PRESMA : Terlanjur Mencinta

8. Perhatian Kecil

“Kak Gibran bilang lo biasanya ngilang seminggu. Kok sekarang baru dua hari udah balik?” tanya Jihan setelah Jihan memutuskan untuk turun, meminta ijin pada pemilik kost untuk menemui Alvin di halaman depan.

Alvin terkekeh kecil dengan tangan yang terulur mencubit hidungnya. “Gue kasian sama lo, entar lo kangen lagi.”

“Ih!” Jihan menepis tangan Alvin dengan sadis, lalu mendelik. “Kepedean. Pergi aja yang lama sana. Gak bakalan tuh ada yang kangen.”

“Yakin? Entar gue tinggal lama lo nangis ... .”

Buk!

“Kak Alvin!!!” Seru Jihan seraya memukul lengan Alvin, kesal sekaligus salah tingkah.

Alvin tertawa puas melihat ekspresi Jihan, kedua tangannya terulur menangkis pukulan Jihan yang terus menerus menerpa tubuhnya, hingga kedua tangannya meraih tangan itu, menariknya sampai Jihan diam, tak bisa melawan lagi. “Sekuat apapun lo ngelak ... Senyuman lo pas liat gue gak bisa bohong Jihan.” Ujar Alvin seraya menaikkan alisnya. “Lo senyum lebar banget, kayak gini.” Alvin memeragakan senyuman Jihan dengan sangat lebar, sangat berlebihan. “Keliatan banget lo seneng liat gue.”

“Pulang aja sana!” Jihan mendorong tubuh Alvin hingga terhuyun sesaat. “Ngeselin banget.”

Alvin kembali terkekeh seraya mengusak puncak kepala Jihan dengan tangan kanannya. “Lo tuh kalo lagi ngambek gemesin banget deh. Gue culik mau gak?”

“Enak aja!”

“Gue culik jadi menantu orangtua gue maksudnya.”

“Hah?”

Alvin kembali terkekeh lalu untuk kedua kalinya mengusak kepala Jihan lagi. “Pake nge-bug lagi. Anyways Han, thanks ya buat saran lo. Adek gue suka hadiahnya.”

“Emang lo beli apa?”

“Yang dia suka. PSP. PSP dia disita Papa soalnya dia mau ujian.”

“Terus lo ngasih lagi PSP? Ngelunjak lo.”

Alvin mengangguk seraya terkekeh kecil. “Lagian adek gue pinter, maen game atau enggak dia tetep pinter. Bakalan tetep peringkat satu. Gak kayak Kakaknya.” Ujar Alvin diiringi tawa renyah.

“Syukur deh kalo gitu. Gue juga sebenernya gak bantu apa-apa. Itu kan pilihan lo sendiri Kak.” Ucap Jihan kemudian menyandarkan punggungnya kembali pada BMW putih yang Alvin bawa.

“Lo punya sodara Han?”

“Enggak, gue anak tunggal.” Jihan melirik Alvin sekilas. “Seneng gak Kak punya adek? Kayaknya seru ya?”

“Ya ... gitu deh. Kita udah tinggal terpisah jadi gue jarang ketemu mereka. Tapi seru kalo lagi kumpul. Lo sendiri di rumah gimana Han? Beratkan pasti tinggal jauh dari orangtua lo? Apalagi lo perempuan.”

Jihan menghembuskan nafas seraya mengangguk. “Berat banget Kak apalagi di rumah cuma ada Bunda, gue tinggal jauh gini Bunda sendiri. Gue sebenernya gak minat kuliah, gue rencananya pengen kerja aja di tempat Bunda, bantuin bikin kue atau sekedar anterin pesenan. Tapi Bunda yang kasih gue semangat, Bunda bilang gue justru harus jadi seseorang yang lebih sukses dari Bunda. Jadi karena itulah gue kuliah dan sambil kerja. Gue gak mau nyusahin Bunda gue lagi dengan gue minta buat ini itu yang terkadang cuma keinginan gak penting gue.”

“Ayah lo?”

“Meninggal pas gue umur tujuh belas tahun, sekitar empat tahun lalu.” Ujar Jihan seraya melirik ke arah Alvin yang tengah menatapnya dengan tatapan sendu.

“Sorry Jihan ... gue gak tau, gue pikir Ayah lo kerja jauh.” Alvin mengulurkan tangannya kembali, mengelus kepala Jihan kemudian tersenyum tipis. “Semoga Ayah lo di tempatkan di tempat terindah di sisi Tuhan Jihan. Meskipun gak kenal, gue yakin Ayah lo pasti orang baik. Buktinya dia punya anak sebaik lo.”

Jihan mengalihkan pandangan, menghindar dari tatapan Alvin yang masih saja menatapnya. “Thank you Kak.”

“Jihan ... .”

“Hm?” Jihan menoleh ke arah Alvin lagi yang masih menatapnya.

Tangan Alvin kembali terulur naik membelai kepala Jihan, mengelus surai bergelombang itu kemudian berujar. “Lo harus dapetin cowok yang bisa jagain lo, jagain Bunda lo dan yang udah pasti gak bakalan nyakitin lo Jihan. Jangan sampe lo salah jatuh cinta, jangan sampe lo salah pilih. Gue gak mau di masa depan liat lo nangis apalagi menderita. Lo harus bisa dapetin cowok yang bisa cinta mati sama lo, yang jadiin lo dunianya. Lo udah banyak berjuang sekarang dari titik terbawah hidup lo, di masa depan lo berhak dapetin kebahagiaan yang lo harapkan. Gue juga berharap lo akan selalu bahagia.”

Jihan terpengkur, ia terdiam dengan iris mata yang terkunci oleh tatapan Alvin yang dirasa begitu dalam. Alvin menatapnya dengan sendu, sarat akan ketulusan dan kehangatan yang mulai menjalar, tertular hingga dadanya pun ikut menghangat. Namun kalimat yang Alvin ucapkan benar-benar serasa mulai menyadarkannya bahwa mereka sepertinya tak mungkin bersama. Sekalipun hatinya menghangat nyaman, akan tetapi ia menyadari bahwa kalimat yang Alvin ucapkan sangat menegaskan bahwa pemuda itu tak memikirkan masa depan dengannya. Tak ada harapan.

Jihan menarik nafas panjang seraya membasahi bibirnya yang terasa mendadak kering. “Kak ... kok lo ngomong gitu?”

“Karena gue sadar, gue bukan dari bagian cowok yang bisa bahagiain lo Han.”

.

.

.

Jihan termenung di kantin menunggu Dania untuk bersama menuju ke sekretariat BEM. Di sini, di hari yang berbeda, di waktu yang berbeda bahkan di tempat yang berbeda, tapi ia masih memikirkan semua yang Alvin ucapkan padanya semalam. Kalimat itu masih saja terngiang-ngiang dalam ingatannya, begitu membekas bersama dengan perasaan tulus yang sampai saat ini masih dapat ia rasakan.

“Karena gue sadar, gue bukan dari bagian cowok yang bisa bahagiain lo Han.”

Jihan menghembuskan nafas dengan tangan kanan yang sibuk membuka tutup botol minumannya. Setelah perasaan tulus yang ia rasakan dari kalimat panjang Alvin, ia merasakan ada yang janggal dari kalimat itu. Entah mengapa, ia merasa ada yang lain dari ucapan Alvin itu. Serasa ada perasaan putus asa, menyerah dan pasrah ... Tapi entahlah ... ia tak tahu ia tak berani berspekulasi, ia tak berani menduga-duga isi pikiran Alvin yang begitu tertutup, tak bisa terbaca.

“Sepatu baru Han? Keren banget anjir. Kapan belinya?”

Jihan menoleh ke kanan ke arah Fanya yang tiba-tiba datang. Ia menarik ujung bibirnya lalu menunduk menatap ke arah kakinya yang kini terbingkai sepatu yang Alvin berikan.

“Dibeliin. Mana mampu gue Fan beli sepatu begini? Sekalipun gue ada duit mendingan gue tabung buat makan setaun.” Respon Jihan diiringi dengan tawa lebar.

Fanya tersenyum lebar, kemudian mendekat ke arahnya, mengguncang-guncangkan lengannya, penuh antusias. “Dari Kak Alvin?”

“Siapa lagi?”

“AAAA beruntung banget lo. Percaya deh Kak Gibran aja gak ada kasih gue sepatu kayak gini.”

“Ya karena lo mampu beli sendiri.”

Fanya mencebikkan bibirnya. “Bukan masalah mampu gak mampu kali Han, tapi nilai ketulusannya yang mahal. Gue gak masalah dibeliin sepatu murah atau KW, tapi selama itu dari Kak Gibran dan dia tulus ngasihnya, gue bakalan terima kok. Gue malah seneng banget nerimanya.”

Jihan terkekeh seraya menggelengkan kepala. “Bucin lo. Hati-hati Butol.”

“Butol apaan?”

“Bucintolol, alias gak punya akal sehat.” Ujar Jihan sebelum meneguk minumannya.

“Enggak lah, gue gak bakalan kayak gitu. Kita tuh love each other, gak ada yang bucin dan gak ada yang dibucinin.” Ujar Fanya penuh rasa bangga.

“Stop Fan. Geli gue dengernya.” Ujar Dania yang baru saja datang, bergabung dengan mereka, duduk tepat dihadapan Jihan.

“Ih! Kenapa sih lo? Suka-suka gue. Toh emang kenyataannya kita saling mencintai.”

“Tapi gak jadian.”

“Dania!!! Bukan enggak tapi belum!”

“Ya sama ajalah. Belum tentu juga dia bakalan nembak lo. Gimana kalo ghosting? Entar nangis.”

“Jahat banget sih lo!” rajuk Fanya seraya mengerucutkan bibir, kesal dengan ucapan Dania yang selalu saja terdengar begitu tajam. “Pacaran sana, biar lo rasain gimana rasanya dicintai dan mencintai.”

“Ih udah-udah kenapa malah berantem sih?” lerai Jihan yang sudah pusing dengan kedua sahabatnya itu.

“Dania tuh yang mulai.” Adu Fanya.

“Lah kok gue? Gue cuma mau menyadarkan pikiran lo Fanya. Kalian tuh belum jadian jadi lo gak usah terlalu memuji.” Ucap Dania lagi.

“Udah ih jangan berantem.” Ujar Jihan. “Eh itu Kevin.” Seru Jihan ketika melihat Kevin keluar dari sebuah mobil baru berwarna putih.  

“Anjirlah beda banget lo, dua hari gak ketemu udah pake mobil baru aja. X5 atau X3?” tanya Dania setelah Kevin berada di dekat mereka bertiga.

“X3, kenapa lo? Kangen sama gue?”

“Meskipun lo pake X3 atau bahkan X5, sampe kapanpun gue gak bakalan tertarik buat kangen sama lo. Gak usah kepedean.” Ujar Dania seraya mendesis tajam. Akan tetapi Kevin bukannya tersinggung dia malah tertawa puas mendengar candaan itu.

“Jangan gitu. Entar lo suka sama gue berabe Dan. Malu entar ngakuinnya.” Goda Kevin.

“In your dream. Lo bukan tipe gue.” Balas Dania lagi seraya menyeringai puas. “Han udah ah, yuk ke BEM rapatnya dah mau mulai deh kayaknya.”

Jihan mengerjapkan mata kemudian mengangguk kecil. “Kev nitip Fanya, dia lagi bad mood tuh di gangguin Dania, gue ke BEM dulu ya. Fan gue ke BEM ya entar kita ketemu sore di Bapers.” Pamit Jihan yang hanya di angguki oleh Kevin dan Fanya.

Dania menepuk pundak Fanya. Membuat Fanya mendongak. “Gue ngomong realistis Fan. Jangan marah. Inget yang gue omongin. Cowok tuh kalo serius harusnya ngasih kepastian bukan cuma pendekatan doang. Yang udah bilang cinta dan janji sehidup semati aja kadang ninggalin, apalagi yang masih gantung. Hati-hati.” Ujar Dania lagi seraya tersenyum tipis.

Jihan tak bisa mengatakan apapun, sebab ia tak memiliki pengalaman. Tapi semua yang dikatakan Dania memang ada benarnya. Jangankan yang baru pacaran, yang menikahpun banyak yang bercerai, berpisah begitu saja saling meninggalkan seolah tak pernah ada rasa cinta. Bagaimana yang masih gantung? Atau ... lebih buruknya seperti ia dan Alvin ... ? Sepertinya tak ada harapan.

“Jihan ayo!”

Jihan menoleh ke arah Dania lalu mengangguk. Setelah itu ia berpamitan lagi pada Kevin dan Fanya kemudian berlalu bersama dengan Dania menuju sekretariat BEM.

Jihan dan Dania tak banyak bicara ketika berjalan ke tempat itu, mereka hanya berjalan dengan sesekali menyapa orang-orang yang menyapa mereka hingga mereka berdua hampir sampai di halaman BEM, dimana ada Alvin dan Bastian yang sedang berbincang.

Ketika hendak menyebrangi area jalanan kampus, Dania menghentikan langkah seraya menarik lengannya, membuatnya berbalik menghadap sahabatnya itu. Setelah itu Dania melirik ke arahnya lalu menatap ke arah Alvin sebelum menatap ke arahnya lagi, tepatnya ke arah sepatu yang sedang ia kenakan. “Sepatu kalian kembaran? Couple shoes?”

“Hah? Apa Dan?” Jihan mengerjapkan mata, menatap Dania yang berada tiga langkah di depannya.

“Se.pa.tu.” Ujar Dania dengan penuh penekanan, menuntut penjelasan.

Jihan terdiam, mengerjapkan matanya beberapa kali. Bingung harus menjawab pertanyaan itu dengan jawaban seperti apa. Couple shoes? Tak mungkin. Meskipun mirip tak mungkin sepatu pasangan kan? Lagipula hubungan mereka palsu, mengapa perlu barang pasangan?

“Jihan. Awas.” Seru Alvin, tak lama setelah itu tangan kanannya di tarik dengan kencang hingga tubuhnya terhuyun, memutar, sampai jatuh tepat pada pelukan Alvin. Bersamaan dengan itu pula sebuah motor melintas dengan kencang tepat di belakang punggungnya.

Jihan memejamkan mata seraya mengatur nafasnya yang memburu karena rasa terkejut akibat kejadian mendadak itu. Beberapa saat kemudian ia membuka mata menatap Alvin yang menatapnya dengan tatapan yang begitu tajam. Tampak begitu murka.

“Lain kali hati-hati, mau nyebrang tuh liat kanan kiri jangan kayak anak kecil. Di jalan juga bukan tempatnya ngobrol kayak orang b**o gitu. Bisa kan ngobrolnya kalo udah nyebrang? Di sekretariat juga masih kosong! Kalo lo kenapa-napa lo sendiri kan yang ngerasa sakit, bukan orang lain. Coba bayangin kalo motor itu nabrak lo? Lo udah mental, kepala lo kalo bocor gimana? Badan lo juga pasti sakit.”

Pandangan Jihan memburam. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia dimarahi secara bertubi-tubi seperti ini. Terlebih seumur hidup orangtuanya tak pernah memarahinya seperti ini, sekasar ini. Apalagi didepan orang banyak. Tapi Alvin ... lihatlah. Lelaki itu menatapnya dengan begitu tajam, wajahnya bahkan memerah, menahan emosi.

“Apa? Kenapa melotot? Mau ngelawan? Jangan nangis. Dibilangin tuh dengarin. Ngerti gak gue ngomong apa tadi? Didengerin gak gue ngomong apa? Jangan diem. Jangan malah nangis. Ditanya tuh jawab.”

“Iya ih iyaa!!! Gak usah ngomel. Udah didengerin!” seru Jihan dengan air mata yang perlahan meluruh, turun dari kedua kelopak matanya.

Alvin mengatupkan rahang dengan kedua tangan yang masih mencengkram kedua lengan Jihan. Matanya bahkan belum berubah, rona di wajahnya pun masih tampak sama. Penuh amarah.

“Vin.” Alvin terjengit ketika Bastian menepuk pundaknya. “Udah jangan dimarahin lagi, kasian anaknya. Dia juga gak mungkin mau ngelukain dirinya sendiri. Liat dia sekarang, dia pasti masih kaget. Di tambah lo marahin lagi.”

Alvin menghembuskan nafas kemudian menatap ke arah Jihan lagi yang kini menunduk begitu dalam, menghindari tatapannya dengan bahu yang bergetar, menangis. Tangan kiri Alvin kembali terulur memeluk Jihan dengan tangan kanan yang mengelus puncak kepala gadis itu hingga gadis itu kembali lebih tenang. Tanpa ada tangisan lagi.

Alvin menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya lagi dengan berat. Merasa menyesal sudah menumpahkan semua emosi yang ia rasakan pada Jihan.

“Maaf ... aku gak beraksud marahin kamu. Aku cuma khawatir. Aku takut terjadi sesuatu. Lain kali hati-hati ya?”

.

.

.

Dania menyaksikan hal itu dalam diam. Ia melihat bagaimana Alvin memperlakukan Jihan, dan melihat bagaimana nyamannya Jihan dalam pelukan Alvin. Jika ia orang luar yang tak tahu hubungan mereka, ia pasti menduga bahwa Alvin benar-benar mencintai Jihan dan begitu mengkhawatirkan sahabatnya itu. Tapi ia sadar, ia tahu mereka hanyalah sandiwara, mereka hanya pasangan palsu yang menjalin hubungan palsu atas sebuah kesepakatan semata.

Akan tetapi setelah menyaksikan semua ini tepat di depan mata. Ia menyadari satu hal. Mungkinkah sekarang Alvin benar-benar mencintai Jihan? Atau mungkin ... mungkinkah mereka saling mencintai?

Secepat itu?