Irene membuka kedua belah matanya. Ia mendapati dirinya sedang terbaring diatas ranjang kayu, dengan seprai berwarna merah maroon. Di sisi ranjang tersebut, terdapat jendela yang memancarkan cahaya mentari pagi, agar bisa menerangi bagian dalam tembok batu tersebut. Kemudian, di sebelahnya lagi, terdapat ranjang yang sama dengan yang saat ini ia tempati.
Irene berusaha agar dirinya bisa duduk. Ia memandang sekeliling ruangan yang bergaya klasik. Kamar yang sama, seperti kamar tempatnya terbangun pertama kali di dunia tersebut.
Tiba-tiba, pintu kayu kamar tersebut terbuka. Mengeluarkan suara berdecit karena bergesekan dengan lantai yang terbuat dari ubin. Kemudian, seorang gadis berambut hitam legam yang panjangnya mencapai pinggul, muncul dari balik pintu tersebut.
“Pagi,” sapanya ramah pada Irene. Senyum manis mengembang di wajahnya. Mantel hitam yang dikenakannya, berpadu dengan kulit kuning langsatnya, membuatnya terlihat begitu bersih mempesona.
“I-iya, pagi juga.” Irene membalas gugup. Gadis itu memandang Irene sambil terus menampakkan senyumnya. Ia berjalan menuju lemari yang berada di salah satu sisi kamar.
“Ayo cepat bersiap-siap. Aku yakin, kamu tidak ingin ketinggalan acara makan pagi ‘kan?” ujarnya sambil mengeluarkan sebuah mantel hitam dari dalam lemari.
“Eh, sarapan?” Irene masih terduduk di atas ranjangnya, menatap gadis yang masih berada di depan lemari.
“Iya. Menurut perkiraanku, kamu sudah terjebak didalam hutan dalam waktu yang jauh lebih lama dariku, ya? Jadi, kupikir makan kali ini akan menjadi sesuatu yang spesial untukmu.” Gadis itu tampak bersemangat. Ia meletakkan mantel hitam yang baru saja dikeluarkannya dari dalam lemari ke ranjang Irene.
“Oh ya, kamu bisa memanggilku Rhea.” Gadis bernama Rhea tersebut mengembangkan senyum lebar. Iris matanya yang juga memiliki warna hitam, tampak berbinar.
“Aku Irene. Salam kenal ya, Rhea.” Irene ikut menampakkan senyumnya.
“Baiklah. Kata Nyonya Bianca, mulai saat ini, kamu ditempatkan satu kamar bersamaku. Mohon kerjasamanya ya, Irene.” Gadis tersebut memegang bahu Irene. Pendar matanya tampak berbinar lebar. Namun, tetap memberikan kesan tajam dan misterius.
“Iya. Sama-sama ya. Aku juga mohon kerjasamanya.” Irene tersenyum lega. Ia yakin, bahwa saat ini, dirinya telah berada di dalam kastil iblis. Namun, dengan kehadiran seorang yang mulai ia anggap sebagai teman, semua kekhawatirannya perlahan sirna.
“Ok, cepat ganti pakaianmu ya. Jujur saja, pakaian yang kini sedang kamu kenakan, baunya sangat busuk. Oh ya, kalau mau mandi, lebih baik jangan sekarang. Tempat mandi disini bukan seperti didunia kita. Bentuknya seperti kolam pemandian air panas. Dan itu terletak di luar bangunan kastil. Kuanjurkan, lebih baik nanti malam saja, sebelum tidur.” Rhea menjelaskan.
“Baiklah, aku mengerti. Terima kasih banyak ya.”
“Ya. Aku tunggu kamu di depan pintu kamar ya. Kalau kamu sudah selesai mengganti pakaianmu, kita pergi ke ruang makan bersama,” ucap Rhea bersemangat. Irene mengangguk sebagai jawaban. Segera setelah itu, gadis bertubuh sedikit jangkung tersebut berjalan cepat ke arah pintu dan keluar dari kamar.
Irene memandangi pintu yang kembali tertutup bersamaan dengan gadis yang menghilang di balik pintu tersebut. Ia tak asing dengan wanita yang baru saja mengajaknya bicara itu.
Kalau tidak salah, dia adalah gadis yang malam itu kulihat di taman dengan mengenakan gaun merah, `kan? Dia adalah orang berani menantang wanita berjubah hitam saat itu. Dan kini, dia bisa selamat jauh lebih dulu daripada diriku. Batin Irene.
Rhea namanya … dia pasti kuat. Aku yakin itu. Sungguh …. Pikirnya.
***
Ruang makan yang terletak di lantai dua kastil tersebut, nampak terlalu sepi. Sebuah jendela besar terpampang di salah satu tembok batu yang mengarah keluar. Hanya ada Irene dan Rhea diruangan itu.
“Apa hanya ada kita berdua di sini?” Irene berkata lirih. Meja besar berbentuk persegi panjang dengan kursi-kursi berjajar di setiap sisinya yang mampu menampung hingga sepuluh orang, hanya diisi oleh mereka berdua.
“Tidak. Sebentar lagi, yang lain pasti akan segera tiba.” Bersamaan dengan ucapannya tersebut, empat orang pria remaja yang usianya tidak jauh berbeda dari mereka, masuk ke ruangan tersebut.
Rhea mengembangkan senyumnya. Ia segera memposisikan dirinya duduk di kursi paling ujung, dekat kepala meja. Irene duduk termenung di sebelah Rhea. Pandangannya menatap datar pada para lelaki yang mulai mengambil kursi kosong di hadapannya.
“Kamu yang kemarin baru saja sampai itu kan?” tanya seorang pria berambut merah. Iris mata coklatnya menatap Irene dengan tajam. Namun, ia sedikit menampakkan senyum ramah.
“Iya.” jawab Irene singkat.
“Jadi, dengan begini, jumlah keseluruhan yang berhasil kembali dengan selamat hanya dua belas orang,” ucap pria lainnya yang memiliki warna rambut hitam.
“Aku sih tidak peduli berapa jumlah yang berhasil selamat. Lagi pula, itu salah mereka sendiri. Mengapa mereka begitu lemah,” ucapan seorang pria berambut coklat gelap tersebut sedikit membuat Irene menjadi naik darah.
“Astaga, kalian sudahlah. Jangan bahas hal itu di sini. Lebih baik, coba berkenalan dengan Irene.” Rhea berhasil membuat Irene kembali tenang.
“Oh, namamu Irene ya? Salam kenal. Panggil saja aku Fay.” Pria berambut merah tersebut langsung tanggap merespons ucapan Rhea.
“Ah, iya. Benar. Salam kenal juga ya Fay.” Irene berusaha menampakkan senyum ramah.
“Panggil saja aku Pallas,” ujar pria berambut hitam yang berada di seberang meja, tepat di hadapannya.
Irene memandangi lelaki yang menyebutkan bahwa namanya adalah Pallas tersebut. Memori berdering di dalam benaknya. Lelaki itu, tidak salah lagi, dia adalah orang berjaket hitam yang saat malam itu ikut angkat bicara menghina sosok wanita berjubah hitam tersebut.
Sudah kuduga, mereka berdua memang kuat. Batin Irene.
“Aku Richo.” Pria berambut coklat tersebut memperkenalkan dirinya.
Semua yang ada disitu sudah memperkenalkan diri masing-masing. Hanya tinggal satu orang, yang sejak tadi hanya duduk terdiam dengan melipat tangannya di depan d**a. Pria berambut pirang tersebut tak berucap sepatah katapun.
Tatapan Irene tertuju pada pria tersebut. Dan entah mengapa, kehadiran pria berambut pirang itu seakan telah berhasil menarik perhatiannya.
“Selamat pagi semua …. “ Seorang gadis berambut coklat pudar yang dipangkas cepak tiba-tiba menginjakkan kakinya di ruang makan. Ia menyapa mereka yang tengah duduk di atas meja panjang.
“Pagi juga, Cordelia.” Rhea merespons ramah sapaan gadis bernama Cordelia tersebut.
Gadis bertubuh jangkung yang sepertinya berkepribadian tomboy itu, langsung melesat mendekati Irene.
“Wah, teman kita bertambah lagi ya. Siapa namamu?” Cordelia menarik ujung bibirnya, membentuk lengkung senyum lebar.
“Namaku Irene,” timpal Irene.
“Okay Irene, nama yang bagus! Kenalkan, aku Despina Cordelia. Kamu boleh memanggilku Despina, atau Cordelia, atau apalah sesuka hatimu. Tapi, teman-teman di sini biasa memanggilku Cordelia.” Gadis berpupil hitam tersebut terlihat bersemangat.
“Ya, aku memanggilmu Cordelia saja lah.” Irene tersenyum simpul.
Tiba-tiba, seorang gadis melangkah masuk kedalam ruang makan. “Cordelia, sudah berulang kali kukatakan, jangan taruh pakaianmu sembarangan! Aku lelah membereskan pakaianmu setiap hari.”
Gadis berambut hitam panjang yang dikepang dua tersebut memekik kesal. Kaca mata bundarnya memantulkan cahaya yang dipiaskan oleh jendela besar. Penampilannya yang culun terlihat seperti seorang kutu buku.
Cordelia menoleh kearah gadis tersebut. Mulutnya tersenyum lebar. Wajahnya terlihat tanpa dosa, seakan mengabaikan kekesalan dari gadis kutu buku tersebut.
“Astaga, maafkan aku. Itu sudah menjadi kebiasaanku,” kekehnya pelan.
“Kebiasaan buruk jangan diteruskan!”
“Tapi, Seren, kamu tidak malu marah-marah di depan banyak orang seperti ini?” Cordelia memicingkan matanya. Nada bicaranya seakan terdengar sedang merendahkan gadis yang ia panggil Seren tersebut.
Gadis bernama Seren, membetulkan letak kacamata bundarnya. Ia menatap ke arah meja makan, dimana orang-orang yang berada di situ, semua mengarahkan pandangan kepadanya. Ia menjadi sorot perhatian.
Seketika, wajah Seren menjadi merah padam bagai kepiting rebus. Tingkahnya langsung berubah menjadi gugup tak karuan. Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam, tak berani menatap teman-temannya yang masih menjadikannya pusat perhatian.
“Ma-ma-maaf,” ucapnya gagap. Cordelia malah menertawakan tingkah Seren. Beberapa pria yang sedang duduk diatas bangkunya masing-masing, terlihat menampakkan senyum geli akibat perilaku gadis berkaca mata tebal tersebut.
“Astaga Seren. Aku senang melihatmu gugup seperti ini.” Seorang pria berambut pirang kecoklatan yang baru saja masuk ke ruang makan, menepuk lembut kepala Seren yang masih menunduk. Seren yang mengetahui hal itu, makin gelagapan dibuatnya.
“Ri-Rigel, apa yang kamu lakukan?” Wajah Seren makin menjadi merah. Namun, ia tidak berani bergerak. Ia tetap membiarkan tangan pria tersebut berada di atas kepalanya.
Pria yang bernama Rigel tersebut tak menjawab pertanyaan Seren. Ia malah mengembangkan senyum lebar di wajah tampannya.
“Ekhem … “ Lelaki berambut hitam, dengan hidung mancung dan mata sipitnya, yang berdiri disamping Rigel berdeham. Ia menampakkan senyum samar pada Seren dan Rigel.
“Leo?” Kulit putih di wajah gadis mungil tersebut, kini benar-benar telah memerah bagai tomat. Antara malu, gugup, tapi suka, semua bercampur aduk dalam hati Seren
“Oh, jadi begitu ya?!” Fay berseru dari seberang meja.
Richo bersiul, ditujukan pada mereka berdua.
“Ya ampun, Seren. Astaga!!!” Cordelia memekik girang. Hampir semua orang yang ada di dalam ruang makan tersebut, tersenyum menahan tawa melihat tingkah Seren. Tak terkecuali Irene yang baru saja mengenal mereka semua.
"Senangnya ya, Seren." Seorang gadis bertubuh jangkung yang baru masuk ke ruangan itu langsung mendekati Seren. Rambut sebahunya yang berwarna nyentrik, merah muda, terlihat begitu mencolok. Ia tersenyum sinis sambil menyerobot untuk memegang bahu Seren.
Serem mengerlingkan matanya. "Halley?! Ka-kau mengejutkanku." Ia tergagap.
"Terkadang di balik kesenangan seseorang, akan ada orang lain yang menderita, `kan?" Seorang gadis lainnya yang memiliki rambut pirang berombak, berjalan menuju kursi yang ada di samping Rhea. Gadis itu menunjukkan seringai tak kecut padanya.
"Kau tepat, Stella," balas wanita berambut merah muda tersebut. Ia meninggalkan Seren, kemudian ikut duduk di sebelah gadis pirang tersebut.
Irene kembali memalingkan wajahnya. Namun, entah mengapa, pandangannya hanya tertuju pada seorang pria berambut pirang yang sejak tadi hanya diam. Tak berbicara sepatah katapun. Irene mencoba menatap pria tersebut. Namun, pria itu tak membalas tatapannya.
Iris mata biru milik pria tersebut, menatap lurus kedepan. Begitu dingin dan hampa. Namun, lelaki itu sama sekali tak berkedip. Entah apa yang sedang dilihatnya. Kegaduhan di ruang makan, sama sekali tak bisa membuatnya membuka mulut es nya.
Sebenarnya, siapa dia? Hati kecilnya bertanya seperti itu. Namun, ia sendiri tak mampu menjawabnya. Ia tak mengetahuinya. Hanya saja, jelas sudah pria itu telah begitu menarik perhatiannya.
***
Setelah sarapan usai, mereka semua berkumpul di aula yang terletak di lantai dasar. Semua remaja yang berada di kastil itu, dengan total dua belas orang, mereka menggunakan mantel hitam yang sama. Mantel berbahan kulit terusan, yang panjangnya mencapai betis.
Irene baru menyadari, bahwa apa yang dikatakan oleh Eris tentang akademi Scolamaginer itu benar adanya. Dan kali ini, Irene terpaksa harus menuruti program pembelajaran di tempat tersebut yang dilaksanakan sampai satu kurikulum, dan itu bukanlah waktu yang sebentar.
Sebenarnya, ia sendiri keberatan dengan program kurikulum yang begitu lamanya. Namun, apa boleh buat. Meskipun ia yakin bahwa teman-temannya jauh lebih hebat darinya. Buktinya, mereka mampu kembali lebih cepat sebelum dirinya yang memakan waktu yang cukup lama. Itu pun, ia nyaris mati apabila Eris tak datang untuk menyelamatkannya.
Namun, mereka semua tak akan mampu melawan tentara iblis yang telah disiapkan untuk menjaga mereka selama program pembelajaran di akademi tersebut.
Seorang yang memakai jubah hitam, sosok yang sepertinya bukanlah manusia biasa, ia berdiri di hadapan semua anak remaja yang ada di situ. Berpidato dengan panjang lebar, menjelaskan beberapa detail yang harus mereka ketahui selama hidup di tempat tersebut.
Namun, dari semua yang ia dengarkan, hanya sebuah garis besar yang dapat ia simpulkan.
Ajang bertahan diri yang mereka lakukan di hutan tersebut sebenarnya adalah untuk menyeleksi mereka. Siapa saja yang berhak untuk mendapatkan pengajaran berupa ilmu sihir gelap, langsung dari sumbernya sendiri. Yaitu diajar oleh para iblis sendiri.
Di samping itu, sebelum jumlah murid benar-benar sudah berada di angka sepuluh, mereka akan terus menerus dihadapkan oleh penyeleksian. Serta, siapa pun yang tereliminasi dalam ujian seleksi, sudah bisa dipastikan akan mati.
Irene dapat menyimpulkan sampai sejauh itu. Pikirannya sejak tadi tidak tenang. Ia terus saja dihantui dengan perasaan bersalah atas kegagalan teman-temannya selama seleksi di hutan. Ia terus saja menganggap kalau kegagalan mereka itu berkat kesalahannya.
Selain itu, jangan disangka, walaupun kastil kecil bergaya gotik tersebut tampak begitu sepi dan terlihat hanya dihuni kurang dari lima belas orang. Namun, sebenarnya banyak dari ‘mereka’ yang tak kasat mata berkeliaran di seluruh interior kastil.
Irene dapat melihatnya. Mereka semua sedang menatap, mengawasi anak-anak remaja yang tengah berkumpul di aula. Hingga pada akhirnya, aku akan terus terpaksa untuk tinggal di dunia terkutuk ini. Irene terus membatin seperti itu.
Setelah acara peresmian selesai, mereka semua diberikan sebuah kalung berwarna ungu kehitaman. Sebagai tanda, bahwa mereka adalah murid akademi Scolamaginer.
Acara di siang itu selesai tanpa ada kendala. Namun, entah mengapa, pandangan Irene tak bisa lepas dari mengamati pria berambut pirang tersebut.
Wajahnya tampak familiar. Namun, dia siapa? Pikirnya.
***