5

1694 Kata
Aliran listrik kecil menyetrum salah satu syaraf Zale. Zale, pemimpin para Siren yang sekaligus ayah dari Genevieve mengerenyit setelah mengetahui arti dari setruman itu. Diambilnya trisula pemerintahannya dan Raja Siren itu bangkit dari kursi takhtanya. Para siren di sekelilingnya menoleh, ingin tahu jika raja mereka memerlukan sesuatu. Mata mereka bersinar di gelapnya sarang siren, di mana sinar matahari tidak sampai. Memperhatikan raja mereka yang sudah tegap hampir 7 meter panjangnya. "Moray." Suara rendah dengan nada khas bijaksana yang kental terdengar dari Zale. Moray tersentak ketika sedang membersihkan kukunya dari sisa daging buruannya hari ini. Yang dipanggil itu sempat tegang, takut walaupun belum tahu ada apa gerangan. Dengan pucat dia pun berenang mendekat pada raja nya dan berhenti tepat di bawah takhta itu. "Ya, Raja?" "Apa kau tahu apa yang terjadi pada Genevieve?" Pertanyaan itu kembali membuat Moray menegang dan lega sekaligus. Setidaknya sang raja tidak punya masalah dengannya. Namun di sisi lain, soal Genevieve, akhir-akhir ini siren merah itu jarang menemui teman sejak kecilnya itu. "Insting memberitahuku jika Gene menggunakan sihir yang cukup besar untuk sesuatu. Apa kau tahu sesuatu tentang itu?" lanjut Zale. "Maaf, Raja. Genevieve dan saya sudah beberapa hari tidak bertemu jadi saya kurang tahu apa yang terjadi. Namun, satu yang saya ingat, Genevieve pernah bicara soal bertemu dengan manusia yang tinggal dekat karang sana." "Manusia? Apa Gen menghampirinya?" Layaknya seorang ayah, Zale terlihat khawatir mendengar kabar anaknya. "Genevieve bilang pernah bertemu, saya tidak tahu apa yang terjadi setelah itu" jawab Moray menggantung. Zale terdiam, tidak bisa memaksa Moray mengetahui segalanya saat ini. Berbagai hal mulai berlalu lalang di dalam pikiran Zale. Manusia. Mengapa Genevieve mengeluarkan begitu banyak kekuatan sihir padahal Pangeran Siren itu bisa dengan mudahnya membunuh satu manusia dengan cakar atau taringnya? Selain itu, meskipun membunuh satu manusia bukanlah hal yang sulit, tetapi tetap, siren tidak diizinkan seenaknya membunuh manusia yang tidak diizinkan oleh "Sang Penguasa Langit" kecuali dalam keadaan tertentu. Ada apa sebetulnya? Apa Genevieve dalam bahaya? "Moray, hampiri anakku itu dan tanyakan semuanya padanya." tutup Zale, seraya kembali bersandar pada kursi takhtanya. "Baik" *** "Gen!" Ekor merah indah itu mengayun, mendorong si empunya agar berenang mendekat pada siren biru yang menatap permukaan laut dari bawah. Moray menghampiri Genevieve yang sudah beberapa hari ini seperti mengasingkan diri dari para Siren. Genevive menoleh, manik bagai serigala itu menatap tajam Moray yang mendekat. Entah mengapa seperti ada ambisi terpancar dari sana. "Aku mencarimu kemana-mana. Ternyata disin-...Huh? Kenapa kau?" tanya Moray begitu sadar tatapan si pengeran siren itu. Moray membalasnya curiga. "Moray." Alih-alih menjawab Genevieve justru hanya memanggil nama temannya. Senyum terukir di sana memperlihatkan deretan taring milik Genevieve. "Apa mungkin manusia bisa berubah menjadi siren?" Moray terbelalak, "Haaah? Genevieve, kau ini kenapa? Apa kepalamu terbentur? Atau kau menantang langit sehingga langit menyambar kepalamu dengan petir?" balas Moray panik. Tangannya yang bersisik merah itu menggerayangi kepala Genevieve dan membolak-balikannya. Mencari apa ada bekas luka atau tidak. Namun yang punya kepala hanya diam saja, pasrah kepalanya dipermainkan Moray. "Tidak, aku hanya habis makan makanan manusia." balasnya acuh. "Itu lebih gila lagi! Seharusnya kau memakan manusia, bukan makanannya manusia! Apa-apaan kau? Kau seperti memakan makanan untuk hewan peliharaan!" cerca Moray. "Hahaha tunggu, kenapa begitu panik?" balas Genevieve santai, tangannya mulai menepis cakar Moray. Raut getir terukir di wajah Moray. Ia semakin khawatir pada temannya itu. "Ayahmu mengawatirkanmu. Dia memintaku bertanya padamu apa yang terjadi." "Ayah tahu?" "Tentu saja. Dia bertanya padaku soalmu dan apa-apaan ucapanmu tadi? Manusia berubah jadi siren? Kau makan makanan manusia? Ada apa sebenarnya?" Genevieve menghela nafas. Surainya yang sewarna dengan samudera itu melambai seiring siren itu berenang melewati Moray. "Manusia itu... Namanya Marine. Dia cukup menarik" ucapnya. "Marine? Kau tahu namanya?" Moray berbalik pada Genevieve. "Aku menggunakan sihir untuk melihat hatinya. Dia sangat polos dan berbeda dengan orang-orang yang ingin menangkap kita. Dia menyentuhku tapi tidak dengan kasar. Aku justru merasa nyaman dalam tangannya. Bahkan ketika aku hampir membunuhnya, tidak ada satupun niat jahat muncul. Tidak dendam, tidak niat membunuh..." Genevieve melebarkan telapaknya yang berkuku tajam itu. Sihir gelap seperti asap hitam keluar dari sana membentuk bola. "Dia langka, Moray. Tidak seperti manusia yang pernah kita bunuh." mata ambisi itu terlihat lagi, kini terlihat sedikit mengerikan ditambah senyum bertaring miliknya. "Maksudmu? Apa yang akan kau lakukan?" Moray semakin khawatir. "Aku hanya khawatir karena dia sudah mulai mempelajari tentang kita. Dia bahkan tahu bahwa kita ini adalah siren. Aku ingin membawanya ke dalam laut dan menjadikannya siren seperti kita. Sebelum dia mengerti siapa kita dan malah berniat jahat." Asap hitam dari tangannya semakin besar dan mencemari laut sekitar Genevieve. Semakin kuat sihir itu, Moray terpaksa harus waspada pada temannya. "Apa? Gen-" "Kalau tidak cepat, seseorang akan menangkapnya lebih dulu" "Genevieve!" "Aku akan membawanya. Sekali lagi dia masuk ke dalam laut, aku akan membawanya! Aku akan merubahnya menjadi siren... Ah, dia akan menjadi siren yang sangat cantik!" racau Genevieve terobsesi. Tekanan sihirnya semakin kuat saat dia semakin membicarakan Marine. Moray pun muak. "GENEVIEVE!!" Genevieve berhenti, lalu menatap temannya yang mulai dilingkupi sihir karena terlalu marah. "Kau ingin bertarung denganku, Mora-" "KAU GILA?! Merubah manusia menjadi siren itu melanggar peraturan! Kalau kau melakukannya dia mungkin tidak akan bertahan dan siren lain mungkin akan menilaimu negatif! Siapa yang akan menggantikan ayahmu nanti?! Apa yang sudah kau lakukan padanya? Bukankah kalau ada hal buruk, kau bilang akan memakannya saja? Ayahmu curiga karena kau memakai sihir yang cukup besar!" omel Moray kesal. Namun Genevieve justru terkekeh. "Aku menghapus ingatannya. Seperti yang kubilang tadi, aku hampir membunuhnya. Aku tidak ingin membuatnya takut padaku jadi aku menghapusnya. Supaya dia tetap datang dan mencariku." jawab Genevieve santai, mata ambisius nya itu kini sayu sering dia tertawa-tawa kecil. "Gen, kau sudah gila." "Aku tidak akan meninggalkan satu hal untuk hal yang lain. Lagi pula satu manusia ditarik tidak akan mengacaukan keseimbangan, 'kan? Jika memang Marine tidak bisa dibawa, aku tinggal memberikannya sebagai makanan bagi para selkies." "Genevieve, kau-" "Oh iya, gadis itu juga memberikanku nama yang lain. Hahaha lucunya." "Huh?! Apa? " "Dia memanggilku 'Ocean' " *** "Marine. Marine!" "...." "Hey...? Marine!" Sebuah tangan mengguncang tanganku yang kaku tertekuk. Membuyarkan semua pikiran dan lamunanku. Tersadar, wajah khawatir Hans menyambutku dari seberang wajahku. "Ah, ya?" jawabku gugup. "Ada masalah?" Hans kembali menyenderkan punggungnya ke kursi sembari aku mulai mengumpulkan fokusku. Aku heran dengan diriku sendiri. Bisa begitu dalam melamun hingga bisingnya suara restoran ini tidak sampai ke dalam duniaku. Aku bahkan tidak sadar lobster pesananku sudah datang. "Hmm... Tidak, aku hanya sedang bingung untuk satu dan dua hal." jawabku sambil memijit pelan pelipisku. "Apa itu?" "Bukan urusanmu, Hans." aku menghindarinya. "Marine" Hans justru tegas memanggilku. "I'm trying to love you, okay? I understand if you against this engagement, but I try. Can you do it too?" pintanya dengan ekspresi khawatir yang memaksa. Tidak Hans, kamu itu ingin uangnya ayahku. "Gak, Hans... Lepas. A-aku sudah kenyang. Aku mau pulang saja sekarang." Aku menarik tanganku dari genggamannya dan beranjak. Seketika itu juga Hans beranjak dari kursinya tetapi tidak berusaha menahanku. "Marine, tunggu! Kamu bahkan tidak menyentuh makanannya!" serunya dari tempatnya. "I'm sorry, Hans... Aku pulang sendiri saja. Maaf." Aku pun beranjak dan meninggalkannya sendiri. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa tidak enak. Kutoleh ke belakang sebelum aku benar-benar meninggalkan restoran dan aku melihat Hans mulai memakan makanannya sendirian. Itu tak penting lagi. Segera kupanggil taksi terdekat dan melaju pulang. Laut, laut, laut. Sesuatu menggebu di dadaku. Kenapa sedari tadi aku ingin sekali pulang hanya untuk melihat laut? Aku bahkan bisa melamun berjam-jam hanya karena memikirkan laut dekat rumahku itu. Jiwaku seperti ditarik. Suatu suara seperti terus memanggil meski hanya ada suara ombak disana. Aku ingin kembali pada dermaga itu. Hal ini dimulai sejak dua hari lalu aku terbangun di dermaga tanpa ingat apa-apa. Ocean pun tidak datang setelah itu. Tetapi perasaanku berkata jika memang ada sesuatu yang terjadi. Pasti ada sesuatu yang tertinggal meski aku tidak bisa mengingatnya. Ada apa sebetulnya? Kakiku melangkah masuk rumah begitu turun dari taksi. Langit sudah menggelap lagi tetapi tidak mematahkan keinginanku kembali duduk di dermaga. Meski dua hari ini aku tidak menemukan kepingan memori apapun, aku tetap beharap ada suatu petunjuk yang bisa mengisi kekosongan dalam ingatanku. Dengan cepat aku menaruh tasku dan mulai mengganti rokku menjadi hot pants. Terburu-buru aku membuka blazerku dan digantikan dengan kaos longgar yang nyaman. Bukan untuk bersantai, aku ingin berenang. Namun ketika sudah di depan pintu, aku terhenti. Tepat sebelum tanganku memutar kenop pintu untuk menuju dermaga itu, suatu suara nyanyian menginterupsi. Nyanyian...? "Rise and fall, silver moon tide erased my footprints. Then I picked up broken scales, stuck them to my tail..." Suara laki-laki. Suara laki-laki yang tidak aku kenal. Aku tidak hanya sadar kalau suaranya luar biasa bagus dan ini cukup merdu, tetapi entah mengapa nyanyian ini juga terasa seperti memanggil. Seperti terhipnotis, tanganku dengan sendirinya membuka kenop pintu. Dengan kesadaran yang tidak penuh, aku melangkah mengikuti suara nyanyian itu. "Ah, If love truly makes you blind... Then I guess there is no need to see... I'll trade my eyes so you can see for me..." Suara itu terus terdengar mengalahkan ributnya suara angin laut malam itu dan desau ombak. Terdengar lebih jernih daripada mendengarkan menggunakan headphone. Hanya saja suara lirih itu semakin aku mendekat ke dermaga, semakin terdengar besar. "Stay with me, you will never be sad. I will embrace, embrace your bubbles, your fluids and keep you warm. Then I will squeeze out, squeeze out your germs, your spore, your viruses..." "I will embrace, embrace your membranes, your bones and keep you cool. Then I will squeeze out, squeeze out your evil, your grim and your woe..." Kakiku berhenti ketika menemukan Ocean yang sedang bernyanyi dari balik karang. Mata kami yang membulat melihat sosok satu sama lain bertemu. Ocean menghentikan nyanyiannya dan tiba-tiba suara angin dan ombak kembali terdengar. Ocean menatapku dalam. Bibirnya kini terkatup. Sungguh, dia bisa bernyanyi? Kupikir suaranya hanya sebatas tangis ikan paus. Aku ingin mendekat, tetapi kakiku tertahan. Leherku tiba-tiba meneriakan nyeri yang tidak ada lukanya. Tanganku menyentuh leher dan memeriksa apa ada sesuatu di sana, tetapi aku tidak menemukan apa pun. Ada apa ini? *** Song: Mili - Bathtub Mermaid.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN