau tak jelas. Berulang kali Prillia harus menghela nafas menahan agar cairan itu tak lagi mengalir tanpa seizinnya membasahi pipinya.