Kejadian tidak terduga
Entah sudah berapa kali sedari tadi Khai memperhatikan jam yang ada di pergelangan tangannya, pasalnya besok adalah hari penting dalam hidupnya di mana ia dipromosikan menjadi GM di tempatnya bekerja, tapi di satu sisi ia masih ingin bersama teman-temannya menikmati malam ini hingga akhir. Khairunnisa Pratiwi atau yang kerap di panggil Khai oleh teman-temannya itu tengah menghadiri pesta ulang tahun temannya di salah satu kelab yang cukup ternama.
“Lihatin jam mulu dari tadi, kaya anak SMP takut ketahuan nakal tau nggak lu. Kenapa sih? Gelisah gitu dari tadi”
“Besok gue masuk, lagian si Devon harus banget ngadain party di hari kerja. Nggak bisa nunggu sabtu apa?”
“Yah mana gue tahu kan emang tuh orang ulang tahunnya hari ini kalau sabtu mah udah basi Khai, lagian sesekali masuk telat nggak masalah kali, jumat juga kan? Noh lihat si Regian, cowo lu aja sans gitu padahal besok tuh orang buka praktek.”
“Yah beda lah, dia kerja untuk diri sendiri, lah gue b***k orang lain. Aturan tetap aturan Gas, gue paling nggak bisa kalau nggak tepat waktu.”
“Iya deh yang bakalan naik jabatan,”
Praktis Khai menoleh ke arah Agas yang sedang menampakkan senyum geli padanya.
“Semua orang udah pada tahu kali Khai lu bakalan jadi GM, mana bisa informasi kaya gitu nggak cepat nyebar, di kantor dinding pun berbisik sayang kuh.”
“Bukan gitu, kepala gue udah berat banget, tapi kalau nggak sampai akhir sia-sia gue ke sini,” tukas Khai mencoba mencari alasan.
“Yah iya lah, yang lu tenggak itu alkohol, kalau wedang badan lu anget. Lagian, kapan lagi lu bisa ikut acara beginian? Apa lagi kalau udah naik jabatan boro-boro gabung sama kita-kita.”
“Apaan sih? Nggak lah! Di atas langit masih banyak bintang kali.” Mendengar nada kesal dari Khai, Agas hanya mengusap rambut panjang Khai yang masih rapi. Sesekali menoleh ke arah Regian yang sedang berjalan ke arah mereka.
“Kalian lagi bahas apa? Kayanya seru benget, ketinggalan info apaan?” tanya Regi memotong jarak keduanya, menarik kepala kekasihnya untuk bersandar di dadanya seolah sedang menunjukkan kepunyaannya pada laki-laki yang bernama Agas tersebut. Mengetahui hal itu Agas memilih melipir dari sana memberi waktu keduanya bersama.
“Mau pulang, tapi nggak enak sama Devon,” adu Khai dengan nada manjannya.
“Tumben? Biasanya nggak mau pulang kalau udah di sini?”
“Biasanya gitu, tapi besok aku harus ngantor,” perempuan cantik itu menghela napas pendek.
“Masih jam 10, satu jam lagi kita pulang. Mau aku pesanin minum lagi?” masih dengan posisinya, Khai menganggukkan kepalanya yang membuat laki-laki itu gemes dengan tingkah kekasihnya.
***
Dengan kepala yang sudah sangat berat, Khairunnisa memutuskan untuk pulang, terlebih ini sudah menunjukkan pukul setengah 12 malam, acara semakin seru meski begitu Khai tidak bisa lebih lama berada di sana, setelah berkeliling mencari sosok Regian, yang sudah berjanji mengantarnya Khai tak kunjung menemui pria itu dan ternyata laki-laki itu tengah menyesap minumannya bersama cowo-cowo lainnya, tampaknya mereka sedang membicarakan hal yang seru hingga membuat laki-laki itu melupakan janjinya.
Tak ingin mengganggu kesenangan pria itu, dengan kondisi setengah sadar, Khai memutuskan untuk pulang seorang diri, mencari taksi yang bersedia mengantarkan dirinya sampai ke apartemennya, namun sialnya sudah hampir 10 menit berdiri, Khai tak kunjung mendapati taksi dan entah mengapa tidak ada satu pun driver online yang bersedia mengantarnya pulang. ia terlalu malas untuk kembali masuk ke kelab, yang ada ia akan semakin ditahan di dalam sana.
Tak lama menunggu, senyum Khai terbit ketika melihat mobil sedan berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri, tanpa menunggu lama, Khai bergegas menyusul mobil tersebut, tanpa banyak bicara Khai membuka pintu depan dan masuk ke dalamnya.
“Pak, eh mas tolong anterin saya ke jalan Pepaya, Sudirman yah ” ujar Khai begitu melihat sosok supir yang sedang duduk di bangku kemudi, meski dalam keadaan mabuk, namun mata lentik itu masih dengan jelas membedakan ketampanan seorang pria.
“Maaf mbak, tapi saya bukan.”
“Cepetan mas, saya udah ngantuk banget, nanti saya kasih tips lebihan buat masnya tenang aja.” Dumel Khai membuka dompetnya memberikan tiga lembar uang seratusan.
“Tapi mbak, saya bukan supir taksi.”
“Mas nggak usah bohong, udah deh yah mas antar saya dulu setelahnya saya tambahin lagi, saya ngantuk mau tidur!” tanpa memperdulikan keselamatannya, Khai benar-benar memejamkan matanya.
***
Kasur yang empuk, udara yang sejuk serta bantal yang nyaman menjadi healing terbaik yang Khai miliki hampir 10 tahun ini, terlebih aroma maskulin yang dengan kurang ajarnya masuk ke dalam rongga hidungnya yang mancung, tapi hal itu jugalah yang lambat laun membuat kesadarannya kembali seketika. Meski dengan mata tertutup, otak perempuan itu sudah memproses kegitan yang sudah seharian ini ia lakukan, dan ia tidak mengingat ada sosok bang Raja dalam memorinya.
Terlebih saudaranya itu sudah satu bulan ini dinas di perbatasan dan tidak mungkin ia akan berada dalam pelukan laki-laki kaku yang begitu ia cintai itu, tentu saja informasi barusan membuat Khai terbagun dari tidurnya, dan benar saja ia tertidur di atas d**a seorang laki-laki yang entah siapa namanya, mirisnya lagi ia tidak mengenakan pakaiannya, melainkan kemeja kedodoran yang entah milik siapa, sementara itu bajunya sudah teronggok mengenaskan di atas lantai.
“Bangun sialan! Kau siapa? Kenapa aku bisa ada di sini?” Bukannya takut, Khai malah menantang pria sialan yang terlelap di sampingnya.
“Tidak usah berteriak, aku tidak tuli.” Kalau tidak dalam keadaan emosi yang membumbung, mungkin Khai sudah terpesona melihat ketampanan yang ada di hadapannya kini.
“Kenapa aku bisa ada di sini? Jangan bilang kalau kau mau berbuat yang buruk pada ku?” bukannya menjawab pertanyaannya, laki-laki tampan itu dengan santainya berjalan kearah pintu yang entah pintu apa.
“Kau mau kemana? Jawab pertanyaann ku sialan!” jujur Khai dalam keadaan takut saat ini, hanya saja ia tidak ingin terlihat lemah.
“Apa urusan mu?” Khai menelan ludahnya mendengar nada rendah dari pria itu, benar-benar menakutkan.
“Pintu keluarnya ada di sebelah kanan, jadi silahkan pergi dari sini dan bawa semua barang-barang kau! Jangan ada yang tertinggal.” Khai merasa terhina dengan ucapan laki-laki itu, apa-apaan maksudnya, bukankah saat ini ia adalah pihak yang paling dirugikan?
“Jawab dulu pertanyaan ku! Kenapa aku bisa di tempat sialan ini? Dan apa yang sudah kau lakukan pada ku?” Khai sedikit ketakutan ketika laki-laki itu menyeringai pelan.
“Sepertinya kau memiliki ingatan yang sangat buruk ketika mabuk, kau tenang saja aku tidak tertarik dengan tubuh tepos kau itu, dan aku berharap kita tidak pernah bertemu, jadi silahkan keluar dari kamar ini.”
Khai masih tidak mengerti maksud laki-laki itu, tapi yang bisa ia tangkap sepertinya laki-laki itu tidak menyentuhnya, itu cukup melegakan tapi apa maksud ucapan pedasnya barusan? Tepos? Dari mananya? Bahkan teman-temannya banyak yang iri dengan tubuhnya yang ideal. Namun belum sempat Khai menimpali ucapan pria itu, laki-laki itu sudah lebih dulu menghilang di balik pintu.
Belum sempat Khai mengutarakan uneg-unegnya, ponselnya kembali bergetar menampilkan pengingat kalau hari ini adalah promosi kenaikan jabatannya, tanpa berlama-lama, Khai segera mengambil barang-barangnya, juga Khai mengambil tanda pengenal milik laki-laki itu untuk berjaga-jaga bila suatu hari ia meminta pertanggung jawaban dalam bentuk apapun.
hanya tersisa 2 jam lagi untuk ia harus berada di kantor, sementara itu ia masih di tempat antah beranta ini belum lagi jarak kantor dari apartemennya yang lumayan memakan waktu dan mobilnya masih terparkir di kelab, benar-benar hari yang sial untuk Khai.
***
“Selamat atas jabatan baru lo! sumpah gue hampir mau nangis tadi. Gue bangga banget sama lo Khai.” Ujar Kartika memberikan pelukan terbaiknya. Yang justru membuat Khai kesulitan bernapas.
“Lu meluk atau nyekek gue sih Kar kenceng banget.”
“Sorry, sakit banget yah? gue beneran sesenang itu sumpah.”
“Gue pikir lo gak bakalan datang, secara tadi malam kalian udah kaya zombie, paginya udah seger aja,” tukas Khai mengingat tingkah teman-temannya tadi malam dan paginya mereka tampak normal, sedangkan dirinya kalau tidak menggunakan make up tebal untuk menutupi mata pandanya, mungkin wajahnya sudah seperti mbak kunti.
“Mana mungkin gue nggak datang secara ini hari penting buat lo, hujan badai bakalan gue tempuh.” Khai tidak menimpali ucapan sahabatnya yang terdengar menggelikan di telinganya.
Baik dirinya, maupun Kartika sama-sama menoleh ketika melihat seseorang yang membuka pintu ruangan yang beberapa jam lalu resmi menjadi tempat barunya bekerja.
“Eh ada Agas, cie bawa bunga segala udah macam apaan ngasih bunga sama cewe, pacar orang itu.” komentar Kartika dengan nada bercandanya.
“Dari pada lu datang tangan kosong, masih mending Agas lah, thanks yah Gas,” ujar Kartika mengangkat buket tersebut.
“Yee aturannya lu kali yang traktir kita-kita kenapa jadi gue yang keluar duit?”
“Selamat yah Khai, lu pantas dapat jabatan ini, eh udah harus panggil bu Khai yah sekarang.”
“Geli gue dipanggil ibu, kaya biasa aja, kecuali depan orang lain itupun kalau kepepet.”
Setelah perbincangan ketiganya berakhir, pandangan Khai terlaihkan pada kartu nama yang ia ambil sebelum keluar dari sebuah kamar yang ternyata itu adalah sebuah rumah cluster yang cukup mewah dari rumah cluster lainnya, Khai benar-benar merutuki tingkah konyolnya tadi malam bisa-bisanya ia membiarkan seseorang membawa tubuhnya hingga ke dalam rumah yang belum pernah ia pijak sebelumnya.