[ 19 ] - Cerita

1010 Kata
Pertanyaan itu membuat dirinya sedikit kebingungan. Ia sama sekali tidak mengetahui apa yang seorang pembunuh pikirkan ketika terjebak di dalam keadaan demikian. Irene menggelengkan kepalanya, memberi isyarat bahwa ia tak mengetahui jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh gadis tersebut. "Tak hanya membunuh para raksasa pemakan manusia. Aku juga membantai, kira-kira sepuluh orang." Tanpa Irene sadari, gadis itu mau menjelaskannya dengan tenang kepadanya.  "Kenapa?" lanjut Rhea kembali memberi pertanyaan pada Irene. Gadis bersurai putih itu kembali menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Rhea sedikit terkekeh. Namun, tawanya lebih terkesan sadis mengerikan. "Karena aku tahu, kita diteleportasi ke dalam hutan itu adalah sebagai sebuah ajang seleksi. Jika saingan kita berkurang, akan semakin mudah kita menang. Sekolah ini hanya menerima sepuluh siswa saja. Dan kandidat yang lain? Ah, kamu pasti sudah tau jawabannya sendiri." Irene rak merespons. Pikirannya melambung kembali di waktu saat Thian mengorbankan diri demi dirinya. Dalam hatinya, ia memekik keras. Tidak … tidak mungkin! Sekolah ini, tidak mungkin nyata kan? Jerit Irene dalam diam. "Kenapa Irene?" Rhea menatap Irene yang seperti merasa kebingungan.    "Hei, sekolah yang kamu katakan tadi, maksudnya adalah Scolamaginer ini? Bagaimana kamu bisa mengetahuinya, Rhea?" Irene tiba-tiba bertanya dengan spontan. "Legenda mungkin. Ya, tentu saja itu. Sebuah mitologi terkadang memang benar. Dan di dunia ini, semua nyata. Makhluk seperti titan, orka, ratatoskr, dan lain sebagainya. Mereka semua nyata. Dan sekolah ini, walaupun sedikit melenceng dari apa yang dipercaya masyarakat, tapi keadaannya benar-benar ada." Rhea mulai kembali menjelaskan pendapatnya. Ia diam sejenak, sebelum akhirnya mengambil napas panjang serta memalingkan pandangan dari Irene. "Mungkin, dunia ini bisa disebut sebagai underworld. Di mana, mereka yang seharusnya tak nampak, menjadi jelas di dunia ini." Tangan Rhea kembali sibuk membedah bangkai yang telah dihancurkannya itu. Irene mencerna setiap kalimat yang diucapkan gadis itu ke dalam otaknya. Ia terdiam sejenak, menyimpulkan dari apa yang baru saja didengarnya. "Penjelasanmu masuk akal." Namun, seketika Irene kembali teringat akan dirinya yang digigit oleh taring panjang Eris. Dengan segera, ia memegang bagian lehernya yang masih menyimpan bekas luka gigitan dari vampir tersebut. Rhea yang melihat Irene bertingkah, langsung mengamatinya dalam-dalam. "Dua titik itu. Kamu menjadi santapan vampir kah?" lontarnya tanpa memperdulikan perasaan lawan bicaranya yang mulai panik. "Eh? I-iya," jawab Irene dengan gugup karena luka itu terpergok oleh gadis aneh tersebut. Rhea mengambangkan tatapannya pada Irene. "Pantas saja kamu selalu terlihat pucat. Tapi, apakah cerita tentang orang yang digigit oleh vampir akan menjadi vampir lagi itu benar?" Ia mulai merasa penasaran. Irene menggeleng. "Aku tidak tahu," jawabnya kembali. Jelas saja, ia sama sekali tak mengetahuinya. Namun, selama ini ia tak merasakan adanya perubahan. Hanya gejala-gejala anemia yang ia alami. "Boleh aku mencoba membuktikannya? Malam ini bulan purnama bersinar." Rhea mulai mengangkat tubuh dari kursi, dan kembali berjalan mendekati Irene. "Apa yang akan kamu lakukan?" sergah Irene tiba-tiba. Ia tak tahu apa yang otak seorang pembunuh pikirkan ketika mengetahui bahwa dirinya bisa memiliki potensi untuk menjadi seorang makhluk mayat hidup. "Tenang saja. Manusia tak akan mati jika hanya dipotong urat nadinya." Gadis tersebut menempelkan belati dingin di genggamannya pada pipi lesungnya. Senyum mengembang di wajahnya. "Aku juga berpikir demikian. Ta-tapi … apa yang akan kamu lakukan jika diriku benar-benar berubah menjadi vampir?" Irene merasa tidak nyaman dengan tingkah Rhea yang kian menggila. Rhea menempelkan telunjuk lentiknya ke dahi yang sebagian sisinya tertutup poni. "Entahlah. Namun, pastinya aku akan tertarik denganmu. Mungkin, aku akan membelah tubuhmu setiap pagi, lalu membiarkan tubuhmu menyatu kembali. Tenang saja, vampir kan hanya mempan pada serangan di jantung," kekehnya. "E … eh?" Irene panik. Ia tak menginginkan hal itu terjadi padanya. Itu menyiksa. Ya, benar, sangat-sangat menyiksa dirinya. Ia mendadak menjadi gelisah. "Bercanda … hahahaha …." Gadis itu kembali tertawa lepas. Detik berikutnya, ia mulai kembali terdiam dan menatap Irene dengan sorot tajam yang serius. Tidak main-main seperti sebelumnya. Kemudian, ia mulai memegang pergelangan tangan Irene. Lalu, menyayat kulit pucat tersebut. Darah merah segar mulai mengalir dari bagian yang tersobek. Bau amis kembali memasuki indera penciuman Irene. Mengingatkan akan pemandangan dirinya yang terkena darah raksasa yang berhasil ditebas oleh Eris. Beberapa saat mereka menunggu. Namun, luka tersebut tetap terbuka persis seperti sebelumnya. Irene mulai meringis menahan pedih yang tercetak di pergelangan tangannya.  "Hanya sayatan ringan. Tidak sampai menembus nadimu," ujar Rhea mencoba menenangkan. "Tidak mengatup, dan tetap mengeluarkan darah." Irene masih mengamati tangannya yang terluka tersebut dengan seksama. Kemudian, ia melempar pandangannya ke arah gadis bernetra hitam tersebut. "Aapakah itu artinya, aku tetap seorang manusia? Hei, seharusnya benar begitu, `kan?" tanya Irene memaksakan kehendaknya, berharap gadis itu tidak berbuat hal lain yang lebih menyiksa dirinya. "Ya, mungkin. Ah sudahlah. Kembali lah tidur kalau kamu masih lelah. Terima kasih telah mendengarkan ocehanku yang tak masuk akal." Raut wajah Rhea terlihat kecewa. Ia kemudian kembali berdiri dan menjauhi ranjang Irene. Lalu duduk di ranjangnya sendiri. "Tidak apa-apa. Aku yakin, apabila rahasia tersebut hanya kamu pendam sendirian, kamu tak akan kuat. Itu memang sifat alamiah manusia. Tenang saja, aku akan menutup semua yang kamu katakan." Irene mengembangkan senyuman. Berharap ucapannya dapat membuat gadis itu kembali tenang. Rhea menghela nafas panjang. "Kamu tahu, aku paling benci kebohongan." Ia tampak tidak peduli dengan apa yang dikatakan oleh Irene. Bukan tidak peduli, lebih tepatnya, ia belum terlalu bisa mempercayai gadis itu. "Aku tidak berbohong." Irene menegaskan. Mimiknya kini memancarkan kesan serius, menambah kesan tegas pada ucapannya. "Habisnya, kita ini teman, `kan?" Ia mengucapkan kalimat itu sebagai pungkasannya. Tiba-tiba, tatapan Rhea berubah. Ia memandang Irene dengan tatapan terenyuh. "Baru kali ini ada yang mengatakan hal tersebut." Ia merasa senang mendengar hal yang dikatakan oleh gadis bermanik biru terang itu. Irene mengukir senyum manis di wajah putih pucatnya. "Kita saling membantu ya. Dan, jangan sampai ada yang berkhianat." Ia mengatakan sesuatu yang bertujuan untuk menjaga rahasia mereka berdua. Rhea mengangguk untuk mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan apa yang diucapkan Irene. Gadis itu ikut tersenyum cerah dengan sorot mata berbinar seperti biasanya. "Iya, tentu saja, Irene. Aku mengerti itu," balasnya sebagai respons. Irene puas dengan apa yang dialaminya. Ia yakin, bahwa dirinya bisa menjalin hubungan baik dengan teman sekamarnya itu. "Sekali lagi aku ucapkan, salam kenal ya Rhea, dan mohon kerja samanya." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN