[ 2 ] - Tangga

2053 Kata
Suara pekikan terdengar jelas dari arah belakangnya, diiringi dengan suara erangan kesakitan dari seseorang. Pencahayaan berkurang, tak ada sinar temaram di belakangnya. Menegangkan, ia masih enggan untuk menoleh. "Winnie?" Ia memanggil manusia yang seharusnya masih berjalan mengikutinya. Namun, tak didengar adanya jawaban. "Winnie?!" Ia mengulang dengan sedikit penekanan. Firasatnya sangat tidak enak. Tubuhnya seketika kembali lemas, bersamaan dengan munculnya berbagai pikiran buruk yang berkeliaran di benaknya. Sayang sekali, tetap tidak ada respons yang menyahutnya. Irene memutuskan untuk melihat keadaan teman barunya tersebut. Namun, seketika candlestick yang berada di pegangannya melorot, hingga jatuh di antara anak tangga. Menggelinding menuruni petak demi petak, hingga ke tempat paling dasar. Cahayanya padam, membuat keadaan di situ menjadi gelap gulita. Degup jantung Irene berdetak lebih cepat. Sangat cepat, hingga membuatnya sesak napas. Pendar matanya membelalak, pupilnya membesar berkali lipat, berusaha menangkap bayangan tanpa adanya bantuan cahaya. Perutnya terasa mual. Bau amis yang aneh, mulai memenuhi ruang penciumannya. Gadis berambut pirang itu, Winnie, keempat ruas tubuhnya, kedua tangan dan kedua kakinya, menggelepar-gelepar. Bagaikan ikan hidup yang terdampar di daratan tak berair. Ujung tiang lancip yang berdiri persis di depan anak tangga, menusuk kerongkongannya. Merobek kulit serta daging, hingga memperlihatkan mata besi yang menembus keluar. Irene masih ingat persis bagaimana posisi tubuhnya saat itu, bagaimana rupa wajahnya, bagaimana aliran darah yang memercik keluar dari kerongkongannya, semua masih tergambar jelas dalam benaknya. Nuansa yang ia lihat tepat sebelum sinar temaram menghilang. Sesaat sebelum batangan besi penyangga lilin, menggelinding jatuh dari bogem mentahnya. Mata yang melotot penuh, seakan bola matanya hendak melompat keluar. Mulutnya yang menganga lebar, dengan lidah yang menjulur. dengan lidah menjulur, darah mengalir, menetes jatuh ke anak tangga pertama dari rongga terbuka tersebut. Urat-uratnya menegang, membuat lekuk benjolan di sepanjang nadi, terlihat jelas di sekujur kulit putihnya. Hampir seluruh tubuh bagian atasnya tertutup oleh cairan kental berbau tak sedap yang dimuntahkannya. Mata besi tajam itu semakin menembus, membuat rongga yang lebih besar lagi seiringan gravitasi yang menarik raganya ke bawah.  Irene merasakan seluruh persendiannya kaku. Bahunya berguncang hebat, kakinya gemetar tak karuan. Ia seakan-akan tak lagi bisa bergerak. Jangankan untuk berteriak, untuk mengambil napas saja seolah ia sudah tak mampu. Bagaikan patung yang terbuat dari marmer, tetapi memiliki panca indera serta pikiran. Kegelapan kembali mendekapnya dengan paksa. Namun, hal itu justru menjadi penenang baginya, sebab ia terpaksa untuk tidak terus-menerus menatap pemandangan yang membuatnya seolah tak lagi hidup. Tenaganya perlahan terkumpul. Oksigen mulai mengisi paru-parunya, menukarkan karbondioksida yang sudah tertahan hingga batasnya. Ia membuang napas cukup panjang, merasakan dadanya mengempis seiringan. Mengapa aku tak merasa simpatik? Mengapa aku hanya merasa takut, takut akan kematian yang menimpa diriku? Apakah aku kehilangan sisi kemanusiaanku? Irene mencoba menggerakan telapak tangannya yang tadi terasa begitu kaku tak terkendali. Mengepal, kemudian membukanya kembali. Ia merasa darah mengalir di pergelangan, memberikan sedikit energi agar bisa bergerak.  Ia mengangkat tangan kanannya hingga sejajar dengan wajahnya. Seolah melihat garis-garis yang terlukis alami di telapak tangan, walau sebenarnya ia sama sekali tak dapat melihatnya. Kemudian kembali mengepalkan bogem mentah tersebut. Seketika itu juga, tanpa aba-aba ia melayangkan tinju yang dibuatnya sendiri hingga mengenai batang hidungnya. Tak cukup sampai di situ, ia membuka kepalan tangannya sendiri, kemudian menamparkannya pada pipi. Ia meringis, menahan perih yang berangsur-angsur menyebar diseluruh bagian kepalanya. “Bagaimana bisa?” cicitnya tak terima akan kenyataan. Pikirannya memutarkan sebuah memori yang baru saja diamatinya beberapa saat yang lalu, ketika dirinya baru saja turun dari ranjang dan berjalan di lorong gelap tersebut. Ia melihat gadis tersebut, Winnie, berjalan dengan berjingkat-jingkat. Menjaga tiap langkah agar tidak mengenai lumut lembab lebih banyak. Irene ingat, ia sama sekali belum memperingatkan gadis itu bahwa tangga yang akan mereka lalui begitu licin. Kemungkinan untuk terpeleset itu sangat besar, dan sepertinya Winnie menjadi salah satu korban untuk keberhasilannya kemungkinan tersebut. Mungkin dia terjungkal sebelum sempat menyelamatkan diri dengan mencari pegangan tangga. Namun, bagi Irene, apapun penyebabnya kematian gadis pirang tersebut terkesan begitu mengenaskan. Serta konyol. Namun, tetap saja hal itu berhasil membuat dirinya gemetar ketakutan. Padahal ia sudah sering melihat darah, darah binatang, tetapi pemandangan larutan merah kali ini terasa berbeda. Tiba-tiba, aliran udara terasa begitu cepat. Dingin begitu menggelitik, padahal dirinya sudah menggunakan pakaian tebal saat itu. Ia merasakan kehadiran seseorang, yang tak ia ketahui bagaimana wujudnya. Bahkan ia tak tahu apakah yang hadis di situ adalah manusia atau bukan. Irene masih mematung di tempatnya berdiri ketika perasaannya mengatakan bahwa sosok tak dikenal tersebut sedang berpapas arah dengannya. Gema yang ditimbulkan oleh seseorang tak terlihat itu hampir tidak ada. Padahal, ketika tadi dirinya menyusuri lorong, gema yang terdengar sangat kuat. Desir halus sang angin, menghantarkan sebuah gelenyar pada bulu kuduknya. Sebuah bisikan lembut yang terdengar begitu lirih lagi samar. Kalimat demi kalimat yang jelas tertuju untuknya. “Janganlah kematian seseorang membuat langkahmu terhenti dari tujuanmu. Tetaplah hidup, jika kamu benar-benar menginginkannya.” Suara itu memudar seiringan dengan hembusan angin yang bergerak ke atas, pergi melalui dirinya. Kesadaran Irene seperti kembali sepenuhnya. Ia berhenti termenung, perlahan ketakutannya ikut lenyap ditelan kepergian sosok yang tak terlihat itu.  Gelap menjadi pengganti temannya, menjelma menjadi kawannya untuk melepas kesedihan serta ketakutan. Ia bisa tenang ketika silam menghampirinya. Aneh memang, tetapi itulah yang dirasakannya.  Irene mulai memantapkan hatinya. Ia mengangkat wajah ke depan, seolah sedang menatap Winnie yang malang, walau sama sekali tak dapat melihatnya. Sorotnya yang sayu dan gelap, mengesankan kesedihan dan kesendirian yang mendalam. Bibir kecilnya membentuk sebuah garis datar. “Maafkan aku,” bisiknya pada gulita yang membalut dunia pandangannya.  Ia mulai memalingkan tubuhnya, kembali menaiki anak tangga licin tersebut satu persatu. Undakannya semakin membentuk garis lengkung yang berputar. Ia berpegangan pada dinding yang sama lembabnya. Ia merasakan bahwa kegelapan mulai melepaskan dekapan untuknya. Ia mencapai bagian teratas undakan tersebut. Sebuah dinding lengkung tak berkusen menjadi tempat berakhirnya anak tangga yang dilaluinya. Hal pertama yang menyapa penglihatannya adalah gemerlap lintang di angkasa lepas. Bintang-bintang menari di langit kelabu. Gelap yang ditaburkan pecahan gemilau, begitu menenangkan. Bulan pucat dengan malu-malu menatap Irene dengan cahaya putih temaramnya. Seolah menyapanya sembari menebarkan senyuman kasih penuh perhatian. Irene mendongakkan wajah menatap langit yang begitu hidup. Benda-benda langit itu hidup, tidak seperti dirinya yang mati kaku. Ia mengambil langkah. Kini, kakinya menginjak rerumputan dingin, tetapi lembut dan menyenangkan. Ia berada di sebuah taman berbalut rumput hijau yang cukup mempesona. Tempat yang belum pernah ditemui olehnya sebelum ini. Perpaduan dari antariksa yang menyala, dan alas indah yang menjadi pijakannya, benar-benar membuatnya terpana. Seketika Irene menyadari, bahwa bukan hanya dirinya satu-satunya manusia yang berdiri di tempat tersebut. Ia segera menundukkan pandangannya, beralih menatap sekelilingnya. Nyatanya, ia berada di sebuah taman yang dikelilingi oleh dinding tinggi. Di tengah tembok yang mengungkungnya, ada sebuah kastil bergaya gotik yang berdiri kokoh. Kastil tersebut belum pernah ia temui, yang bahkan gambarnya saja belum pernah dilihatnya. Seolah-olah bangunan tersebut lenyap dari peradaban, kemudian menjelma di sebuah tempat antah berantah. Ia sama sekali tak mengenal tempat yang kini menjadi tempatnya menghembuskan napas. Ia kembali meniti langkah secara perlahan, menuju beberapa manusia yang semua tampak seusia dengannya. Hanya ada empat orang di situ, termasuk dirinya sendiri. Sayangnya, tak seorangpun dari mereka yang dikenalnya. Bahkan, ia belum pernah menjumpai orang-orang tersebut. Ketiga orang yang lain berdiri saling berjauhan. Seorang lelaki berdiri di depan pintu masuk kastil tersebut, membelakangi taman yang menjadi tempatnya berpijak. Irene hanya mampu melihat punggung dari orang itu yang memiliki rambut berwarna pirang. Seorang pria lainnya berdiri di seberangnya, melipat kedua tangannya di depan d**a. Pandangan pemuda itu menyorot tajam lurus ke depan. Seolah ia sedang mengamati lekuk kastil besar tersebut dari titik terjauh yang menjadi batas wilayah luas itu. Jaket hitam membalut tubuhnya, memiliki warna yang senada dengan rambutnya, menambah kesan misterius pada si lelaki. Yang terakhir, ada seorang gadis yang kira-kira usianya tak berbeda jauh dengannya. Wanita yang mengenakan gaun merah tanpa corak, duduk tanpa alas di atas rerumputan. Tangannya yang tertutup sarung tangan panjang, tampak asik meraba-raba daerah sekelilingnya.  Irene berjalan menjauhi bangunan kecil yang menjadi tempatnya mengakhiri perjalanan di tangga melingkar. Ia melangkahkan kaki tanpa tujuan. Namun, entah mengapa tapaknya seolah terpanggil untuk mendekati bangunan besar lagi gelap yang terbangun di wilayah tersebut.  Ia semakin mendekat ke arah dinding batu padat yang merupakan bagian kastil tersebut. Jendela yang terpampang di sepanjang temboknya memiliki kaca yang begitu pekat. Sehingga ia tak dapat melihat apa saja yang ada di dalamnya.  Namun, tepat selangkah sebelum ia menggapai bangunan bernuansa khas peradaban tersebut, sebuah rangsangan indera peraba hinggap di bahunya. Secara reflek ia menoleh ke belakang, melihat siapa yang sudah membuatnya menghentikan langkah.  "Irene … ini benar dirimu kah?" Seorang pria jangkung berambut pirang kecoklatan, berdiri tepat di belakangnya. Tangannya menjulur, menggapai pundaknya.  Irene membelalak tak percaya mengetahui siapa sebenarnya sosok yang berada di hadapannya tersebut. Ia tak tahu harus mengekspresikan perasaan itu bagaimana. Antara senang, tetapi juga sedih. Di satu sisi, ia merasa tenang. Namun, di sisi lain, ia juga merasa gelisah.  "Thian, `kan?" Irene masih nampak terkejut akan kehadiran pria itu.  Lelaki yang masih mencengkram bahunya, mengangguk menyetujui ucapannya barusan.  Irene merasa begitu lega melihat respons pemuda tersebut. Setidaknya, ada satu orang yang sudah lama dikenalnya, berdiri di sisinya untuk saat ini. Namun, mimik yang ditampakkannya malah terlihat kaku.  "Kamu tahu sedang berada di mana kita sekarang?" tanya Irene lirih. Ia menatap khawatir ke arah pria tersebut.  Lelaki tersebut menggeleng prihatin. "Sayang sekali, aku juga tidak tahu." Tangannya melepas cengkraman dari bahu Irene.  Irene menundukkan wajah. Rerumputan yang dipijaknya terlihat bergerak bertepatan ketika angin berhembus menerpanya. Namun, tiba-tiba ia merasa mual. Seketika bayangan tentang orang mati, Winnie, kembali menghantui pikirannya.  "Thian ... aku takut," lirihnya.  Pria yang dipanggilnya Thian itu mengelus kepalanya. Ia dapat merasakan aliran kelembutan dari jemari pemuda tersebut. “Tenanglah, kamu tidak sedang sendirian di sini, Irene.” Kalimat yang keluar dari lelaki itu bagaikan hujan yang turun di tengah musim panas, menyejukkan. Namun, perlahan hawa sejuk tersebut tersebut terus meluncur tak terhentikan menuju titik beku terdalam. Irene bergidik ngeri. Ia seakan melihat rerumputan yang dipijaknya terciprat darah segar, kedua tangannya juga bermandikan cairan kental nun amis. Irene tak berani mengangkat wajah untuk menatap pria yang berdiri di hadapannya. Ia tak berani jika melihat lelaki tersebut berlumuran darah seperti yang terpancar di pelupuk matanya. Ia sangat takut jika kejadian yang baru saja disaksikannya benar-benar terjadi padanya, ataupun pada orang yang dikenal baik olehnya, seperti Thian misalnya. Irene mundur hingga tubuhnya menyentuh dinding, seolah menghindari Thian yang masih membelainya. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, bagai bocah yang berusaha melawan titah orang tuanya. “Bukan begitu, Thian. Tidak … tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada kita untuk kedepannya.” Irene membuka mulut, menyampaikan kegelisahan yang sejak tadi menghantui dirinya. Pria tersebut terdiam sesaat. Iris coklatnya menatap Irene dengan sendu. Tak ada senyum yang terpancar dari lelaki tersebut. “Kau pikir aku tidak tahu soal itu?” Irene mengerjap. Ia terlalu takut, sehingga kebingungan untuk menyampaikan apa yang sebenarnya mengganjal pada pikirannya. Benar, siapapun pasti tahu soal itu. Hanya saja, saat ini firasatku mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, aku tetap tak tahu hal apakah itu. “Aku tahu, perasaanmu pasti sedang tak karuan bukan? Sesuatu yang buruk baru saja terjadi, membuatmu begitu waspada dan ketakutan.” Pria itu mengucapkan hal yang persis dirasakannya. Seolah lelaki tersebut mampu membaca pikirannya. “Maka dari itu, tenang dan diamlah! Kamu sedang tidak sendirian di sini, Irene,” lanjutnya dengan sedikit menambahkan penekanan pada kata-katanya. Irene tertegun. Pemuda itu sampai mengulang kalimat yang sama sebanyak dua kali. Ia termenung, sehingga menjadi paham akan maksud kalimat tersebut. Hadapi semuanya dengan kepala dingin, batinnya menyimpulkan apa yang tersirat di kalimat yang dilontarkan lelaki itu padanya. Irene masih menundukkan pandangan ke bawah. Angin kembali berhembus menerpanya, membuat rerumputan yang berada di bawah kakinya berdansa ria. Bercak merah yang tadi melumuri tangannya dan rerumputan tersebut, kini lenyap sepenuhnya. “I-iya, maafkan aku.” Irene merasa kesalahan bertempat padanya. Ia mengutuk dirinya sendiri yang terlalu t***l untuk dapat mengerti maksud dari apa yang dikatakan Thian. Pemuda itu membalikkan tubuh, menjadi membelakanginya. Spontan, Irene mengangkat wajah. Ia tak mendengar Thian merespons ucapannya barusan, membuatnya mengira kalau pria itu terlampau kesal padanya. Perasaan bersalah membuatnya semakin tak enak hati pada lelaki tersebut. “Aku paham akan apa yang kamu rasakan, Irene. Jadi, tak perlu minta maaf,” balas Thian tanpa menatapnya. Hal itu membuat Irene tergampar. Pria yang baru saja mengajaknya bicara memang pandai mengusutkan perasaannya. Perilakumu memang tak bisa ditebak ya, Thian. Namun, hal itulah yang membuatku mengagumimu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN