Demi Neptunus Jihan malu! Sungguh. Ia pikir ajakan Alvin bohong. Ternyata pemuda itu benar-benar membawanya kencan keesokan harinya. Memang tak jalan dari pagi hari tapi dari siang menuju sore karena baik Alvin maupun Jihan mendadak ada jadwal pertemuan pertama dengan dosen wali.
Jika boleh jujur ... Sebenarnya bukan hanya ajakan kencan yang benar-benar terjadi yang membuatnya malu, tapi karena Alvin yang menjemputnya di parkiran tepat di depan ruangan pertemuannya dengan dosen, pemuda itu menunggunya dengan bersandar begitu santai pada pintu mobil mewahnya. Lalu begitu iris mata mereka saling bertabrakan, pemuda itu tersenyum padanya seraya membuka pintu penumpang mobil.
“Ayo, udah siang.” Ucap Alvin saat itu dengan sangat lembut diiringi sebuah senyuman manis. Ucapan singkat namun mampu membuat jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Bukan ... bukan karena terpesona. Tapi jantungnya berbebar risau, penuh ketakutan karena terlalu banyak orang yang menyaksikan perlakuan manis Alvin terhadapnya.
Mari abaikan yang sudah berlalu, biarkan saja ... Jihan sungguh tak ingin memikirkan hal itu lagi. Besok dan kedepannya ... ia akan berusaha menutup kuping tak peduli dengan komentar semua orang tentang hubungannya dengan Alvin, hubungan yang pasti akan menjadi highlight, juga hot news yang akan menjadi perbincangan hangat di kampus. Seperti yang terjadi kemarin.
“Kak ... dari tadi muter-muter doang. Apa lo gak capek? Lo juga udah beli banyak baju. Mau apa lagi?” tanya Jihan jengkel. Apa ini yang dikatakan kencan oleh orang kaya seperti Alvin? Berjalan memutari mall yang terkenal menjual barang-barang mewah, memasuki toko, mengambil yang disukai lalu bayar. Terus seperti itu. Tak hanya satu, mereka sudah melewati tiga toko dengan brand ternama di tempat ini. Tidak-tidak ... bukan melewati, tapi ia mengantar seorang Alvin berbelanja.
“Sebenernya bukan baju-baju ini yang gue cari. Gue beli cuma karena udah masuk tokonya aja.” Balas Alvin.
“Emang lo nyari apa sih Kak? Bilang sini ke gue, kali aja gue ada solusi. Daripada gue ngintilin lo doang.” Jihan mengerucutkan bibirnya, kesal setelah hanya mengikuti Alvin berbelanja barang yang terlihat hanya iseng. Membeli karena sudah masuk toko. Berbelanja macam apa itu?
“Sini deh.” Alvin merangkul bahunya tanpa permisi, membuat langkahnya mau tak mau mengikuti langkah Alvin memasuki sebuah toko lain yang juga memiliki brand ternama dengan ciri khas huruf G-nya.
Jihan hanya pasrah, apalagi ketika Alvin membawanya memasuki area deretan sepatu yang tampak sangat mahal. Ya ... tentu saja mahal, artis-artis ternama yang sering memakainya.
“Duduk.” Alvin menekan bahunya agar ia duduk pada salah satu kursi. Lagi dan lagi ia hanya pasrah duduk di kursi itu, melihat ke arah Alvin yang sedang menatap beragam sepatu yang tak akan pernah mampu ia beli itu.
Jihan mendengus, ia meluruskan kaki, menggoyang-goyangkannya pertanda bahwa ia sudah sangat bosan. Seumur hidup rasaya ia tak pernah membuang waktu seperti ini, apalagi hanya untuk berbelanja. Jihan mencebikkan bibirnya, ketika merasa semakin bosan setelah di tinggal Alvin berbincang dengan seorang pelayan.
“Ukuran sepatu lo berapa Han?”
“39.”
“Bagus. Berarti sama.”
“Hah?” Mata Jihan mengerjap beberapa kali, iris matanya bergulir mendongak lalu menunduk mengikuti pergerakan Alvin yang kini berjongkok tepat di depan kakinya.
Jihan menarik kakinya sendiri saat Alvin menjangkau kaki kanannya.
“Kak. Ngapain?”
Alvin menarik kakinya lagi dengan sedikit memaksa lalu membuka sepatu kets buluknya dengan sebuah sepatu putih dengan garis hijau merah dan sebuah gambar berbentuk kepala harimau di salah satu sisinya, sepatu yang tentu saja berharga tinggi. “Cobain.” Ujar Alvin seraya memasangkan sepatu tersebut pada kaki kanannya.
“Tapi Kak ini tuh mahal banget.”
Alvin mengabaikan ucapannya, lelaki itu justru membuka sepatu kirinya lalu memasangkan pasangan dari sepatu mahal tadi.
“Kak.” Tegur Jihan lagi.
Alvin menghela nafas seraya berdiri. “Cobain doang. Bantuin pilih Han, buat hadiah ulang tahun adek gue. Kebetulan ukuran kaki kalian sama, badan kalian juga kayaknya gak jauh beda.” Jelas Alvin seraya mengamati kedua kakinya.
Jihan mengerjapkan matanya, terkejut setelah mendengar kalimat yang baru saja Alvin katakan. Ia mendongak, mendelik menatap Alvin yang masih menatapi kakinya. Ia mendesis, jika memang ingin memilih hadiah untuk adik kenapa sampai seperti ini? bertingkah romantis layaknya pasangan? Padahal apa susahnya sejak awal berkata mencari hadiah untuk adik? Ia kan tak perlu terkejut jika Alvin bertingkah seperti ini.
“Liat, bagus gak?”
Jihan meluruskan kakinya yang sudah terbingkai sepatu mewah itu. “Ya bagus. Gak mungkin sepatu ini mahal kalo gak bagus.”
“Nyaman?”
“Ada harga ada barang. Barang semahal ini tentu saja sangat nyaman.” Balas Jihan sarkas. Sungguh, ia masih sebal dengan tingkah Alvin yang serasa mempermainkannya.
Alvin tiba-tiba terkekeh kemudian mengusak puncak kepalanya. “Jangan marah ... .”
“Enggak kok, siapa yang marah?”
“Itu ada yang manyun. Marah ya gara-gara gue bilang kencan taunya cuma nyari hadiah buat adek gue?”
“Ish! Apaan sih?! Enggak Kak! Gue gak marah. Ngapain gue marah gara-gara di ajakin kencan boongan begini? Enggak ya. Sorry. Gak sudah kepedean.”
Alvin tak membalas ucapannya itu. Alvin hanya terkekeh kecil dengan mengusak puncak kepalanya lagi. “Maaf ... seharusnya aku bilang dari awal.”
“Gak usah aku-kam—.” Ucapan Jihan tertahan ketika iris matanya bertemu dengan iris mata Alvin yang berada tepat satu jengkal didepan matanya. Pemuda itu tersenyum begitu tampan.
“Maaf Jihan ... maaf.” Ujar pemuda itu lagi dengan suara yang sangat lembut.
Jihan terpaku tanpa memberikan reaksi selama beberapa saat ketika iris mata mereka masih bertemu, iris matanya seolah terkunci, rapat hingga ia tak bisa berpaling.
“Han ... sorry.”
Barulah Jihan tersadar, ia mengerjapkan matanya sesaat kemudian memundurkan wajah dengan tangan yang mendorong bahu Alvin untuk menjauh. Ia berdehem sesaat lalu meneguk ludah kasar setelah itu membasahi bibirnya sendiri.
“Ekhm ... Kak menurut gue hadiah itu lebih baik yang paling adek lo mau deh. Kalo sepatu modelan begini pasti dia juga udah mampu beli sendiri kan?” ujar dan tanya Jihan, berusaha mengalihkan rasa gugup yang tiba-tiba melandanya.
“Iya sih.” Alvin menghela nafas. “Biar gue pikirin dulu.”
Alvin kemudian beranjak pergi, kembali melihat rak sepatu itu, berbicara dengan seorang pelayan setelahnya membawa sepatu lain yang sama persis namun berukuran lebih besar dari yang tengah ia pakai.
Jihan menatap pergerakan Alvin dalam diam. Pemuda itu pun tak mengatakan apapun lagi setelah duduk di sampingnya lalu mencoba memakai sepatu tersebut. Tak lama kemudian Alvin pun meluruskan kakinya, menyejajarkan kaki mereka, memperlihatkan sepasang sepatu yang tampak sangat serasi.
Jihan menarik ujung bibirnya seraya menggeleng kecil. Apa yang baru aja lo pikirin Jihan? Serasi mata lo? Sadar! Lo gak pacaran beneran! Gak usah ngayal tinggi-tinggi!
“Bagus gak?” tanya Alvin
Jihan mengerjapkan mata lalu menoleh kemudian mengangguk setelah iris mata mereka bertubrukan. “Bagus kok.”
“Yaudah kalo gitu lepas, biar gue bayar dulu.”
Jihan mengangguk kemudian melepas sepatu tersebut seraya berujar pelan. “Oh jadi, beli ini buat adek lo?”
“Enggak, ada satu barang yang dia mau. Kita langsung beli abis dari sini.”
“Sepatunya?”
Alvin berbalik menatap ke arahnya. “Buat lo.”
“Apa? Kak gak usah becanda lagi. Asli! Ini tuh gak lucu.”
“Gue gak becanda kok. Beneran gue beliin. Sebagai tanda terimakasih gue, lo udah temenin gue belanja dan kasih gue solusi terbaik buat kasih hadiah.” Tangan Alvin kembali terulur membelai surainya. “Saran lo bener-bener berguna banget. Jadi terima.”
“Tapi Kak, beneran gak usah.” Tolak Jihan lagi.
“Jangan buat gue gak enak Han, gue emang biasa bayarin temen yang nganter gue belanja. Kalo lo nolak lo jadi pacar beneran gue.” Ancam Alvin.
Jihan membulatkan matanya. “Ok. Ok Gue terima. Tapi cukup kali ini aja. Lain kali lo gini lagi. Gue gak akan pernah nerima Kak. Apapun alesannya.”
Alvin terkekeh pelan kemudian merangkul bahunya. “Jadi maksud lo, lain kali lo mau nemenin gue belanja lagi?”
Jihan membulatkan matanya.
Buk!
Jihan memukul kencang lengan Alvin dengan mata yang membulat sempurna.
“Gak gitu konsepnya!”
***
Sementara itu di café, dengan terpaksa Bastian menggantikan Jihan yang sedang dibawa kabur oleh Alvin. Tak hanya ada Bastian, Gibran, Laura, Dafi, Kevin, Fanya dan juga Dania pun ada di sana. Nongkrong, berkumpul di satu meja yang sama.
“Kak Alvin sama Jihan jadi bahan gibahan lagi ya?” tanya Fanya.
“Lagian Kak Alvin ngide banget jemput Jihan sampe ke depan kelas. Mana pake bukain pintu, ngomong pake suara lembut. Pastilah banyak yang gibahin.” Ujar Dania salah satu saksi dari kejadian tersebut.
“Seorang Alvin bukain pintu?” tanya Laura. Dania hanya mengangguk. Bersamaan dengan itu Laura dan Gibran terkekeh pelan dengan kepala yang menggeleng-geleng tak percaya. “Alvin benera ngelakuin itu?” tanya Laura memastikan yang hanya dijawab oleh anggukan lagi oleh Dania.
“Wow suatu kemajuan. Padahal seumur hidup gue kenal sama Alvin, cuma Mama-nya aja yang dibukain pintu sama dia. Gue aja yang kenal dari jaman pake popok gak pernah tuh dibukain pintu kayak gitu.” Jelas Laura masih dengan diiringi dengan kekehan penuh rasa tak percaya.
“Sepertinya hubungan mereka berkembang lebih cepet dari yang kita duga.” Ujar Dafi. “Agak kaget sih. Gue pikir Alvin sedingin keliatannya. Ternyata enggak?” ucap Dafi yang kemudian terkekeh kecil.
“Makanya Bang jangan nilai orang dari cover doang, perlu tau juga isinya kayak apa.” Balas Kevin.
“Eh bocil sok ngajarin.”
“Tapi emang bener kan?” tanya Kevin tak mau kalah.
Dania berdecak kesal mendengar perdebatan itu. “Stop. Kalian kenapa sih kalo ketemu debat terus. Bosen gue dengernya. Kalo mau debat sana di panggung debat, debat di sini gak guna.” Ujar Dania penuh penekanan.
“Kalian bertiga sama aja. Udah ih! Berisik.” Keluh Fanya dengan suara yang tak kalah nyaringnya. “Tuh liat orang yang kita gibahin dua-duanya udah dateng.” Tunjuk Fanya pada Alvin yang sedang membukakan pintu café untuk Jihan.
“WOW. Apa yang baru aja gue liat?” tanya Laura. “Gak sia-sia gue nongkrong bareng kalian kalo dapet bonus liat sikap manusiawi Alvin.” Lanjutnya.
“Apa nih nyebut-nyebut nama gue? Kangen apa gimana?” tanya Alvin begitu datang.
Laura mendesis. “Gak usah kepedean.”
“Kak maaf telat. Jadi Kak Bas yang repot. Biar aku gantiin sekarang.” Itu kalimat yang Jihan ucapkan pada Gibran begitu Jihan sampai di hadapan mereka semua.
“Santai aja Han, Bastian emang senengnya jadi pengamen begitu. Duduk dulu.” ucap Alvin seraya menarik sebuah kursi untuk Jihan duduki.
“Tapi Kak.”
“Biarin sampe lagunya selesai baru lo gantiin.” Ucap Alvin tegas. Membuat Jihan tak membantah lagi.
“Darimana kalian? Ngedate kok gak ngajak-ngajak?” tanya Fanya.
“Nganterin Kak Alvin belanja sama cari hadiah buat ulang tahun adeknya.” Jawab Jihan yang hanya dihadiahi oleh anggukan tanpa pertanyaan lagi.
“Minum.” Ujar Alvin seraya memberikan sebotol air mineral di tangannya pada Jihan. “Punya lo kok tenang aja. Punya gue di mobil.” Lanjut Alvin ketika Jihan hendak bertanya.
Gibran dan Laura saling melirik mendengar percakapan itu. Mereka berdua pun melirik ke arah Kevin dan Dafi yang tampak biasa saja, lalu ke arah Fanya dan Dania yang mengerutkan kening, heran melihat jenis perhatian Alvin yang menurut mereka tak biasa.
Tak lama setelah itu lagu habis, Jihan mulai menggantikan posisi Bastian yang kini duduk bergabung dengan mereka, mulai menikmati sajian yang ada di meja dengan sesekali berbicara.
“Gue gak tau lo hebat banget maen gitar Kak.” Ujar Dania. “Seru kayaknya bisa gitaran begitu.”
Bastian terkekeh kecil. “Ya gitu, tapi biasa aja sih. Gue cuma hobi doang. Lo tertarik maen gitar?”
Dania mengangguk. “Tertarik tapi selalu gagal, sakit.”
Bastian terkekeh kecil. “Yaudah entar gue ajarin.”
“Sst ... diem.”
Bastian mengalihkan pandangan pada Laura yang memberinya intruksi. “Apa?”
Laura menunjuk ke arah Alvin dengan dagu, Bastian pun mengalihkan pandangannya memperhatikan Alvin yang saat ini sedang menatap ke arah panggung dengan mata berbinar dan senyum tipis yang terpatri apik di wajah tampan itu.
“Kayaknya ada yang lagi jatuh cinta nih.” Sindir Bastian.
Alvin tak memberikan tanggapan, membuat Bastian saling melirik dengan Gibran dan Laura. Setelah itu ia menyenggol lengan Alvin, membuat lelaki itu menoleh ke arahnya sesaat.
Alvin menoleh malas padanya sesaat sebelum mengalihkan pandangan ke arah panggung utama lagi. “Apa?”
“Alvin ... .” Bastian menarik bahu Alvin, membuat lelaki itu berbalik.
“Apa?”
“Ngaku sama gue, lo beneran suka kan sama Jihan?”