Pertanyaan itu terus berdering di dalam benak Irene. Lalu, dari lubuk hati terdalamnya, sebuah suara bergetar memecahkan semua pertanyaan itu. Benar, Thian melakukan itu karena ingin menebus kesalahannya. Dasar, kenapa aku tidak menyadarinya sejak pria itu sudah nekat berhadapan dengan para raksasa sih? Ia mengutuk dirinya sendiri.
Sudah terlambat baginya untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam di dalam hatinya para Thian. Lelaki itu sudah pergi mendahuluinya, dengan tidak terduga. Semua terjadi begitu cepat, tentu saja. Tak ada yang bisa membantah itu.
Irene hanya berpacu dengan pikirannya sendiri. Tanpa memperdulikan sekitarnya. Termasuk lelaki vampire yang baru saja tadi menyelamatkan hidupnya.
“Panggil aku Irene,” ucapnya setelah lama saling membisu. Pria yang sedang membenahi pakaiannya tersebut, melirik tajam ke arahnya.
“Aku Eris.” Responnya singkat. Irene berusaha menampakkan senyumnya, walau terlihat hambar.
“Salam kenal, Eris. Omong-omong, kemana kamu akan pergi?”
“Apa untungnya jika kamu mengetahui?” Pria itu mendengus tak acuh. Wajah rupawannya terkesan begitu dingin tak berperasaan.
“Tidak. Hanya saja, jika mungkin arah tujuan kita sama, kita bisa pergi bebarengan.”
“Kamu sendiri, kemana kau akan pergi?”
Seketika, Irene terdiam. Sorot matanya terkesan mengembunkan lara. Ia sadar, bahwa dirinya tak akan mampu menjawab pertanyaan itu dengan benar.
“Aku … ingin pulang.” Irene berkata lirih.
“Ke kastil iblis, maksudmu?” lontarnya.
“Eh … i-iya. Kau benar.” Irene terkekeh pelan. Meskipun jauh didalam lubuk hatinya, ia tak ingin kembali ke kastil tersebut.
Apa yang aku katakan? Padahal, tempat pulang yang aku maksud bukanlah tempat itu. Tolong lah, siapapun, tolong bawa aku kembali ke duniaku. Aku benci tempat ini!
“Aku tahu jalan untuk sampai kesitu. Tidak cukup jauh dari sini. Mungkin, kalau tadi kamu terlalu jauh masuk ke hutan, kamu tak akan bisa berada di tempat strategis ini.” Eris menjelaskan.
Bodoh. Padahal yang membawaku ke tempat ini adalah iblis sialan tersebut. Tolong lah, bawa aku pergi. Berontaknya di dalam hati.
Irene terlalu sibuk dengan pikirannya. Ia hanya terdiam tanpa merespons perkataan Eris.
“Bagaimana? Mau kuantarkan?” Melihat Irene yang hanya diam, Eris mengajukan pertanyaan.
“Te-tentu saja. Terimakasih banyak ya.” Irene menjawab gugup. Ia masih tak yakin dengan pilihannya. Baginya, tempat itu seperti neraka. Makhluk-makhluk aneh yang menyeramkan, semua berkeliaran bebas disana. Tetapi, mengapa hanya ia yang melihatnya. Sedangkan yang lain, tidak.
“Kenapa? Kau tampak meragukan.” Eris memperhatikan wajah mungil Irene yang berusaha menghindari kontak pandangan dengannya.
“Tidak, bukan apa-apa.” Irene menggelengkan kepalanya. Bibirnya membentuk lengkung senyum yang sedikit datar.
Eris menatapnya. Iris mata merah menyipit, sedikit memandang aneh pada Irene.
“Kalau kamu tak mempercayaiku, itu sih hal wajar. Dan jika kamu benar-benar menginginkan tuk kembali ke tempat itu, kita harus pergi dari sini. Sekarang,” ujarnya tajam.
“Mengapa begitu terburu-buru? Padahal aku baru saja, bisa sedikit bersantai disini.”
“t***l. Sudah banyak vampir lain yang berada disekitar sini. Mereka berbeda, bukan tipe sepertiku. Kamu bisa mati dikeroyok oleh mereka!" tegas Eris. Irene terdiam. Ia masih tak mengerti, mengapa pria tersebut seakan mengkhawatirkan keselamatannya.
Eris berdiri. Ia menatap sekelilingnya dengan waspada. “Ayo pergi!”
“Bukannya semua vampir sama ya? Mereka hanya menginginkan darah manusia dengan cara apapun. Kamu sendiri, apa tujuan kamu menolongku?” Tatapan gadis bermata biru tersebut menyorot pada Eris dengan tajam. Tentu saja, ia tak mempercayai Eris.
Banyak orang yang berpura-pura baik, hanya untuk menarik simpati orang lain. Kemudian, diwaktu yang dirasa tepat, ia akan menjerat orang tersebut dalam arus malapetaka besar tak berujung.
Kini, pria tersebut balik terdiam. Ia memejamkan kedua belah matanya, kemudian menghela nafas panjang. “Kau sangat cermat ya. Maafkan aku karena terlalu egois. Tapi, jujur saja, aku tak akan membiarkanmu sampai terbunuh.”
“Apa maksudmu?”
“Seorang manusia memiliki sel darah merah yang terbatas dalam tubuhnya. Seorang vampir berdarah murni seperti diriku, biasanya hanya minum sedikit dari keseluruhan sel darah tersebut. Lalu, apa yang akan terjadi, apabila tiga vampir menghisap darahmu secara bersamaan?”
“Anemia akut, mungkin.”
“Bahkan, kematian juga sangat memungkinkan.” Eris memalingkan pandangannya dari gadis mungil yang masih terduduk di sebelahnya.
Irene tersenyum simpul. Pandangannya kini menyorot lembut pada pria tersebut. “Baiklah, aku mengerti. Tapi, intinya kamu masih menginginkan darah manusia kan? Aku pikir, tadi kamu benar-benar tak tertarik.”
“Maaf. Tapi, tenang saja, darahmu akan beregenerasi dalam seratus dua puluh hari. Kupikir, itu tidak terlalu buruk. Kau hanya akan mengalami sedikit gangguan anemia ringan. Sekali lagi, tolong maafkan aku. Aku benar-benar tak bisa menyerap nutrisi dari makanan yang kumakan. Aku hanya mampu menyerap nutrisi dari darah.”
“Tak perlu minta maaf. Justru, harusnya aku yang berterimakasih padamu. Tapi, penjelasanmu mengenai regenerasi sel darah, membuatku teringat akan pelajaran biologi.” Irene mulai bangkit dari duduknya. Ia terkekeh, mengingat pelajaran yang sangat digemari oleh temannya tersebut.
Thian ….
“Biologi? Istilah apa itu?” Eris nampak bingung dengan ucapan Irene.
“Eh, ti-tidak ada. Lupakan,” ucapnya gagap. Ia lupa, bahwa seutuhnya dunia yang kini ia tempati, bukanlah dunia tempatnya tinggal. Rumah yang aman, kota yang damai, masyarakat yang teratur, bahkan teknologi yang maju, semuanya tak lagi ia temui di dunia ini.
“Huh, baiklah kalau begitu. Mari pergi,” ucap Eris santai.
Irene menganggukkan kepalanya dengan semangat. Menyetujui ucapan Eris. Mereka berdua segera pergi, meninggalkan tempat yang setengah rusak, akibat langkah-langkah besar milik raksasa.
Thian t***l. Seharusnya kamu masih bisa bertahan hidup. Tapi … yah, sudahlah.
***
Hutan yang kini mereka lalui sangat berbeda. Tak ada pepohonan hijau yang tumbuh di sekitarnya. Langit semakin gelap. Sinar rembulan tak mampu menembus pekatnya awan hitam yang yang menaungi wilayah tersebut.
Hanya batang-batang pohon besar tak berdaun yang tumbuh di daerah itu. Tampak gersang tak berpenghuni. Kabut tebal menyelimuti hutan aneh tersebut.
Eris berjalan di depan Irene. Gadis itu tampak santai. Sambil menyusuri tanah yang retak, ia memandangi keadaan sekitar dengan mendetail.
Tak ada yang aneh. Perjalanan mereka terlalu lancar, tak ada hambatan yang begitu berarti. Irene akhirnya bisa sedikit tenang, setelah beberapa hari sebelumnya, selalu dibayang-bayangi oleh keganasan raksasa yang memangsa teman-temannya satu persatu.
Dari sekian banyak yang ikut masuk kehutan bersamaku, apa tinggal aku seorang yang selamat? Batinnya.
Irene menggelengkan kepalanya dengan kuat. Sebisa mungkin ia mengusir pikiran buruk tersebut.
Tidak mungkin. Pasti beberapa yang lain juga ada yang berhasil selamat. Bantahnya pada diri sendiri.
Ia meneguhkan hatinya. Meskipun begitu, entah mengapa perasaan takut tak kunjung pergi meninggalkannya.
"Irene, lihatlah, bangunan yang dikhususkan untuk murid Scolamaginer sudah terlihat. Jika kamu mau pergi ke kastil utama, kamu harus mendaki hingga ke puncak gunung." Eris membuka mulut. Tangannya menunjuk jauh kedepan.
Irene mengarahkan pandangannya pada arah yang ditunjuk Eris. Aneh, walaupun bangunan tersebut masih ribuan meter jauhnya. Dan daerah sekitar ditutupi oleh kabut tebal. Namun, ia mampu melihatnya dengan jelas.
Sebuah kastil bergaya gotik yang tidak terlalu besar, dan hanya memiliki satu menara utama, dengan dinding kokoh yang tinggi. Di balik tembok pagar batu yang mengelilinginya, terdapat bangunan dengan banyak jendela.
Aneh, aku seperti terlempar ke masa lalu. Disaat kastil-kastil kuno masih berdiri sempurna. Belum runtuh seperti yang kebanyakan terjadi. Batin gadis bersurai putih tersebut.