Saat tak ada di sampingku
Diriku sangat merindukanmu
Sadarkah bahwa
Diriku besar mencinta
.
.
.
Dania mengerutkan kening ketika mendengar potongan bait lagu yang sedang dinyanyikan Jihan di ruang musik. Tumben sekali sahabatnya itu menyanyikan lagu setengah galau, dan sangat bucin seperti lagu itu, biasanya lagu andalan Jihan yang akan dipakai untuk kompetisi adalah lagu-lagu jadul. Jihan bahkan sering sekali di ledek kurang up to date karena daftar lagunya adalah lagu-lagu lawas, bukan lagu baru seperti yang baru saja sahabatnya itu nyanyikan.
Dania mengalihkan perhatiannya pada Bastian yang sedang menemaninya, menemani Jihan berlatih. Lelaki itu sedang merekam kegiatan Jihan, entah untuk tujuan apa. Ia tak peduli. Sampai Bastian kemudian mengakhiri rekaman video itu ketika Jihan menyelesaikan sesi latihan pertamanya.
“Dalem banget gak sih?” tanya Bastian. “Gue ngerasain banget ketulusan dari lagu yang dinyanyiin Jihan. Biasanya emang kayak gini ya?” tanya Bastian lagi seraya mendudukan diri di sampingnya.
“Biasanya emang gini, tapi lagunya aja yang aneh. Biasanya Jihan gak pake lagu baru kayak gini buat kontes, alesannya karena pasti banyak yang pake lagu itu. Tapi sekarang ... .” Dania menghela nafas. “Tumben-tumbenan nyanyi lagu begini.”
“Gitu ya?”
Dania hanya mengangguk kecil lalu menyimak latihan Jihan lagi bersama seorang pelatih vocal.
“Kangen kali ya sama Alvin? Dua hari ini mereka kan gak ketemu.”
Dania mendelik ke arah Bastian. “Gak usah ngada-ngada. Gak mungkinlah, buat apa kangen? Pacaran aja kagak. Deket aja jalan dua minggu.”
“Ya ... siapa yang tahu kan?”
“Jihan hopeless romance, dia gak ada niat pacaran selama kuliah. Kak Alvin juga kayak gitu kan? Lagian waktu itu kan Kak Alvin udah bilang kalo dia cuma seneng deket Jihan, gak ada hal romantis lebih diantara mereka.”
“Tapi hati manusia siapa yang tahu kan? Lidah gak ada tulangnya, kapan aja bisa bohong. Tapi tatapan mereka gak bisa di sangkal.” Balas Bastian lagi.
“Gak mungkinlah, itu cuma perasaan lo aja Kak.” Dania menarik ujung bibirnya kemudian berdiri menyambut Jihan yang berjalan ke arahnya. Tanpa mengindahkan Bastian yang masih menatap Dania dengan tatapan penuh tanya.
“Kak Bas, ayo. Masih mau di sini?” ajak Jihan.
Bastian mengerjapkan matanya sesaat sebelum berdiri kemudian mengikuti dua gadis itu.
.
.
.
“Gak ada Kevin gak asik ya? Gak ada yang di kerjain.” Ujar Dafi begitu pemuda itu bergabung duduk bersama yang lainnya. “Lagian tumbenan banget itu anak dua hari ngilang. Ada acara apaan sih? Ngartis banget sok maen privasi.” Lanjutnya diiringi dengan tawa yang menggema.
“Bilangnya sih lagi ada acara keluarga. Tau deh acara apaan, lagian tumbenan banget ikut acara keluarga, biasanyakan di skip.” Balas Fanya.
“Iya ya dua hari ini kayaknya sepi banget.” Gumaman Jihan yang mampu membuat keenam orang lain yang berada di tempat itu menoleh secara bersamaan. Menatap intens pada Jihan yang kini sedang mengatur nafas berat dengan bibir mengecurut, ciri khas orang yang sedang merasa bosan.
Fanya, Gibran, Dafi, Bastian, dan Laura saling menyikut, heran. Sementara Dania hanya menatap Jihan dengan iris mata yang memicing menatap curiga pada sang sahabat. Tak lama setelah itu Dania menghembuskan nafasnya, berusaha membuang semua curiga yang ada dalam benaknya, kemudian mengabaikan Jihan dengan menyantap makan siangnya sendiri.
“Iya sepi banget Han, soalnya gak ada Alvin.” Ujar Laura.
“Hm?” Jihan mengalihkan pandangan pada Laura, lalu mengerjapkan mata sesaat. “B—Bukan karena gak ada Kak Alvin kok. Bukan. Tapi biasanya di sini tuh ada Kevin. Dia yang sering gue sama yang lain jailin kak. Makanya pas gak ada tuh rasanya ada yang ilang banget.”
“By the way, gue juga gak bilang lo kesepian gara-gara gak ada Alvin loh Han.” Laura menyeringai seraya melirik ke arah Jihan yang mulai salah tingkah. “Gue aja yang ngerasa sepi gak ada Alvin.” Lanjut Laura sebelum meminum es jeruk di depannya.
“Jangan bilang lo sebenernya kesepian Han gak ada Alvin? Padahal baru dua hari loh ini. Biasanya Alvin ngilang hampir seminggu.” Goda Gibran.
“Seminggu?!” tanya Jihan seraya menaikkan intonasi suaranya.
Laura mengangguk. “Iya. Seminggu, tanpa kabar sama sekali.” Tambah Laura mengompori Jihan seraya memberikan seringaiannya lagi.
“Hah?” Jihan mengerjapkan mata, mencerna setiap kalimat yang baru saja Laura katakan. “Seminggu tanpa kabar?”
“Kenapa Han? Takut kangen ya?” Goda Gibran lagi. “Tenang aja, sama pacarnya dia pasti ngabarin kok.” Tambah Gibran hingga membuat wajah Jihan memerah hingga sampai ketelinga.
“Enggak kok! Enggak. Apaan sih Kak? Siapa juga yang kangen.” Balas Jihan seraya mencebikkan bibir.
“Gue gak bilang lo kangen loh.” Goda Gibran ketiga kalinya hingga membuat wajah hingga telinga Jihan memerah malu.
“Muka lo merah banget Jihan.” Timpal Bastian.
“Muka gue merah itu kepanasan kak, ini mie nya pedes banget tau. Ya wajar wajah gue merah. Udah kebiasaan begini. Gak ada kaitannya sama kak Alvin.” Elak Jihan lagi.
“Gue cuma bilang muka lo merah loh Han, gak bilang muka lo merah gara-gara Alvin.” Timpal Bastian lagi seraya menyeringai, menggoda Jihan yang semakin menunduk malu.
“Anyways ada yang heran gak sih kok bisa Kak Alvin sama Kevin ngilang barengan?” tanya Dania mengalihkan pembicaraan. “Gue agak curiga mereka sodaraan sih, apalagi gosipnya adek Kak Alvin kuliah di sini juga kan? Nama belakang mereka juga sama. Sama-sama Jayanegara.”
Laura terkekeh kecil seraya menggelengkan kepala. “Kalo mereka Adek-Kakak cuma karena perkara nama belakang, harusnya si Bisma KAHIM Akuntansi juga adeknya Alvin dong? Dia kan Bisma Jayanegara.” Ucap Laura.
“Si Anin juga anak FK, Anindita Jayanegara.” Ujar Bastian menambahi. “Banyak sih nama belakang Jayanegara.” Lanjut Bastian.
“Bisa aja cuma kebetulan kali Dan, gak usah terlalu dipikirinlah. Kalo mereka beneran Adek-Kakak kenapa kayak orang asing tiap ketemu coba?” Kali ini Fanya yang memberi sangkalan.
Dania mengedikkan bahu seraya meneguk habis air mineralnya. “Iya kali. Pikiran gue aja terlalu drama.” Ujarnya tak acuh. Sesungguhnya Dania tak mempedulikan ucapan mereka lagi tentang siapapun bernama belakang Jayanegara, ia juga tak peduli sebenarnya siapa adiknya Alvin, ia hanya berkata secara asal. Toh tujuannya hanya mengalihkan pembicaraan mereka dari pembahasan mengenai Alvin. Ia hanya tak mau membuat suasana menjadi tak nyaman, terlebih saat melihat wajah Jihan yang semakin memerah karena godaan orang-orang di sekitarnya.
.
.
.
Jihan berbaring telungkup di atas pembaringan dengan sesekali mengetuk-ngetuk ponsel, sesekali membuka chat room, sesekali juga membuka daftar panggilan. Hanya membukanya tanpa melakukan apapun, setelah itu ia hanya mematikan layar lalu memandanginya lagi.
Helaan nafas panjang terdengar, kepalanya terkulai lemas bersandar diatas punggung tangan kirinya, menghadap ke arah kanan, ke arah ponselnya yang sejak dua hari ini begitu sepi tak ada satu orangpun yang menghubunginya.
Padahal biasanya Kak Alvin sering ngisengin kirim ucapan selamat malam. Tapi sejak kemarin, dia ngilang. Gak ada kabar sama sekali. Apa bener sampe seminggu ini Kak Alvin bakalan ngilang juga? Entar dia gak liat kompetisi gue dong ya?
Jihan termenung dengan pemikiran yang sama sejak beberapa saat lalu. Tapi kemudian ia mengerjapkan mata ketika menyadari isi pikirannya sendiri. Setelah itu ia berguling, berbaring terlentang menatap ke arah langit-langit kamarnya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala tanpa henti, berusaha menghilangkan isi pikirannya yang sangat aneh.
“Apa yang coba lo pikirin Jihan? Jangan gila! Biasanya juga gak ada Kak Alvin di hidup lo, biasanya juga Kak Alvin gak liat lo kompetisi, bahkan dia tahu lo kompetisi aja kagak. Berhenti mikirin yang enggak-enggak Jihan! Gila lo!” ujar Jihan kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri, frustasi karena benaknya tak juga menghilangkan pikiran-pikiran itu. Tak lama kemudian Jihan menatap langit kamarnya lagi dengan mata yang mengerjap, pasrah.
Jangan bilang lo beneran kangen sama dia? Enggak! Enggak! Gue cuma sedikit kehilangan aja soalnya dia sering isengin gue. Iya! Gue cuma sedikit ngerasa kehilangan aja. Gak mungkin kangen, gak mungkin—.
Kring!
Jihan terjengit mendengar deringan ponselnya, dengan cepat kembali telungkup lalu ia meraih ponselnya itu berharap yang menghubunginya adalah orang yang sedang ia tunggu. Tapi ternyata ... harapan tinggal harapan. Bukan Alvin yang menghubunginya tapi Dania.
Jihan menghembuskan nafas lesu lalu berbaring terlentang kembali. Menatap langit-langit kamarnya. “Hallo Dan? Ada apa?”
“Lesu amat lo? Kecewa gue yang telepon lo?”
“Gak gitu Dan ... gue gak kecewa kok. Gue emang udah ngantuk aja makanya lesu.” Dusta Jihan. Berusaha untuk bertindak senormal mungkin pada temannya yang terlewat peka itu. Ya ... Dania memang begitu peka dengan sekitarnya, Dania juga salah satu tempatnya berkeluh kesah ketika menghadapi masalah yang lebih besar. Selain karena Dania sangat peka, Dania juga terasa lebih dewasa jika dibandingkan dengan Fanya.
“Yakin lo? Gak lagi nungguin Kak Alvin?”
Tuh kan! Baru saja ia bicarakan. Dania sudah menebak dengan benar.
“Siapa bilang? Ngadi-ngadi lo, enggak lah, ngapain gue nungguin dia? Gue emang udah ngantuk. Gak liat jam lo? Jam 10 waktunya gue tidur. Lagian gue lagi capek banget.”
Dania mendesis. “Bohong banget lo, biasanya kalo udah ngantuk lo tuh gak pernah ngomel kayak gini. Jujur aja sama gue, lo tuh beneran nunggu Kak Alvin kan?”
“Ih udah gue bilang. Enggak Dania ... gue ngomel ya kesel aja. Baru aja gue mau tidur.”
Dania mendengus, sahabatnya itu terdengar menyerah dengan semua alasan yang ia buat. “Yaudah terserah lo, gue nelpon lo cuma mau ingetin lo doang.”
Kening Jihan mengerut. “Apa?”
“Lo tuh sama Kak Alvin cuma pacar bohongan, kalian cuma sandiwara. Jangan bawa perasaan lo Jihan. Kalo lo baper, lo sendiri yang akan sakit. Lo harus inget Alvin gak pernah niat pacaran dan lo harus tahu Jihan, dua hari lalu pas temen-temennya nanya dia suka sama lo apa enggak apa coba jawaban Kak Alvin? Dia bilang, dia cuma seneng deket lo tanpa ada perasaan khusus, lo cuma di anggap temennya aja.” Ucap Dania dengan penuh penekanan di setiap kalimat tersebut.
Jihan merasa tertampar berkali-kali oleh ucapan Dania. Benar ... mereka hanya pacar bohongan, mereka hanyalah kekasih palsu, mereka menjalin hubungan palsu, bukan hubungan yang sebenarnya. Bukan sesuatu hal yang berhubungan dengan perasaan. Tak seharusnya ia merasakan rindu, tak seharusnya juga ia merasa kehilangan dan tak seharusnya juga ia berharap sesuatu yang lebih akan pemuda itu.
“Jihan? Lo dengerin gue kan?”
Jihan menarik nafas panjang kemudian mengangguk kecil. “Iya Dan, gue denger. Thanks ya lo udah ingetin gue. Tapi gue serius gue sekarang udah ngantuk banget.” Dusta Jihan lagi.
“Ok deh, sorry ya ganggu lo malem-malem. See you tomorrow.”
“See you bestie.”
Jihan termenung, menatap langit-langit kamarnya dalam diam, meresapi setiap kalimat yang baru saja ia dengar. Mengapa rasanya ia tak suka mendengar kalimat-kalimat seperti itu? meskipun itu adalah kenyataan tapi ... mengapa ia tak ingin mendengarnya lagi?
Jihan mulai memejamkan mata dengan tangan kiri yang sengaja ia simpan di atas matanya. Namun baru saja beberapa detik ia melakukan itu sebuah panggilan kembali masuk. Jihan tanpa minat meraih ponsel itu dengan tangan kanannya, kemudian menatap layar benda pipih itu.
Deg!
Kak Alvin memanggil ...
Jihan tertegun, jantungnya perlahan berpacu dua kali lebih cepat ketika melihat nama itu benar-benar terpampang nyata di layar ponselnya. Nama Alvin, nama lelaki yang beberapa saat lalu sedang ia pikirkan.
Jihan meneguk ludahnya kasar seraya membasahi bibirnya sesaat sebelum menjawab panggilan tersebut.
“Hallo Kak?”
“Lama banget ngangkatnya.”
Jihan mengerucutkan bibirnya mendengar kalimat itu. “Udah sukur gue angkat. Kok nawar?”
“Emang lo gak kangen sama gue?”
Deg!
Jantung Jihan semakin berpacu dengan cepat ketika mendengar pertanyaan itu. pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan akan dilayangkan oleh seorang Alvin Jayanegara.
“Enggaklah! Ngapain?!”
“Oh, gitu ya? Padahal gue kangen loh.”
Jihan mengerjapkan mata. “A—apa? Gak sudah becanda deh kak. Gak lucu sumpah.”
“Gue gak becanda kok. Kalo gue gak kangen ngapain gue di sini?”
Jihan terperanjat, ia segera mendudukan tubuhnya di atas tempat tidur. “Di sini dimana?!” seru Jihan.
“Ke balkon deh.”
“Bohong kan lo? Cuma mau jailin gue doang.”
“Sini makanya ke balkon, biar lo tau gue bohong apa enggak.”
Jihan segera bangkit dari tempat tidurnya kemudian keluar dari kamar menuju balkon yang menghadap ke arah jalanan di depan kosan.
Deg!
Lagi dan lagi Jihan tertegun. Jantungnya semakin berpacu dengan cepat, diiringi dengan desiran halus yang terasa begitu hangat yang mulai mengalir, menjalar memenuhi setiap lubuk hatinya yang dingin. Di sana, di depan kosannya, Alvin benar-benar berada di depan kosannya. Pemuda itu kini tengah mendongak menatap ke arahnya dengan tubuh bersandar pada mobil. dan mengenakan sebuah kaus berwarna putih, celana jeans hitam serta sebuah sneakers berwarna putih. Tak lupa dengan rambut yang tertata dengan begitu rapih, terlihat sekali bahwa dia memang sengaja datang untuk menemuinya.
Alvin melambaikan tangan padanya seraya memberinya sebuah senyuman tipis yang tampak begitu menawan. “Hi ... .”
Jihan meneguk ludahnya kasar lagi dengan mata yang mengerjap masih tak percaya dengan semua yang ia lihat. “Kak ... lo ngapain di sana? Ini udah malem loh ini.”
“Gue udah bilang kan? Gue kangen sama lo.”
Desiran halus mulai merambat semakin memenuhi dadanya, hingga kini terasa begitu sesak, terasa sangat membuncah, tak tertahankan lagi. Rasa hangat yang ia rasakan pun secara perlahan mulai merambat naik hingga membuat wajahnya memanas, tersipu malu.
“Kak ... .”
“I miss you so bad Jihan ... .”
Baru beberapa saat lalu ia di sadarkan bahwa hubungan mereka hanya sebatas hubungan palsu, kekasih palsu, pasangan palsu yang tak seharusnya menyimpan perasaan berlebih. Tak seharusnya pula merasakan perasaan yang lebih dari sekedar perasaan palsu. Tapi kalau begini ... Bagaimana caranya agar ia tidak terbawa perasaan?