Bab 03

1229 Kata
Hari pertama untukku tinggal di mansion Tuan Oh berjalan baik. Tidak ada kegiatan yang berarti sampai hari menjelang siang, Minseok datang dengan membawa kabar. Besok, tepatnya pukul sepuluh aku akan mulai menjalani pemeriksaan sebelum menjalani prosedur kehamilan. Minseok bilang aku akan dibawa ke Dokter khusus yang sudah jadi kepercayaan Tuan Oh, jadi aku tidak perlu khawatir jika akan ada yang membocorkan rahasia ini. Aku mengangguk saja, toh takkan ada yang peduli. Ah, mungkin untukku begitu, tapi tidak untuk Tuan Oh. Dirinya adalah orang dengan pengaruh besar di dunia bisnis, dan sudah tentu jika ada yang membocorkan hal ini, akan berpengaruh dengan karirnya. "Minseok-ssi," Minseok yang semula tengah mengecek jadwal Tuan Oh menoleh dengan wajah bertanya. Astaga kenapa wajahnya bisa seimut itu? Ah, Hana! sadarkan dirimu. "Apa aku boleh meminjam telepon mansion? Aku ingin menghubungi seseorang," tanyaku pelan. Sebenarnya bukan ini yang ingin kutanyakan. Aku ingin bertanya soal siapa istri Tuan Oh dan apa alasan sesungguhnya pria itu menginginkan Surrogate Mother disaat ia bisa saja mendapatkan anak dari Istri sahnya. Tapi setelah ku pikir sepertinya terlalu awal untukku bertanya, lagipula aku takut Minseok akan bereaksi sama seperti Tuan Oh sebelumnya. Dan jika di kulik semakin dalam, tentu saja itu bukan urusanku. Iya, kan? Meski sebenarnya aku begitu penasaran. Tapi biarlah, aku harus lebih menahan diriku untuk tidak ikut campur terlalu dalam. Tugasku hanya untuk melahirkan seorang anak bagi Tuan Oh, bukan untuk hal lainnya. "Boleh. Kau mau menghubungi siapa?" tanya-nya dengan alis menukik. Apa ia mencurigai ku? "Temanku. Aku hanya khawatir jika menelepon menggunakan ponsel akan bisa terlacak lokasi keberadaan ku sekarang ini," aku mengatakannya dengan nada sesantai mungkin. Berusaha untuk terlihat natural. Ku mohon Minseok, percayalah. Jantungku serasa akan lepas saat Minseok mengangguk begitu saja, ia terlihat tidak terlalu peduli. Syukurlah. Aku melesat ke arah ruang tamu, menekan beberapa digit nomor kemudian menempelkan gagang telepon ke telinga. Terdengar nada sambung beberapa kali sebelum sapaan yang terdengar saat panggilan terjawab. "Halo," aku tersenyum kecil kemudian memberi sapaan balik. "Hana?" tanya-nya tidak yakin. Ah, dia bahkan bisa mengenali suaraku. "Eung. Apa kabar?" kutahan sekuat tenaga isak tangis yang mendadak ingin menyeruak begitu saja saat mendengar suaranya. Entah untuk alasan apa berbicara dengan Jieun -sahabatku- terasa begitu menyesakkan. Tentu dalam artian yang baik. Aku merindukannya. Ia satu-satunya orang yang mau peduli padaku, mau menerimaku dengan tangan terbuka tanpa pernah sekalipun mengatakan hal buruk tentangku. Jieun juga satu-satunya orang yang bisa ku percaya untuk membagi semua keluh kesah yang ku punya soal hidup maupun perlakuan tidak adil yang selalu ku terima dari keluarga ku sendiri. Meski aku sendiri tahu jika hidup gadis itu tidak ada bedanya denganku. Ia juga bukan berasal dari keluarga berada, namun yang membuat kami berbeda adalah ia yang mendapat kasih sayang juga perlakuan keluarganya yang begitu baik. Keluarga Jieun juga memperlakukan ku dengan begitu baik. Ia sangat beruntung. Mungkin hal itu juga yang membuat kami bisa menjadi dekat. Karena kehidupan yang mirip juga nasib yang bisa dibilang cukup sama, itu akan membuatmu bertemu dengan orang-orang yang juga merasakan apa yang kau rasa. Itu hanya dugaan ku saja, jangan terlalu diambil pusing. "He,i bodoh! Kau ada dimana, kenapa saat aku mendatangi rumahmu kau tidak ada? Dan ponselmu juga, kenapa aku tidak bisa menelepon mu. Kan, sudah ku bilang ponselmu itu rusak. Sudah saatnya kau membuang benda itu!" ujarnya dengan suara lantang. Seperti biasanya, Jieun selalu berterus terang soal apapun yang menyangkut diriku. Tapi tentu saja ia memiliki tujuan yang baik. Tapi tepat setelah itu aku bisa mendengar isak kecil yang berasal dari gadis bodoh itu. Dan ku rasa aku tahu apa yang membuatnya menangis. "Mereka, tidak peduli, ya?" tanyaku dengan suara lirih. Omong-omong, Jieun memang sudah tahu soal aku yang mengambil pekerjaan sebagai Ibu pengganti. Hanya saja ia tidak tahu lokasi keberadaan ku saat ini, aku memang sengaja tidak memberitahunya. Hal ini juga atas permintaan Minseok dan Tuan Oh. Dan akan lebih baik begitu saja. Aku tidak ingin melibatkan nya dalam hal ini, ia sudah banyak mendapatkan kesulitan dari orang-orang karena mau berteman denganku. Aku tidak ingin dirinya mendapatkan hal yang lebih dari itu. Tidak akan. "Dasar bodoh, kau tidak perlu memikirkan mereka yang tidak peduli padamu. Kau harusnya menanyakan ku," ucapnya di sela isak tangis. Meski dengan air mata yang juga turut menggenang di pelupuk, aku tersenyum. Benar, hanya Jieun yang peduli padaku. Hanya dirinya satu-satunya. "Maafkan aku. Aku belum bisa memberitahu mu dimana keberadaan ku sekarang ini," ucapku penuh sesal. "Tidak masalah. Selama aku tahu kau sehat dan baik-baik saja itu sudah cukup," tanggapan yang diberikan Jieun membuatku menghela napas lega. Syukurlah ia mau mengerti. Setelahnya kami bercakap-cakap mengenai kabar masing-masing. Tidak lama, karena beberapa saat kemudian Minseok datang dan mengatakan jika aku harus segera ikut bersama dengannya ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. *** Perjalanan terasa begitu hening. Hanya terdengar suara deru mesin juga angin yang mengenai wajahku yang memang sedang menghadap jendela. Hanya ada aku dan Minseok di sini. Pria itu mengatakan jika Tuan Oh tengah mengurus pembukaan bisnis barunya di pusat kota Seoul. Aku hanya mengangguk. Ada atau tidaknya Tuan Oh juga tidak berpengaruh besar buatku. Tugasku hanya menjadi Ibu pengganti dan memberikan seorang anak untuk pria itu. Dan setelahnya aku akan bebas dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalan. Kami tiba di suatu rumah sakit tidak lama setelahnya. Aku seperti seorang anak yang selalu mengikuti kemanapun sang Ayah pergi, dan tidak ada percakapan apapun diantara aku dan Minseok saat itu. Pria itu sejak tadi sibuk sendiri dengan ponselnya, entah apa yang sedang ia kerjakan. Aku tidak tahu. Sebuah keberuntungan atau fasilitas, aku sendiri tidak yakin. Kami tidak perlu mengantre seperti kebanyakan orang yang sudah datang lebih dulu, untuk masuk ke ruangan Dokter spesialis kandungan. Aku dan Minseok bahkan bisa langsung masuk dan mendapatkan sambutan hangat meski aku sendiri mendengar bisikan-bisikan dari beberapa pasien lainnya. Seorang Dokter wanita berdiri menyambut kedatangan kami. Wanita dengan rambut lurus sebahu itu tersenyum manis padaku yang hanya bisa membalasnya dengan senyum canggung. Jujur saja berada di rumah sakit membuatku merasa kurang nyaman. Setelah Minseok menjelaskan sedikit soal siapa aku dan apa tujuan kami datang kemari, aku diminta untuk berbaring di ranjang pemeriksaan. Bukan pemeriksaan yang berat, hanya pemeriksaan dasar guna mengetahui kesiapan ku untuk mengandung janin nantinya. Aku juga diwawancarai beberapa hal yang terkadang aku sendiri bingung harus menjawab seperti apa. Ada beberapa pertanyaan yang menurutku cukup sensitif untuk ku jawab, apalagi adanya Minseok yang duduk di samping ku. Hal itu membuatku cukup ragu untuk menjawab pertanyaan Dokter dengan tegas. Tapi pada akhirnya aku menjawabnya dengan apa yang ku tahu. Iya, sebisaku. *** Perjalanan pulang terasa lebih ramai dari sebelumnya. Terima kasih pada Minseok yang saat ini tengah bersenandung lirih sembari mengemudi. Omong-omong suaranya bagus juga. Membuatku mengantuk saat mendengarnya menyanyikan lagu ballad seperti sekarang. "Suaramu bagus juga, kenapa tidak menjadi penyanyi saja?" tanya ku mencoba mencari topik pembicaraan. Minseok sempat menoleh ke arahku sekilas dan mengumbar senyum tipis. Oh! Apa aku sudah pernah mengatakan jika senyum Minseok membuatnya tampak seperti bayi? Benar-benar menggemaskan. "Aku hanya khawatir," sahutnya menggantung. Alisku naik ke atas, apa yang membuatnya khawatir saat menjadi seorang idol? "Khawatir? Kenapa?" "Aku khawatir jika Sean tidak bisa berjalan seorang diri. Meskipun anak itu terlihat kuat dan dingin di luar, tapi yang sebenarnya terjadi adalah sebaliknya," jelas Minseok dengan suara lirih. Wajah pria itu tiba-tiba terlihat murung. Aku tidak menjawab apapun, jujur saja aku cukup bingung. Apa maksudnya yang ku lihat saat ini bukanlah sisi sebenarnya dari Tuan Oh?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN