4

2177 Kata
Siren, Siren, Siren. Apa itu Siren? Tanganku kembali sibuk membolak-balikan halaman buku. Aroma kertas lapuk yang menyeruak dari buku itu tidak mengurangi rasa penasaranku sama sekali. Aku terus mencari sampai akhirnya aku tiba pada bab dengan halaman depan yang memperlihatkan sebuah illustrasi manusia setengah ikan yang lain. Judul besar bab itu tertera jelas di bagian atasnya. SIREN Sedikit berbeda dengan mermaid, siren terlihat lebih bengis dan berbahaya. Secara fisik, siren memiliki lebih banyak "senjata" dari pada mermaid, seperti taring, cakar, pedang yang terbuat dari tulang, dan ekor yang cukup kuat untuk setidaknya mematahkan rusuk manusia. Meskipun siren terhitung makan hanya sekali dalam seminggu dengan porsi makan yang luar biasa banyak, siren termasuk dalam hewan mitologi yang dikabarkan paling rakus di lautan. Serta menduduki level teratas rantai makanan di laut, jika mereka benar terbukti eksistensinya. Selain itu, siren juga dikabarkan dapat menggunakan sihir dan suara nyanyiannya begitu memikat. Sihir? Siren termasuk makhluk yang dapat menggunakan sihir dan dapat menyanyi juga? Buku ini mengatakan jika siren seringkali menggunakan sihir untuk mengendalikan makhluk lain dengan tujuan tertentu. Yang paling umum adalah untuk menjadikan makhluk itu santapannya. Tak jarang juga siren menggunakan sihir untuk menciptakan badai petir hebat yang membuat orang yang berniat menangkap mereka, akan terombang-ambing ombak hingga mati. Selain itu, sihir juga digunakan untuk bertarung dan digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi mereka. Siren terkenal sebagai makhluk dominan yang senang merebut daerah teritorial makhluk lain, tetapi dibanding berkelompok besar, siren lebih senang melakukan invansi secara individual atau hanya kelompok kecil. Maka dari itu, sihir sangatlah dibutuhkan dan bisa jadi menjadi senjata terkuat. Selain sihir, seperti mermaid, siren juga dikabarkan dapat bernyanyi. Nyanyian ini sering kali disalah artikan sebagai nyanyian mermaid karena begitu indah. Ditulis bahwa nyanyian siren sering kali terdengar mistis karena berasal dari laut dimana tak ada wujud penyanyinya. Menarik para pelaut yang tersesat untuk melabuhkan kapalnya ke pada suara indah itu, lalu kemudian bencana terjadi. Siren dan seluruh keganasannya akan memakan habis apa yang berhasil mereka jebak dengan nyanyian indahnya. Tanganku menutup buku yang kugenggam perlahan. Sampai saat ini, tidak ada pembahasan yang baik tentang Siren. Semuanya menceritakan kerakusan dan kejahatan yang mereka lakukan. Jika mereka memang bukan makhluk baik, apa Ocean juga? Apa yang kulihat kemarin hanya tipuannya? Atau Ocean bukanlah Siren tapi Mermaid? Secara fisik memang dia tidak sesederhana mermaid dan aura magis yang kurasakan di dekatnya tidak main-main. Mengingatnya saja membuatku merinding. Kulirik setumpuk buku yang menunggu untuk dibaca juga. Aku hendak berpindah pada buku berikutnya tetapi suara nyaring smartphoneku menginterupsi. Tanganku terhenti, aku hampir saja ingin mengabaikan telepon itu tapi suaranya sangat mengganggu. Aku bangkit dan mengambil smartphone dari tasku. Hans. Nama itu tertera di layar. Namanya hanya membuatku semakin tidak ingin mengangkatnya. Hans, tunanganku. "Halo..." Pada akhirnya aku mengangkatnya juga. "Marine. Sudah pulang kuliah?" "Sudah. Ada apa?" "Bisa kita keluar untuk makan siang?" Aku menggulirkan mataku muak, "Hmm... Ini sudah terlalu sore untuk makan siang. Lagi pula, aku sedang belajar, Hans." "Begitu? Kalau aku ke rumahmu untuk masak dan kita makan, bagaimana?" "Hans, aku sedang tidak mau diganggu..." "Aku mengganggu?" "Ya, dan kau sangat kelihatan memaksa. Ada apa? Kau bukan tipe yang senang berkorban untuk orang lain, terutama yang tidak punya keuntungan untukmu. Kamu mau apa?" "Pft. Tidak kusangka kamu sebegitu memperhatikan aku. Yap, benar. Kudengar kamu pindah ke rumah dekat pantai. Apa viewnya bagus? Mungkin aku bisa menjadikan rumah itu sebagai-" Tut. Aku mematikan panggilannya. Segera setelah itu kumatikan smartphoneku. Sudah kuduga, dia memang selalu meilhat sesuatu dari manfaatnya. Aku tidak mau mengundang Hans ke sini. Perasaanku buruk jika Hans menemukan Ocean. Pria itu mungkin saja akan nekad membunuh Ocean demi uang. Buku berikutnya kuambil. Aku siap untuk memakan informasi dari buku itu sebelum suara berikutnya menginterupsi. Bukan, bukan smartphoneku lagi. Kali ini suaranya lebih menyakitkan telinga. Suara ikan paus. Ocean datang. Aku mengintip dari balik jendela dan benar, suaranya semakin jelas. Kulihat ekor besar berwara biru keperakan muncul dan tenggelam lagi di permukaan air. Kubuka jendela dan sedikit berteriak ke arah karang. "Ocean!" Desau ombak menjawabku. Ekor besar yang sempat terlihat mondar-mandir dari sela karang itu justru menghilang. Aku sempat murung, kupikir Ocean pergi. Namun pikiranku salah. Sebuah kepala mengintip dari balik karang. Rambut biru yang basah, juga mata kuning bercahaya itu menatapku. Ocean, itu Ocean. Dia mengintipku. "Kamu datang! Tunggu ya aku bawakan makanan!" Segera aku bergegas turun. Pintu kulkas kubuka lebar, melihat apa yang bisa kuberikan untuknya. Roti lagi? Hmm, apa sekalian tamagoyaki tadi pagi yang sengaja kusimpan untuk makan malam? Bolehlah, sekalian. Kuambil dua lembar roti gandum itu dan dua potong tamagoyaki. Segera setelah itu aku bergegas keluar. Tanpa terpikir untuk pakai alas kaki, kulangkahkan kaki telanjangku pada pasir panas khas pantai. Panas ini hanya sesaat, aku akan mencelupkan kakiku pada laut. Tetapi yang paling membuatku bersemangat memang bertemu dengan Ocean. Sampai di dermaga, kulihat Ocean sudah menyamankan diri di atas karang, bermandikan sinar matahari. Ini pertama kalinya aku melihat Ocean di bawah sinar matahari terik. Kini aku bisa dengan jelas melihat Ocean. Aku takjub. Ocean tinggi sekali. Panjangnya sekitar 3 meter sampai ke ujung ekor, pantas semalam aku merasa dia seperti Hiu. Rambutnya pendek khas laki-laki, juga wajahny tampan dan badannya pun kekar. Terdapat selaput tipis yang menyambung sela-sela jarinya yang bercakar tajam. Insang besar membentang di tulang selangkanya, juga telinga yang bersirip. Rumbai seperti renda tipis di ujung ekornya. Pigmen kulit kebiruan, senada dengan warna ekornya yang ditutupi sisik perak. Di bawah matahari ini, dia terlihat hijau berkilauan. Takut? Tidak sama sekali, meskipun dia monster. "Cantiknya..." pujiku, terpukau. Ocean diam memandangku dari atas. Wajahnya tanpa ekspresi. "Ah, ini... Hari ini ada roti dan telur..." Aku menyodorkannya ke atas. Di situ baru kumelihat untuk pertama kalinya otot kening Ocean tertarik ke atas sehingga matanya sedikit terbelalak. Sedetik kemudian, dia melompat ke air secepat kilat. Aku terkejut. Air terciprat kemana-mana dan membasahi baju dan rambutku. Untung saja makanan ini ku plastiki. Apa dia tidak mau makanannya dan pergi begitu saja karena tidak tertarik? Kejamnya. Tetapi apa yang bisa kuharapkan dari makhluk yang tidak belajar sopan santun seperti Ocean? Aku menghela nafas panjang. Kuberpikir semalam mungkin dia mengira aku terlihat menarik saat malam karena cahayanya hanya remang dari sinar bulan. Begitu dia melihatku secara jelas di bawah sinar matahari, dia kecewa. Kakiku melangkah gontai. Baru saja aku ingin kembali ke rumah untuk mengganti baju. Tetapi sebelum aku berbalik, Ocean mencipratiku dengan air supaya aku memperhatikannya. Kulihat disana, Ocean belum pergi. Dia mengapung di dekat dermaga dan menungguku mendekatinya. Dia terlihat manis. Aku sampai tersipu gemas melihatnya. Aku pun menurutinya dengan mendekat dan duduk di pinggir dermaga. Lalu dengan cepat juga Ocean berenang ke dekat kakiku yang tercelup air laut. "Mau makan?" tanyaku iseng. Aku tersenyum pada wajah tanpa ekspresi Ocean sambil membuka plastik makanan. "Ini namanya telur. Dari telur ayam. Aku tidak tahu jika kamu makan telur hewan laut juga atau tidak. Tapi telur ikan salmon, uni, dan caviar, rasanya enak, sih..." Aku membayangkan jika Ocean juga makan telur-telur ikan itu. Bahagia sekali bisa makan semua itu sesuka hati dan sebanyak-banyaknya. Aku hanya bisa makan semua itu di restoran mahal, itu pun jika dompetku mengizinkan. Ocean tidak bereaksi mendengar ucapanku. Apa dia benar-benar tidak mengerti? Atau mengerti tapi tidak tertarik dengan ucapanku? Aku penasaran. Kuambil sepotong tamagoyaki itu dan kusodorkan padanya. Hidungnya mengendus. Wajahnya tampak bingung dan ragu. Meski begitu, perlahan dia menggigit tamagoyaki itu dan menariknya ke dalam mulut. Satu kuyahan, dua kuyahan. Kupikir dia menyukainya. Tetapi hal berikutnya yang dia lakukan membuatku panik. "Khaaakkhh--" Ocean memuntahkannya. Aku buru-buru menarik kakiku dari air sebelum muntahannya mengenai kakiku. "Hiii joroook! Jangan dimuntahkan sembarangaaan!" seruku panik. Yah, air lautku jadi tercemar. "Gggh, khaakh! Khaakh!" Ocean memuntahkan semuanya sampai tidak ada yang tersisa di mulutnya. Aku jadi merasa bersalah. Aku baru saja ingin memberikan roti sebagai permintaan maaf, tetapi Ocean tampaknya malah berpikir aku berniat jahat padanya dengan memberikannya tamagoyaki. Kulihat di sana, Ocean sama seperti semalam. Matanya memicing, melihatku seperti musuh. Taringnya dipamerkan dan ujung-ujung pedang tulangnya muncul melewati permukaan air. "Tunggu, aku tidak bermaksud meracuni kamu, Ocean!" bantahku panik. Namun nada tinggi suaraku justru membuatnya semakin waspada. Bagaimana caranya membuat dia mengerti kalau aku ini temannya? Tunggu, di sisi lain semua informasi yang k****a juga membuatku takut jika Ocean adalah Siren. Mungkin justru dia yang berniat jahat padaku. Kakiku seketika tertahan, kami saling melempar tatapan curiga satu sama lain. Tapi, tidak, mau sampai kapan sekat antara manusia dan makhluk mitologi akan terus berdiri? "Ocean..." Aku memberanikan diri untuk melangkah maju lagi. Tidak peduli dengan Ocean yang semakin waspada semakin aku mendekat. Aku mendekat sampai di pinggir dermaga dan duduk. Tidak peduli dengan air laut yang tercampur muntahan Ocean, aku mencelupkan kakiku kembali. Kuambil selembar roti itu dan menyodorkannya pada Ocean. Tanpa mengucapkan apapun, tanpa berekspresi apapun. Meski awalnya Ocean masih terlihat kesal, beberapa detik kemudian dia sepertinya tahu jika roti ini adalah makanan yang sama dengan yang dia makan kemarin. Dia pun mendekat. Dia mengendus roti itu dan berenang lebih dekat lagi. "Kalau kamu jahat, seharusnya sejak kemarin kamu dapat menyerangku, bukan...?" Ocean tertarik, selagi mulutnya penuh dengan roti. Dia memalingkan mata tajamnya padaku. "Apa yang membuatmu menahan diri dari menyerangku? Sejak aku menyelam kemarin, seharusnya kamu sudah bisa membunuhku dengan mudah. Aku bingung..." Ocean mendekat hingga pada jarak dimana tanganku bisa membelai rambut basahnya. Keras, tetapi licin. "Apakah kamu Mermaid...? Ataukah Siren...?" Aku melihat. Meski hanya kurang dari sedetik sebelum Ocean menarikku jatuh ke dalam air, mata beriris emas milik Ocean terbelalak dan menatapku nanar. Namun sebelum aku sadar betul akan hal itu, dia mencengkeram erat tanganku dan menyeretku ke dalam air. Pandanganku berubah cepat sekali, dari nyatanya dunia di atas yang dipenuhi oksigen, menjadi buram dan sesaknya berada di bawah air. Ocean berenang cepat sekali, sangat cepat sampai dasar laut ini. Beberapa meter ke bawah dari tempatku berdiri tadi, untung aku terbiasa dan bisa langsung menyesuaikan diri. Tetapi tetap saja. Untuk apa Ocean membawaku? Dadaku sesak meski aku bisa menahannya. Kami berhenti begitu terumbu karang menyapu telapak kakiku dan aku cukup bersyukur dia tidak menyeretku pada celah karang yang menuju dasar yang lebih dalam lagi. Tangannya menahan kedua bahuku. Aku melihat buram sosoknya yang berenang stabil. Matanya bercahaya, kontras dengan warna biru sekitarnya. Lalu dia... tersenyum. Kedua sisi wajahnya tertarik mengukir senyuman lebar. Meski buram, aku sadar jika bentukan-bentukan tajam di balik bibirnya itu adalah taring-taringnya. "Menurutmu aku ini apa?" Aku tersentak kaget mendengar suara orang lain di dalam laut ini. Suara laki-laki yang terdengar jelas, dekat, dan entah mengapa... familiar. Aku seperti pernah mendengarnya entah dimana. Kumenoleh ke kanan dan kiri secara cepat tetapi tidak ada siapa pun selain kami disini. Mungkinkah tadi itu suara Ocean? Dia bisa bicara bahasaku? Apa dia selama ini juga mengerti ucapanku dan memilih untuk diam? "Apa kau juga akan memburu kami, Marine?" Dia tahu namaku! "Kau pikir bangsamu sudah menguasai bumi ini? Lihat betapa lemahnya kau di bawah air." Bruff! Gelembung oksigen besar keluar dari mulutku karena panik. Seketika aku kehabisan nafas. Aku meronta keluar dari cengkramannya tetapi dia seperti semakin memunjukan kekuatannya di bawah air. Aku kalah telak. Ocean! Aku memanggil dalam hati. Tangannya mencekik leherku. Kuku tajam itu mulai menancap di kulit. Aku bisa melihat darahku mengotori biru air sekitar. "Kenapa... Kenapa harus kalian yang diberi kuasa atas semua makhluk hidup. Kalian manusia serakah dan pembunuh. Beraninya kalian ingin membunuh kami!" Ocean bicara tanpa bibir yang bergerak. Kini kusadari jika senyuman ternyata tidak hanya berarti kebahagiaan. Ocean terlihat marah padaku tetapi dia tetap tersenyum selebar itu. Aku ketakutan setengah mati melihatnya. Air mataku keluar, langsung bersatu dengan air laut. Aku meringis, aku tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Tetapi satu yang kumengerti adalah, dia sangat marah. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud meracunimu. Aku sangat tertarik padamu dan tidak punya niat melukaimu. Pintaku. Bisakah makhluk seperti mereka bertelepati? Namun seperti dia bicara padaku tanpa menggerakan bibir, aku pun mencoba yang sama. Tanganku meraih tangannya yang mencekikku dan menggenggamnya lembut. Tidak peduli seberapa sakit dan dalamnya luka yang dia buat. Aku hanya ingin berteman. Kataku sekali lagi. Aku di ambang batas kesadaranku. Aku tidak tahu apa yang Ocean lihat. Paru-paruku sudah tidak sanggup menahan tekanan ini. Kegelapan segera memenuhiku seiring aku pingsan. *** "Ah..." Aku terbangun saat merasa suara ombak sudah sangat menyebalkan di telingaku. Langit malam berbintang menjadi hal pertama yang kulihat. Aku segera bangkit. "Ini... Dermaga?" Aku melihat sekitar dan menyadari posisiku berada. Kepalaku terasa sakit sekali. Aku hanya ingin mengulang ingatanku tentang apa yang terjadi tapi aku tidak bisa ingat apa pun. Kenapa aku bisa ada di sini? Seingatku tadi aku sedang membaca buku di kamar. Tanganku dengan reflek menyentuh leherku yang terasa pedih. Leher, ya. Sebagian syarafku mengatakan jika sesuatu terjadi pada leherku. Aku memeriksanya. Tetapi aku tidak menemukan apapun. Leherku baik-baik saja tanpa luka. Aneh, tapi terasa tidak aneh juga. Aku tidak ingat jika leherku terluka, dan leherku memang tidak teruka. Terapi kenapa rasanya justru aneh? Tanganku turun dan tidak sengaja menyentuh sebuah piring berisi sepotong tamagoyaki. Ini semakin aneh. Kenapa aku bisa tiba-tiba ada di dermaga dengan sepiring makanan? Apa aku baru saja memberi makan Ocean? Tapi aku merasa tidak bertemu dengannya hari ini. Aku tidak ingat apapun. *** Siren dibaca: Sairin / Saireun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN