SATU

1543 Kata
Sorak sorai memenuhi aula salah satu SMA swasta terbaik di kota Malang. Hari ini sekitar 300 siswa kelas XII di sekolah tersebut resmi di wisuda setelah melewati serangkaian proses ujian demi mencapai kelulusan. Wajah seluruh siswa dan orangtua mereka dihiasi dengan senyuman indah. Tak terkecuali salah satu siswa yang untuk kesekian kalinya mendapatkan peringkat pertama pada hasil Ujian Nasional, dia adalah Arsalaan Byantara Rianda. Si singa kecil yang kini telah tumbuh menjadi remaja tampan dan juga cerdas. "Abang...." Frisa memeluk sang anak sulung sambil menangis haru. "Kok nangis sih mah?" Ucap sang anak ketika membalas pelukan sang mama. "Makasih, makasih buat semua ini sayang, mama bangga banget sama abang, mama bahagia banget..." Frisa melepaskan pelukannya dan memberikan kecupan di kedua pipi sang anak. Aslan tersenyum, ia mengusap air mata yang membasahi wajah sang mama. "Aslan belum bisa kasih apapun buat mama sama papa..." Aslan melirik ke arah seorang pria yang berada di samping mamanya sambil tersenyum. "Baru ini yang bisa abang kasih buat mama sama papa." Aslan juga ikut menitihkan air matanya. "Duh jagoan papa nangis juga, jangan gitu ah! Udah gede juga, malu sama Lala..." Pria itu menepuk pundak Aslan sambil tersenyum. Tanpa basa - basi, Aslan langsung menubruk tubuh seorang pria yang ia panggil dengan sebutan papa itu. Ia menangis, menumpahkan seluruh rasa bahagia dan sedihnya yang telah bercampur menjadi satu. "Makasih papa Dav, makasih sudah  memberikan kasih sayang buat abang, makasih sudah selalu ada buat abang, makasih buat semuanya papa...makasih." Ya, Davian adalah sosok pria yang sudah hampir dua belas tahun ini menjadi figur seorang ayah bagi Aslan. Walaupun tak ada ikatan darah di antara keduanya, hubungan Aslan dan Davian sangat dekat. Aslan benar - benar merasakan kasih sayang yang selama ini ia damba namun tak ia dapatkan dari sang papa. "Abang sayang papa, abang cinta papa..." Davian yang sedari tadi menahan tangisanpun akhirnya ikut mengeluarkan air mata. Ia sangat terharu dengan untaian kata yang baru diucapkan oleh putera pertamanya itu. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Aslan dan membuat Aslan semakin menangis. "Papa jauh lebih sayang abang, terimakasih sudah mau jadi anak papa, kebanggaan papa." "Makasih udah mau nerima dan sayang sama papa ya bang, papa cinta banget sama abang." Davian melepaskan tubuhnya dari pelukan Aslan, ia menatap anak lelakinya yang masih sesenggukan itu lalu mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata di wajah Aslan. Setelah sekian lama, Davian kembali melihat Aslan menitihkan air matanya. Seingatnya, anak lelakinya itu menangis terakhir kali setelah menghubungi Gani sekitar sepuluh tahun yang lalu, setelah itu Davian tak pernah lagi melihat Aslan menitihkan air matanya walaupun ia tahu Aslan menyimpan banyak luka. Sementara Frisa juga tak dapat menutupi rasa haru dan bahagianya. Setidaknya setelah semua luka yang dirinya dan Aslan terima, ia bersyukur masih ada seseorang yang begitu mencintai anaknya layaknya anak kandung. "Abang....." teriakan nyaring dari balik tubuh Davian mengalihkan perhatiannya. Senyum lebar tersungging dari bibir Aslan ketika melihat adik perempuan kesayangannya berlari sambil membawa buket snack di tangannya. "Abang selamat....." ucap bocah bernama Lala itu dengn riang, ia memeluk tubuh abangnya dengan kencang. Aslan memeluk sang adik tidak kalah kencang, ia juga memberikan ciuman lembut pada pucuk kepada Lala. "Makasih ya adik kesayangannya abang, makasih udah doain abang, makasih udah sering buatin abang s**u, makasih udah sering nemenin abang belajar sampe ketiduran." Cup... Cup.. "Abang saya banget sama Lala..." ucapnya sembari melepaskan pelukan dari tubuh sang adik. "Lala lebih sayang sama abang..." Cup Anak perempuan itu menjinjit dan mencium pipi sang abang dengan cepat. "Abang....Lala buatin ini buat abang, maaf ya kalau jelek." Ucap Lala seraya menyerahkan buket snack yang membuatnya tidur larut semalam. "Ah...makasih sayangnya abang, bagus banget....." ucap Aslan tulus. Lala tersenyum lebar, "Makasih abang udah bilang bagus....berarti tutorial di Youtube enggak bohong ya, abang beneran suka." Aslan terkekeh geli lalu mengacak rambut adiknya. "Oh jadi video ini yang tadi malem bikin kamar kamu jadi rame banget?" Lala mengangguk sambil tertawa, "Maaf ya jadi berisik." Aslan menyubit pipi Lala gemas. "Duh di cubit sih bang!" Protes Lala. "Abang gemes soalnya..." Sahut Aslan sambil tertawa, membuat Lala semakin kesal dibuatnya. Sedangkan Davian dan Frisa tersenyum lebar melihat tingkah lucu kedua anaknya. "Udah yuk pulang, lanjutin berantemnya di rumah." Ajak Frisa lembut. Kedua anaknya pun menoleh dan mengiyakan. "Iya yuk mah, abang nyebelin..." Adu Lala pada sang mama. Melihat sang adik yang mengadu pada mamanya justru membuat Aslan semakin gemas. Ia kembali mencubitnya dan langsung berlari meninggalkan Lala yang tampak kesal. "Abang........" Teriak Lala kencang lalu berlari mengejar sang abang. Membuat kedua orangtua mereka kembali menggelengkan kepalanya dan berjalan mengikuti keduanya. "Makasih Sa, udah hadir dalam hidupku dan menghadirkan mereka berdua di dalam kehidupanku." Frisa tersenyum lebar, ia menarik tangan Davian dan menggenggamnya erat. "Aku yang harusnya makasih karena kamu bisa sesayang itu sama Aslan, sama kaya kamu sayang ke Lala." "Mereka sama Sa, sama - sama anakku dan aku mencintai mereka." Frisa menitihkan air matanya, "i love you Dav!" Davian tersenyum lebar, ia merangkul bahu sang istri lalu mengusap lengan Frisa pelan."Aku jauh lebih cinta kamu dan anak - anak kita Sa." *** Aslan tengah sibuk menatap layar laptopnya. Ia tengah menanti hasil seleksi ujian masuk perguruan tinggi yang ia lakukan beberapa bulan lalu. Sebenarnya Aslan telah diterima di salah satu Fakultas Hukum di Universitas yang ada di kota Malang. Namun impiannya menjadi seorang arsitektur seperti Davian membuatnya mengejar salah satu beasiswa teknik arsitektur terbaik di Jakarta. Tok..tok.. "Bang....?" Panggil Frisa setelah mengetuk pintu kamar anaknya. "Sudah tidur nak?" Tanya Frisa lagi. "Belum mah.." sahut Aslan. "Mama boleh masuk?" "Masuk aja Ma, enggak abang kunci pintunya." Ceklek... "Belum tidur bang? Lagi ngapain?" Tanya Frisa sambil mengulurkan s**u jahe untuk sang anak. Kota Malang sedang diguyur hujan malam ini, membuat udara sangat dingin. "Makasih Ma..." ucap Aslan setelah menerima gelas dari tangan Frisa. "Ini lagi nungguin pengumuman beasiswa arsitektur itu ma." Frisa menganggukan kepala lalu duduk di samping Aslan. "Pengumumannya keluar malam ini?" "Harusnya ma, tapi sampai jam segini belum keluar." Frisa menghela nafasnya, ia mengusap kepala Aslan dengan lembut. "Bang...." "Iya?" "Abang beneran mau jadi arsitek dan kuliah di Jakarta?" Aslan menengok ke arah sang mama lalu tersenyum. "Mama kenapa nanya gitu?" "Mama mau aku kaya papa Gani kuliah hukum terus jadi pengacara?" Ucap Aslan santai sambil menarik mengusap punggung tangan Frisa. "Emang mama rela?" Tanya Aslan sambil tertawa. "Kamu nih mama tanya bener - bener jawabnya gitu." Kesal Frisa. Aslan terkekeh. "Mama tahu kan itu cita - cita abang dari kecil, kenapa mama jadi meragukan abang gitu?" "Emang abang enggak bisa sekeren papa Dav ya buat jadi arsitek?" Tanya Aslan pelan. Frisa menghela nafasnya, "Bukan gitu, mama yakin mau jadi apapun kamu, abang pasti bisa selalu melakukan yang terbaik, cuma mama --" "Kenapa Ma?" "Kalau kamu diterima di Jakarta, kamu mau kan tinggal sama papa Gani lagi?" Senyum Aslan luntur, "Bukannya mama sama papa Dav bakal pindah ke Jakarta juga? Katanya papa diminta Oma Hilda buat balik ke Jakarta?" "Enggak secepat itu sayang, Lala juga baru mau kelas enam kan? Dia harus nunggu setahun lagi buat nyelesein SD nya dulu." Aslan menghembuskan nafasnya, "Abang kost aja ya?" Frisa menatapnya kecewa, jujur saja ia ingin anaknya juga bersedia kembali bertemu dengan Gani. Bagaimanapun Gani adalah papa kandung Aslan, ia tak ingin Aslan melupakan Gani walaupun dirinya sendiri masih menyimpan luka pada sang mantan. "Boleh mama tanya sama abang soal..." "Papa Gani?" Lanjut Frisa. Senyum yang sempat menghiasi wajah tampan Aslan tiba - tiba memudar. Mendengar nama papa kandungnya membuat hatinya bergejolak, rasa rindu dan kecewa bercampur menjadi satu. "Apa yang sebenernya terjadi waktu kamu telpon papa Gani?" Mata Aslan terbelalak, ia tak tahu jika mamanya mengetahui hal itu. "Mama tahu?" Frisa mengangguk, "Ya, papa Dav cerita dan sejak itu kamu minta agar tak ada lagi nama papa Gani di kehidupan kamu." "Kenapa nak? Karena mama?" Tanya Frisa pelan. Ia takut jika anaknya membatasi dirinya untuk menyayangi  Gani hanya untuk menjaga hatinya. Frisa memang pernah merasakan kekecewaan mendalam pada Gani. Bahkan pernah terbersit di kepalanya untuk benar - benar menghapus Gani dari kehidupan Aslan, namun dirinya tak setega itu. Ia tak mungkin memisahkan sepasang anak dan ayah itu. Pernah beberapa kali ia mencoba mempertemukan Aslan dengan sang ayah kandung, namun yang terjadi jauh diluar bayangannya. Aslan menolak bertemu dengan Gani tanpa alasan yang jelas. Davian memang hadir sebagai ayah dalam kehidupan Aslan. Sosok ayah yang diidam - idamkan Aslan yang memberikan cinta dan kasih sayang penuh terhadap Aslan yang notabennya bukanlah anak kandung Aslan. Namun tetap saja, tanpa sang anak beri tahu Frisa tentu saja menyadari bahwa jauh di dalam lubuk hati sang  putera, Aslan akan selalu merindukan kehadiran papa kandungnya. "Ssst....mama kok nangis? Mama kok nyalahin diri mama sendiri?" Tanya Aslan sembari mengusap wajah basah Frisa. "Mama yang salah bang, mama yang bikin kamu pisah dari papa, mama yang bikin kamu ---" Aslan menarik tubuh mamanya ke dalam pelukannya, memberikan usapan lembut di punggung Frisa yang nampak bergetar. "Ssstt, ma jangan nangis. Mama enggak salah, Abang tahu posisi mama dulu walaupun mama enggak pernah jelasin secara detail." "Abang punya alasan sendiri untuk menjauh dari kehidupan papa ma, dan itu memang yang paling baik buat kita semua." Frisa mencoba menghentikan tangisannya, namun ia masih terus memeluk tubuh sang putera dengan erat. "Papa udah bahagia ma...." "Papa udah bahagia dengan kehidupan barunya, bersama dengan anaknya." "Anak yang papa sayang dan cintai, dan itu bukan...abang..."   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN