"Puncak gunung?" Irene menggumam.
"Iya, gunung yang berada di belakang kastil tersebut. Anggap saja, sekarang kita sedang berada di lembah. Dan untuk mencapai puncak, perlu dilakukan pendakian. Namun, itu sangat merepotkan." Pandangan Eris masih menatap lurus. Namun, tangannya tak lagi menunjuk ke arah depan. Pandangannya mulai beralih ke langit.
Irene ikut memandang langit. Awan hitam pekat yang menaungi wilayah tersebut tetap terpampang di atas sana. Cahaya putih, kilat halilintar, berangsur angsur memancar keluar dari balik awan.
Eris membalikkan badannya, menghadap gadis setinggi bahunya yang masih menatap kilat di langit. Ia bergerak, melangkahkan kakinya mendekati gadis bermantel coklat dengan bulu domba sebagai kerahnya.
"Eris, ada apa?" Irene menyadari, pria tersebut sejak tadi menatapnya dalam. Sama sekali tak berkedip.
Seketika, jantung Irene berdegup cepat. Pria itu mulai berubah wujud, dari sosok lelaki rupawan, menjadi sosok mayat hidup. Kulit putihnya, kini menjadi pucat dan mengering. Cekung tulang pipinya makin terlihat jelas. Kantung matanya terlihat tipis dan menghitam, menjadikan seakan-akan bola matanya akan melompat keluar. Ruas-ruas jarinya, kini bagaikan kulit tanpa daging, terlihat jelas lekuk tulang-belulangnya.
Eris memegang lengan Irene yang gemetar melihat dirinya. Iris mata merahnya menjadi makin lebar, menyorot tajam ke arah Irene. Dengan cepat, ia memposisikan dirinya agar berdiri di belakang gadis tersebut. Sebelah tangannya memegangi pundak gadis yang akan menjadi santapannya.
"Eris … ?" Jantung Irene berpacu semakin cepat. Ia ingin sekali melarikan diri. Namun, cengkraman dari tangan kurus dan bertemperatur dingin tersebut terlalu kuat menahannya.
Eris membuka mulutnya dengan lebar. Menampakkan empat gigi taring yang mencuat lebih panjang dan tajam daripada gigi manusia umumnya.
"Selamat makan," desisnya.
Taring-taring panjang tersebut langsung menusuk kedalam kulit tipis Irene. Merobek beberapa lapisan kulit dan daging, hingga mencapai pembuluh darah di lehernya. Ia menghisap darah yang mampu ia rasakan dari tubuh gadis tersebut.
Hangat darah segar membasahi tenggorokannya. Rasa, yang menurutnya lezat, kembali memenuhi rongga mulutnya. Gadis yang berada di kunciannya, tak berdaya untuk mengganggu makan malamnya.
Namun, tiba-tiba matanya terbelalak. Rasa nikmat tersebut, seketika hilang dari indera perasanya.
Dia bukan gadis biasa. Penglihatan ini … apa maksudnya?
Tak berdaya melepaskan diri, Irene akhirnya pasrah membiarkan vampir tersebut menghisap darahnya. Namun, lama-kelamaan, rasa sakit yang sejak tadi menyiksanya, perlahan menghilang. Ia bagaikan menemukan ketenangan abadi. Dan entah mengapa, matanya menjadi berat. Tenaganya melemah.
"Eris, kalau sudah selesai, tolong gendong aku ya. Aku ngantuk sekali."
Eris masih terbelalak akibat hal yang baru saja dilihatnya. Namun, mendengar perkataan gadis tersebut, dengan sigap tangannya menopang tubuh sang gadis agar tidak ambruk ke tanah.
Perlahan, ia melepaskan taringnya yang tertancap di leher Irene. Sedikit demi sedikit, wujudnya kembali seperti semua. Seorang pria berambut pirang yang rupawan.
Eris menghela nafas panjang. Ia merebahkan tubuh Irene yang seketika tak sadarkan diri di samping batang pohon kering. Pendar matanya menyorot tajam, menatap dalam-dalam lekuk paras mungil gadis tersebut.
Dia terlihat polos tanpa dosa. Kira-kira berapa usianya? Pikirnya.
Kegelapan kian mencekam. Beberapa makhluk aneh mulai bermunculan dari dalam tanah. Memiliki tubuh seperti rayap, dengan kepala naga. Merayap di antara celah tanah dan akar-akar besar yang kering. Suara erangan yang sedikit mengerikan, terdengar nyaring dari balik kegelapan.
Tidak … bukan itu. Tapi, bagaimana bisa, dia memiliki mata, yang sungguh mengagumkan. Seharusnya, dia tidak usah aku kembalikan ke kastil tersebut.
Eris memandang gadis yang masih mendengkur pelan di bawah batang pohon. Kulit putihnya tampak sedikit kusam karena terlalu lama berpetualang di dalam rimba. Namun, tetap saja, wajahnya terlihat cantik alami.
Eris menggerakkan tangannya. Hendak menyentuh tubuh Irene. Namun, tiba-tiba ia merasakan sakit yang luar biasa. Bagaikan leher yang digorok secara kasar dengan benda tumpul. Pandangannya yang sejak tadi menatap ke arah gadis tersebut, seketika pudar digantikan dengan kegelapan pekat. Tak lama, ia tak dapat merasakan apapun. Tubuhnya seketika mati rasa.
“Jangan dekati dia!” Sebuah suara dapat ditangkap indera pendengarnya. Perlahan, cahaya samar mulai masuk, membuatnya dapat kembali melihat keadaan sekitar.
Seseorang, dengan jubah hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh dan kepalanya. Darah segar melumuri jubahnya tersebut. Disampingnya, terdapat Irene yang sedang tertidur pulas, dan juga sebuah tubuh tak berkepala yang terkulai menyedihkan.
Seketika, Eris tersadar, kepalanya telah berada jauh dari tubuhnya sendiri. Netranya sedikit tertutup oleh bercak darah yang muncrat ke segala arah. Tempat dimana kepalanya terjatuh, kini telah membentuk genangan merah.
“Iblis sialan!” pekiknya. Tubuh tanpa kepala yang tengah terbaring di tanah, seketika bangkit berdiri. Tubuh itu menggerakkan tangannya yang dibekali kuku panjang nan tajam, menyerang sosok berjubah hitam yang tadi memenggal kepalanya.
“Pergilah, jika kamu ingin tetap hidup. Saat ini, dirimu sedang berada di kawasan kami. Aku bisa dengan mudah membunuhmu,” ucap sosok tersebut sambil sedikit bergerak menghindari serangan tiba-tiba dari sebuah tubuh tanpa kepala.
“Cih,” desis kepala yang tergeletak cukup jauh. Tubuh tanpa kepala tersebut menghentikan penyerangannya, kemudian berjalan menjauh. Lalu memungut kepala yang telah berlumuran darah., menghentikan pendarahan, kemudian memasang kepala tersebut pada tubuhnya kembali.
“Syukurlah kamu tidak keras kepala. Biarkan gadis ini berada disini. Ia adalah tanggung jawab para iblis.” Kata-kata yang dikeluarkan oleh sosok berjubah hitam, kini terdengar sedikit ramah.
Eris yang telah kembali ke wujud manusia normal, menatap sosok tersebut dengan tajam. “Untuk apa kalian membawanya? Kalian sendiri sudah lebih kuat dari siapapun. Apakah masih kurang puas?”
Terdengar kekehan pelan dari sosok yang diajaknya bicara. Makhluk yang berada di dalam jubah, tak kunjung menampakkan wujud aslinya.
“Kamu adalah pewaris darah murni. Dari garis keturunanmu saja, kamu sudah lebih kuat daripada vampir lain yang bukan pewaris darah murni. Terlebih lagi, ras kalian termasuk menjadi salah satu ras terkuat di dunia ini. Cobalah pahami keadaan. Di tengah kekacauan dunia yang memuncak karena hilangnya sosok pemimpin, apakah pantas dirimu memperkeruh kekacauan tersebut?”
“Apa maksudmu?” tanya Eris pada sosok tersebut.
“Bukankah sudah seharusnya, semua ras di dunia ini bersatu untuk menghancurkan musuh utama? Gunakanlah akal pikiranmu. Bersyukur kamu masih memiliki akal sehat. Tidak seperti hydra yang kuat, namun tak berakal.”
Eris menghela nafas. Ia paham dengan apa yang diucapkan sosok tersebut. Namun, mengapa seakan harus melibatkan gadis tersebut dalam pihak mereka?
“Bukan berarti, karena kalian yang paling kuat, maka kalian akan mengambil alih kepemimpinan berikutnya, ya! Aku sudah muak berada terikat pada peraturan. Kekosongan pemimpin saat ini, adalah kebebasan.”
“Kami tidak senaif itu. Baiklah, sekarang, tolong kamu tinggalkan tempat ini. Dan, yah, setidaknya kuucapkan terima kasih, karena telah berbaik hati mengantarkan gadis ini pulang.”
Eris menggelengkan kepalanya. “Setidaknya, aku tak ingin mendengarkan ucapan itu dari sosok iblis. Menjijikan.”
Ia kemudian berpaling, pergi meninggalkan sosok berjubah hitam dan gadis berambut putih di tempat itu.
***