Seorang gadis mungil membuka kedua pendar matanya ketika seseorang mengguncangkan tubuhnya. Ia sangat tak nyaman dengan kejutan itu. Seingatnya, hingga saat ini belum ada yang membangunkannya dengan cara sekasar itu.
“Hei, bangun! Kau belum mati `kan?”
Suara itu menyeruak masuk ke dalam indera pendengarannya. Ia mengernyit ketika ucapan itu mulai diolah oleh pikirannya. Kalimat yang diucapkan dengan bahasa Inggris fasih, tidak seperti bahasa sehari-hari yang biasa digunakannya.
Pandangannya masih buram, namun ia dapat melihat sosok seseorang yang duduk di sisinya. “Jangan meracau, siapapun kamu yang sudah merusak mimpi indahku.” Gadis mungil itu menggumam dengan bahasa ibu. Ia hendak menutup kembali pendar matanya.
“Speak English, please.”
Ucapan itu membuatnya terjaga sepenuhnya. Ia mengusap pendar matanya, berusaha menjernihkan penglihatan. Tubuhnya terasa berat dan sedikit sakit akibat tak terima untuk bangkit. “Where I am?” Ia merasakan keanehan.
“Aku sendiri tidak tahu. Tetapi, aku bersyukur sebab tidak menemukan mayat yang seranjang denganku.” Seorang wanita muda yang tadi membangunkannya, mengatakan hal yang sedikit menggores hatinya.
“Apakah di matamu, aku terlihat seperti mayat?” Ia melempar pandangan menelisik. Gadis di sebelahnya memiliki rambut pirang berombak, iris mata yang hijau cerah. Seseorang yang belum pernah dilihatnya selama ini.
Gadis yang mengenakan mantel tidur, bisa dibilang harganya cukup tinggi baginya, menganggukkan kepala. “Ya. Habisnya, kulitmu yang putih pucat telah berhasil mengecohku.”
Ia bergerak ke pinggir ranjang kayu, membiarkan kakinya menjuntai ke lantai dingin. Tak ada jendela di ruangan itu, membuat tempatnya menjadi lembab bahkan sedikit berlumut. Seolah sudah cukup lama ditinggalkan oleh pemiliknya.
Hanya ada beberapa batang lilin yang tertusuk di candlestick yang menjadi penerang di ruangan itu. Salah satunya menyala di meja yang tak jauh dari ranjangnya berada. “Baiklah, lupakan tentang itu. Omong-omong, namaku Irene. Sepertinya aku sedang berada di tempat yang tak aku kenal.” Ia berdiri sepenuhnya dengan menjadikan lantai sebagai tumpuan.
“Irene, ya? Panggil saja aku Winnie. Aku sangat tidak menyukai tempat ini.” Gadis berambut pirang tersebut menatap sekitar dengan pandangan yang was-was. Menunjukkan bahwa dirinya seorang seorang wanita pemikat kemewahan yang tidak nyaman dengan segala keterbatasan di situ. Bahkan sejak tadi, dirinya enggan menginjakkan kaki di lantai yang cukup lembab tanpa alas.
Gadis mungil yang memiliki nama Irene, menyambut salah satu candlestick lilin ke dalam genggamannya. “Baiklah Winnie, bagaimana kalau kita menyusuri tempat ini? Mungkin kita bisa menemukan jalan pulang.”
“Kamu yakin? Kita tidak akan tahu apa yang akan kita temui ketika keluar dari pintu itu.” Winnie bergidik menatap pintu kayu yang tertutup rapat di sudut ruangan.
Hanya pintu tersebut satu-satunya sarana yang mampu digunakan untuk melihat keadaan di luar ruangan. Pintu gelap yang menimbulkan kesan angker kuat. Mau tak mau, Irene merasa bahwa dirinya harus membuka pintu itu. Melihat di mana sebenarnya ia berada.
“Lalu kamu ingin mengurung diri di sini sampai kapan?” Irene menahan emosinya, berusaha berbicara lembut pada gadis yang mulai terlihat gusar.
Winnie diam sambil memasang tampang pasrah. Sorot matanya yang terlihat begitu ketakutan, berusaha disembunyikannya dari tatapan Irene yang menelisiknya. Gadis berambut pirang itu menundukkan wajah dalam-dalam.
Ia menarik napas panjang. “Ba-baiklah. Aku ikut denganmu, Irene.” Winnie mengalah.
Irene menuai senyum simpul. “Beradalah di belakangku, kalau kamu merasa takut.” Lengannya menyentuh bahu Winnie, seolah berusaha menenangkan rasa kekhawatirannya.
Winnie mengangguk sebagai respons. Ia mulai menginjakkan kaki di lantai kayu yang lembab. Dingin menggelitik di sekujur telapak kakinya, kemudian merayap hingga ke tungkai. Gadis itu merapatkan mantel tidur berbulunya yang terlihat begitu hangat serta nyaman, membuat Irene sedikit iri melihat kemewahan yang dimilikinya.
Irene berjalan mendekati dinding, lalu mengambil salah satu candlestick yang terpasang di antara rongga tembok. Sebuah tiang besi pendek, dengan enam lengan di bagian atasnya yang menopang tujuh buah lilin pada lengan dan batang porosnya yang berada di tengah. Dari benda yang dipegangnya itu, cahaya temaram berpijar dengan lembut.
Ia memberikan gagang besi itu pana Winnie, memberikan cahaya penerang bagi seseorang yang takut pada kegelapan gulita. Pelita melingkupi gadis tersebut, membuatnya mengembangkan senyum di tengah ketakutan saat menerima benda itu. Senyumnya yang megar, ibarat mentari yang terbit di tengah badai salju, menenangkan.
“Terima kasih, Irene.” Winnie sedikit menundukkan kepala untuk dapat menatap Irene yang lebih pendek darinya.
“Don’t mention it,” balas Irene ramah. Ia mulai melangkah mendekati pintu kayu di sudut ruangan petak tersebut. Disusul oleh Winnie yang mengekor tak jauh darinya.
Irene mengulurkan lengannya untuk membuka pintu. Suara berdecit yang membuat bulu kuduk merinding, memenuhi indera pendengaran mereka. Tanpa mereka sadari, jantung mereka berdegup dua kali lebih cepat.
Pintu memperlihatkan sedikit celah. Kurangnya pencahayaan membuat Irene tak dapat melihat keadaan di luar dengan jelas. Ia memutuskan untuk membuka pintu lebih lebar, mengintip ke dalam kegelapan pekat. Tak ada desir angin, tak ada dengung yang menyelimuti. Sunyi senyap nun gulita.
Irene menarik tangannya yang menggenggam candlestick agar mendekat ke wajahnya, supaya dirinya bisa melihat dalam kegelapan tersebut. Namun, ketika ia sudah dapat melihat, jantungnya seakan berhenti berdegup. Darah seolah berhenti mengalir di dalam nadinya. Keringat dingin bercucuran dari pelipisnya. Napasnya tertahan seketika.
Ia ingin menjerit. Namun, ia terlalu takut untuk mengeluarkan suara sedikitpun. Ia ingin berlari menjauh. Namun, tubuhnya sudah menjadi terlalu kaku daripada ukuran mayat sekalipun. Tenaganya seketika terkuras habis, ketika pemandangan yang super duper mengerikan menyapa penglihatannya.
Pemandangan itu bagaikan neraka. Sosok-sosok berjubah legam tanpa wajah, berbaris di sepanjang lorong yang gulita. Bagaikan makhluk pencabut nyawa yang siap merenggut kehidupan siapapun yang ada di sekitarnya. Mereka tinggi besar, hingga langit-langit bata digapainya.
Irene hampir saja kehilangan kesadaran. Candlestick di genggamannya hampir saja melorot jatuh, dengan pijar yang berubah menjadi padam. Namun, tiba-tiba ratusan sosok mengerikan itu lenyap tanpa sisa, bersamaan dengan sebuah tepukan halus di pundaknya.
“Irene, ada apa?”
Suara gadis yang dikenalnya dengan nama Winnie, terdengar jelas melewati gendang telinganya. Panggilan nyata yang menyebut namanya. Sapaan halus yang cukup menenangkannya. Ibarat mentari yang terbit di tengah badai salju.
Kesadaran Irene berangsur-angsur kembali. Kepalan tangannya mengeras, meremat gagang besi yang menjadi sarana pencahayaannya. Degup jantungnya yang semula sempat hilang, kini kembali terasa berdetak dengan normal. Darah kembali mengalir membasahi nadi. Ototnya kembali lentur, tak seperti orang mati.
Irene menelan saliva dengan sedikit tercekat, meluncur membasahi kerongkongannya. Kemudian ia berdehem untuk mengetes apakah suaranya sudah pasang kembali, apakah pita suaranya masih normal seperti sedia kala. Ia mencobanya.
“Ekhem … ti-tidak. Bukan apa-apa. Aku sepertinya masih sedikit mengantuk akibat tadi kau bangunkan secara paksa.” Irene sengaja berbohong. Ia tak tahu apa yang akan terjadi pada mentari yang bahkan lebih penakut daripada dirinya, jika ia tetap memberi tahu apa yang barusan dilihatnya.
“Oh ya? Tadi kamu seperti hampir ambruk. Kalau benar-benar mengantuk, kamu bisa tidur saja lagi. Aku akan menunggu di sisimu.” Winnie terlihat sama seperti sebelumnya.
Irene jadi berfikir, jika Winnie bisa tetap bersikap tenang seperti itu, berarti apakah gadis tersebut tak dapat melihat pemandangan yang baru saja mengejutkannya? “Aku sudah merasa terjaga sekarang. Tak perlu merasa kasihan padaku. Mungkin saja hipersomnia-ku sedang kambuh.” Ia terkekeh kecil, sebisa mungkin berusaha membuat gadis berambut pirang itu percaya. Sekaligus mencoba untuk mencairkan suasana. Namun, tawanya justru terasa hambar.
“Hmm … baiklah kalau begitu. Bagaimana keadaan di luar?” tanya Winnie.
Sekali lagi, Irene memberanikan diri mengarahkan candlesticknya ke luar. Cahaya temaram memberikan sinar minim, namun cukup untuknya agar melihat keadaan sekitar. Lorong panjang masih terbentang kosong. Sunyi senyap lagi gelap gulita.
Irene meyakinkan dirinya sendiri, bahwa apa yang tadi dilihatnya hanyalah sebuah halusinasi semata. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras untuk menghilangkan gambaran yang tadi muncul di depan matanya. Ia berbalik, menghadapkan wajahnya pada Winnie yang masih menunggu respons darinya.
“Baik-baik saja. Tak ada sesuatu yang perlu dikhawatirkan.” Irene tersenyum pada gadis itu.
“Syukurlah,” sahut Winnie.
Irene berjinjit, lalu bergerak menepuk pundak Winnie. “Winnie, apapun yang terjadi di luar sana, kamu harus siap. Sejauh ini aku hanya mampu melihat lorong gelap. Tetapi, jangan takut. Aku yakin kita akan baik-baik saja.”
“Ya, aku mengerti.”
Irene mengangguk. Ia kembali menarik kusen pintu agar terbuka lebar, kemudian terlebih dahulu melangkah ke luar. Tak ada keanehan, tak ada apa-apa. Hanya lorong batu padat gulita yang entah ujungnya ada di mana. Sepanjang dinding lorong tersebut, berjajar pintu-pintu yang sama seperti yang baru saja dilewatinya.
Winnie berjalan di belakangnya. Candlestick yang berada di genggamannya sedikit menyentuh bahu Irene yang lebih pendek darinya. Langkah mereka menggema di sepanjang lorong yang mereka lalui.
Pintu-pintu kayu yang terpampang di sepanjang dinding lorong tersebut masih tertutup rapat. Mereka masih belum mau mengambil resiko untuk membuka salah satu pintu tersebut. Alih-alih mereka mengikuti kemana koridor tersebut membawa mereka pada bagian ujungnya.
Irene merasa tidak nyaman jika selama berjalan, mereka berdua hanya membisu satu sama lain. “Eh, Winnie, aku belum pernah melihatmu selama ini. Kalau boleh tahu, dari mana kamu berasal?” Ia memulai pembicaraan setelah sekian lama bungkam.
“Aku berasal dari Inggris Raya. Maafkan aku belum memperkenalkan diri dengan benar saat pertama bertemu denganmu tadi.” Winnie berkata cukup lirih. Namun, Irene mampu mendengarnya karena jarak mereka yang dekat.
“Kupikir itu sudah benar. Atau memang anak kampungan sepertiku yang tidak mengerti sopan santun, ya?” Irene mengarahkan candlesticknya ke atas. Ia melihat langit-langit yang melengkung bak arcade. Di ujung sana, terlihat sebuah tangga yang melengkung menuju ke atas.
Di hadapan mereka, sebuah batang besi yang berujung lancip tertanam di tanah tempat mereka berpijak. Batangan tersebut berdiri tepat di depan anak tangga pertama. Mungkin saja kegunaannya untuk meletakkan sebuah candlestick agar seseorang mengetahui kalau di depannya ada tangga melengkung. Tetapi, tiang ini ujungnya dibiarkan terbuka tanpa cahaya, sehingga pahatan tajamnya dapat dirasakan dengan nyata.
“Kamu sendiri berasal dari mana, Irene?” Winnie balik bertanya.
“Aku berasal dari sebuah kota kecil yang terletak di bagian pegunungan Carpathian, Rumania.”
“Really? Kurasa akan menyenangkan kalau aku juga bisa tinggal di situ. Kamu pasti dapat bermain dengan alam sepuasnya, `kan? Orang tuamu juga pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bisa bersamamu, `kan? Mereka pasti menyayangimu, mengajakmu berpetualang kesana kemari. Oh, kamu sungguh beruntung.”
Winnie tiba-tiba menjadi bersemangat ketika mengetahui tempat asal Irene. Ia bagaikan anak kecil yang tak tahu bagaimana suara burung, bagaimana bunyi gemericik air, bagaimana dinginnya desir angin pegunungan. Ia bagaikan anak perkotaan yang terisolasi, dan hanya dapat melihat itu semua lewat layar kaca.
Namun, perkataannya itu membuat Irene terdiam seketika. Ia hanya menutup mulutnya dengan rapat, sambil menebarkan secuil senyum syahdu. Ia menundukkan wajahnya, memandang jemari kakinya yang sama sekali tak tertutup alas kaki apapun. Telapak kakinya merasakan dingin serta lendir dari lumut yang menggelitik.
“Firasatku mengatakan kalau kita harus ke atas. Bagaimana denganmu, Winnie?” Irene dengan cepat mengalihkan pembicaraan.
“Aku ikut saja denganmu. Tetapi, sebenarnya aku juga setuju.”
Irene tersenyum puas. Ia mulai melangkahkan kakinya menyusuri tangga yang terbilang licin akibat banyaknya lumut yang mengerak. Namun, baru lima anak tangga ia lalui, tiba-tiba ia mendengar suara keras yang berasal dari pita suara seorang manusia. Angin di sekitarnya tiba-tiba berhembus kencang. Namun, terpaannya hilang seketika.
“Winnie?” Ia memanggil.
Namun, tak ada jawaban. Sayang sekali, tetap tidak ada respons yang menyahutnya.
***