[ 13 ] - Jenis Lainnya

2007 Kata
Derap langkah cepat terus melaju. Melewati becekan air yang membentuk sebuah genangan kecil. Kaki panjang Irene tak berhenti untuk terus membawa tubuhnya menjauh. Ia tak tahu arah. Ia tak tahu kemana dirinya akan pergi. Satu-satunya hal yang berada dalam pikirannya hanyalah, tak membiarkan giant memakan dirinya. Kenapa malah jadi seperti ini? Kenapa Thian sampai senekat itu untuk mengorbankan dirinya sendiri? Andai kata saat itu aku tidak menghantamkan kepala Nolan ke pohon, aku yakin semua tidak akan seburuk ini. Irene melontarkan kalimat demi kalimat yang berperang di dalam bekanya. Irene kembali mengingat kejadian kemarin. Semua kehangatan yang ia rasakan bersama pria itu. Ketika senyumnya bersandar di gemerlap lintang. Entah mengapa ia merasa semuanya berlalu begitu cepat. Semua berubah dengan begitu mengerikan. Ia mengalahkan diri sendiri atas segala yang telah terjadi. Kumohon,  apakah saat Thian baik-baik saja? Oh tentu saja tidak. Tolong jangan berprasangka yang tidak-tidak. Aku ingin dia masih hidup. Kalbu Irene melontarkan sebuah omong-omongan kosong. Sekilas, bayangan akan sosok pria jangkung, temannya sejak pertama ia masuk ke panti asuhan. Seorang yang ia anggap sebagai kakak sendiri, tetapi ia selalu menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar adik kakak itu kembali muncul di hadapannya. Senyum syahdu terlukis di wajahnya. Matanya terpejam, seakan enggan tuk menatap Irene. "Thian … " Namun, seketika bayangan itu sirna. Dan Irene kembali melihat lebatnya pepohonan yang hijau. Menghalau cahaya mentari untuk masuk ke dalam naungan hutan. Tanah kembali bergetar. Suara hentakan langkah yang teredam keras kembali terdengar. Dari jarak yang cukup jauh, mata Irene mampu menangkap, sosok raksasa mulai bangkit dan mengejarnya. Kini, ia tersadar. Thian tak akan mampu menghadapi raksasa tersebut. Dia hanya berlagak, dan menenangkan. Namun, kenyataannya, ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Bayangan itu nyata. Bagaimana mungkin, aku bisa melihat sesuatu yang orang lain tak bisa melihatnya? Pikirannya berputar. Antara pikiran, dan tubuhnya terus berpacu. Hal aneh yang baru saja dirasakannya. Seakan membuatnya terjebak dalam sebuah lingkaran pertanyaan yang tak mungkin terputus tanpa jawaban. Lebih sialnya lagi, bayangan itu mengatakan, bahwa sebentar lagi, adalah giliran diriku yang akan diterkam oleh raksasa tersebut. Batin Irene. Irene tak mengurangi kecepatannya dalam berlari. Meskipun begitu, kecepatan milik sang raksasa jauh lebih besar darinya. Dalam sedikit tempo, jarak antara mereka berdua semakin menipis. Dengan keadaan tersebut, sang raksasa mengulurkan tangannya. Berusaha meraih tubuh Irene yang berlari semakin menggila. Irene tak berani menoleh ke belakang. Ketakutan merajalela dalam dirinya. Aku bukan takut pada kematian. Hanya saja, aku belum siap untuk menghadapinya. Pikirannya bolak-balik memikirkan banyak hal. Itu membuat dirinya sendiri bingung. Irene dengan gesit menghindari sambaran dari lengan raksasa. Ia berlari zig-zag, berusaha sebisa mungkin untuk membawa dirinya, agar tidak tertangkap oleh monster tersebut. Iris matanya menatap ke atas. Dimana cabang dan tangkai besar mencuat di sana. Bisa digunakan sebagai pijakan oleh mereka yang bisa terbang, ataupun melompat tinggi. Namun, sayangnya, Irene bukan salah salah satu dari keduanya.  Pendar mata bulatnya terus mengamati keadaan sekitar dengan cermat. Berharap, sebuah peluang terbuka untuknya. Ia benar-benar yakin, bahwa ia tak akan mati sekarang. Pesan yang disampaikan Thian seakan kembali bergema dalam kalbunya. 'Tetaplah hidup. Karena, selama kamu masih hidup, kamu akan terus memiliki pilihan dan alasan kenapa kamu terus bertahan.' Kalimat yang dikatakan oleh pria tersebut kepada dirinya beberapa hari yang lalu. Ia masih ingat jelas, saat itu. Ketika pria tersebut berusaha menenangkan dirinya yang begitu ketakutan di tengah malam. Tanpa sadar, senyum mengembang di wajahnya. Binar kembali terpancar dari pendar mata birunya. Ah, kenapa aku malah mengingat hal itu sekarang? Namun, tak masalah sih. Itu kenangan yang indah. Batinnya tergores, kenangan lama bermunculan dari dalamnya. Irene memperlambat lajunya. Ia tersenyum pasrah, mencoba menerima takdir yang akan menimpanya. Tangan besar sang monster kembali terjulur untuk menangkap dirinya. Gadis cantik nan lugu tersebut, memejamkan kedua belah matanya. Dan menarik napas panjang. "Baiklah … " Kita tak pernah bisa selalu memastikan, bahwa sesuatu akan terus berjalan sesuai keinginan. Banyak hal yang tidak kita pikirkan, dan muncul membuat semuanya menjadi tak terduga. Kedua kakinya sudah tak lagi mampu menopang beban tubuhnya. Pelarian yang sia-sia. Harapannya untuk kembali pada tempat tinggal nyaman di dalam panti, kini telah pupus. Bersamaan dengan dirinya yang ambruk, tangan besar sang raksasa menangkapnya. “Maafkan aku,” ujarnya lirih. Tubuhnya mulai terangkat dari permukaan tanah. Ia benar-benar merasa kalau semua ini terjadi akibat kesalahannya. Akibat ketololannya. Akibat kenaikannya. Serta semua sesuatu yang buruk yang bisa ditemukan darinya.  Kini, ia bisa mencium bau nafas busuk dari raksasa yang tengah membuka mulut ganasnya. Serpihan tulang dan daging masih tersisa dalam rongga mulut yang menjijikkan. Tak sengaja, gadis berparas cantik tersebut, melihat sobekan pakaian milik Thian yang terselip diantara gigi-gigi sebesar tubuh pegulat dewasa yang berjejer memenuhi rongga mulut kotornya. Emosi membakar kalbu. Ia mulai meronta. Memukul-mukul tangan besar yang menangkapnya. Namun, itu tak berarti apapun bagi sang giant. Raksasa tak berakal itu mendekatkan tubuh Irene ke mulutnya. “TIDAK! JANGAN MAKAN AKU!!!” jeritnya. Tetaplah hidup, Irene, Suara itu kembali terngiang di benaknya. Irene terbelalak. Emosi memuncak dalam dirinya. Pesan dari Thian, yang sudah mengorbankan dirinya. Seharusnya, ia tak menyia-nyiakan pengorbanan tersebut. “LEPASKAN! LEPASKAN AKU!!!” Irene memekik. Dengan sisa tenaganya, ia mencoba menahan agar tubuhnya tidak masuk kedalam mulut raksasa yang terbuka lebar. Ia merentangkan kedua ruas tangan dan kakinya, mengganjal agar giant tersebut tidak bisa memangsanya.     Sial. Aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tenaga Irene sudah mencapai batasnya.  Tiba-tiba, percikan darah segar melumuri tubuhnya. Genggaman raksasa itu melonggar, membuat Irene langsung terjatuh dari tempat yang cukup tinggi dari permukaan tanah. Namun, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, sesuatu yang bergerak begitu cepat, mendorongnya. Membuatnya tersudut oleh pohon yang kini berada di belakangnya. Raksasa itu dengan spontan ambruk kedepan. Membuat tanah yang berada disekitarnya kembali bergetar. Partikel ringan terangkat, bersamaan dengan robohnya monster tersebut. Beberapa diantaranya, menyeruak masuk kedalam netra beningnya. Membuat penglihatannya pecah berair. Sosok yang tadi menyebabkan dirinya selamat, kini berdiri dihadapannya. Seorang pria berambut pirang. Pupil merahnya menatap kearah Irene dengan tajam, bagaikan elang yang mengincar mangsanya. Batang hidungnya mancung lancip. Dengan bibir mungil yang terkatup rapat, membentuk bidang datar. Namun, tetap tidak bisa menyembunyikan gigi taring yang mencuat keluar. Kuku tangan pria itu runcing berwarna hitam. Merah darah segar juga melumuri kedua lengannya. “Siapa kamu?” Entah mengapa, suara yang dikeluarkan Irene, kini menjadi gemetar. Pria yang berada di hadapannya memang tak semengerikan monster yang tadi mengejarnya. Namun, aura yang dipancarkan nya mampu membuat Irene bergidik ngeri. Bagaimana tidak menakutkan? Ia mampu membunuh raksasa ganas tersebut dengan mudah dan hanya menggunakan tangan kosongnya. “Siapa aku? Itu tidak penting.” Pria itu bersimpuh sebelah lutut. Kemudian salah satu tangannya menjepit pipi Irene. Memaksa Irene untuk membuka mulut. “Asal kamu tahu, mendapatkan makanan bernutrisi murni di dalam rimba ini adalah sesuatu yang hampir tak pernah terjadi.” Tangan sebelahnya bergerak menahan kedua lengan Irene. Gadis yang telah kehabisan tenaga itu tak lagi dapat melawan. Hanya rasa sakit dan memar yang mampu dirasakan di sekujur tubuhnya. “Dan aku beruntung menemukanmu,” lanjutnya. Pria berwajah rupawan tersebut melepaskan tangannya dari pipi Irene dengan kasar. Menyisakan rasa sakit pada tulang pipinya. “Ya, aku mengerti. Kalau kamu menginginkan darahku, silahkan saja.” Irene berkata tak acuh. Namun, dalam lubuk hatinya, ia sangat bersyukur. Setidaknya, ia tak berakhir mengenaskan di dalam mulut busuk raksasa. Pria tersebut menarik sudut bibirnya, membentuk senyum tipis yang samar. “Aku senang, kamu cepat tanggap.” Tatapannya menyorot tajam kearah Irene. Gadis berambut putih tersebut membalas tatapannya. Mereka beradu pandang. Tiba-tiba, pria itu merogoh sesuatu yang berada dalam jubah gelapnya. Lalu, melemparkannya kepada Irene. Spontan, Irene menangkap benda tersebut. “Makanlah, kamu pasti lapar kan?” ujarnya. Irene terkejut mengetahui benda yang baru saja di tangkapnya. Sepotong roti gandum yang menggiurkan selera. Sudah beberapa hari, ia hanya memakan daun dan akar pepohonan selama berada di hutan. Ususnya seakan meronta untuk meminta agar ia menyantap roti tersebut. Asam lambung yang terasa membakar, meminta agar sesuatu yang sedikit berat dapat tercerna di dalamnya “Eh, apa maksudmu?” Irene masih tak percaya. “Lah? Kamu tidak mengerti apa yang aku ucapkan?” Pria itu menyipitkan pandangannya, membuat matanya terlihat runcing bagai hunusan pedang. “Bu-bukan begitu. Tapi, apa kamu serius?” “Tentu saja. Lagi pula, dengan keadaanmu yang begitu payah. Tanpa makanan, hidupmu tak akan bertahan lama,” jawabnya. Kulit putih Irene, kini menampakkan rona merah. Ia merasa malu telah menduga hal yang tidak-tidak pada pria tersebut. “Terimakasih banyak.” Bibir tipisnya melengkung, menampakkan senyum manis yang menggemaskan. Lelaki itu mengangguk sebagai respons. Tanpa pikir panjang, Irene langsung menyantap dengan lahap roti tersebut. Sedikit, tenaganya mulai pulih. Walaupun memar masih berdenyut perih di sekujur tubuhnya. Pria berkulit pucat tersebut ikut duduk bersandar di samping Irene. Ia memandang gadis itu tajam. Irene yang merasa diperhatikan, akhirnya menoleh. Balas menatap lelaki itu. “Apa kamu tidak lapar?” Irene memulai. Ia agak tidak enak hati, melihat pria tersebut hanya menatap dirinya yang sedang makan. Tanpa melakukan apapun. Melihat Irene yang simpatik, pria tersebut memalingkan wajahnya. “Tidak. Aku baik-baik saja.” “Oh ya?” “Tentu saja. Vampir berdarah murni sepertiku, bila lapar, maka cukup memakan makanan layaknya manusia.”  “Loh? Bukannya vampir harusnya minum darah ya?”  “Darah hanya sebagai sumber nutrisi.” “Oh ya, tadi kamu bilang kan, bahwa sulit mencari makanan bernutrisi di dalam hutan ini. Artinya, jumlah manusia disini hampir tidak ada dong?” “Ya ampun. Mana ada manusia yang hidup disini. Kamu berasal dari mana sih, sampai pengetahuan yang paling umum begitu saja tidak tahu?” “Aku tinggal di Sibiu, Rumania.” Irene mengatakan tempat asalnya. “Eh, Sibiu? Rumania? Aku tak mengerti. Kawasan manakah itu?” Pria yang tampak berusia tak jauh darinya, tampak bingung dengan perkataan Irene. “Eh???” Irene sendiri tak mengerti. Ia luput. Saat ini dunia yang ia tempati berbeda dengan dunia yang menjadi rumah ternyamannya. Pantas saja kalau lelaki itu tak mengerti apa yang ia ucapkan, layaknya orang linglung yang tak mengerti arah umum di peta bus kota. “Kenapa?” Pria itu menatap Irene dengan pandangan aneh. “Ah, tidak apa-apa. Ingatanku sepertinya bermasalah.” Irene tersenyum malu sambil menjitak kepalanya sendiri. Pria itu hanya mengerlingkan penglihatannya, kemudian diam sejenak di sebelahnya. “Atau mungkin, kamu tahu sesuatu, dan mencoba menyembunyikannya.” Kata-kata tajam keluar dari mulutnya. Pria itu mulai menatap Irene kembali. “Eh, iya. Ya sudahlah. Aku berasal dari sebuah kastil yang didalamnya dikuasai oleh iblis. Aku sepertinya lupa, apa nama tempat itu.” Irene menjawab bimbang. Satu-satunya tempat yang pernah ia ketahui, hanyalah kastil iblis, tempat semuanya bermula. Hanya itu yang ia ingat semenjak terbangun di dunia aneh ini. Tatapan pria tersebut berubah. Ia tampak terkejut dengan pengakuan yang baru saja diucapkan Irene. Mereka membisu cukup lama. “Ada apa?” “Kamu, siswa akademi Scolamaginer kah?” Pria itu melontarkan pertanyaan yang tidak Irene mengerti. “Scolamaginer?” ulangnya. “Eh? Oh, jadi begitu. Lupakan saja.” Tatapan pria tersebut kembali menjadi tajam tanpa ekspresi seperti semula. Irene benar-benar tak mengerti. Otaknya tak bisa memahami perilaku maupun kata-kata yang diucapkan pria tersebut. Sebenarnya, apa maksud semua ini? Ia ingin sekali melontarkan pertanyaan itu. Namun, sepertinya pria vampire dingin itu tak akan mudah untuk mau menjawab pertanyaannya. Dilihat dari rupa wajahnya yang terlihat sedang tidak bersahabat. Irene lebih memilih untuk diam. Ia merapatkan lututnya untuk menempel pada dadanya. Kemudian memeluknya dengan rapat. Hal itu membuat pikirannya menjadi sedikit lebih baik. Kepingan memori masih berserakan di dalam benaknya. Ia tak bisa tenang. Bahkan, perpisahan terakhirnya dengan pria yang selama ini dikaguminya sama sekali tak meninggalkan kesan yang mendalam. Ia hanya merasa bersalah, dan semakin merasa bersalah ketika kembali mengingat semua kenangan itu. Ia menatap tangannya sendiri yang begitu kotor, serta menjijikkan. Namun, di balik semua itu, tangganya itulah yang digenggam erat oleh Thian untuk membawanya berlari menjauhi gerombolan raksasa tadi. Sebuah pemikiran melompat di dalam benaknya. Bagaikan ikan yang menembus permukaan air yang semula tenang. Thian pasti juga merasakan hal yang sama dengannya. Pria itu pasti merasa begitu bersalah telah mengorbankan Nolan hanya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Maka dari itu, alasannya untuk menghadapi para raksasa tadi seorang diri, mungkinkah untuk menebus rasa bersalahnya?  ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN