DUA

1048 Kata
"Pagi, Lita!" "Pagi, Pak." "Hari ini shift pagi?" "Iya, Pak." Talita memutar kedua bola matanya malas. Basa basi yang sangat basi. Padahal jelas-jelas dirinya sudah duduk rapi di mejanya, mengenakan jas perusahaan. Masih saja lelaki tua nan genit itu bertanya. "Baiklah, kerja yang bagus, Talita! Jangan kecewakan saya!" "Pak Martin, Jovia mencari Bapak." ucap salah seorang karyawan yang berdiri di belakangnya. "Oh, di mana dia? Ada apa mencariku pagi-pagi begini?" "Di depan, Pak." Pria yang dipanggil Pak Martin itu meninggalkan tempat Talita berada. "Baiklah, kerja yang bagus, Talita! Jangan kecewakan saya!" Talita menirukan suara Pak Martin dengan suaranya yang dibuat-buat. "Masih pagi, Mbak, jangan sebel dulu sama dia," tegur karyawan yang tadi memanggil Pak Martin. "Ya gimana gak sebel sih, Hasa! Itu orang perasaan ganjen mulu sama aku. Kamu mah laki, gak ngerasain juga diganjenin dia." "Gak sama Mbak Lita aja kok. Sama yang lain juga. Emang gitu orangnya jangan diambil pusing. Ke depan dulu ya, Mbak. Toko udah mau buka nih." Laki-laki bernama Hasa itu beranjak juga menuju area toko. Talita melihat sekilas jam yang tertempel di dinding menunjukkan jam sepuluh kurang lima belas menit. Sudah saatnya juga dirinya keluar untuk bekerja. Dengan langkahnya yang anggun mengenakan sepatu pantofel hitam berhak lima sentimeter, ia menyusuri lorong yang menghubungkan office dengan toko Mentari departemen store. "Selamat, Pagi, Bu," sapa karyawan-karyawan yang sudah siap di stand masing-masing saat Talita melewati mereka. Rolling door dibuka tepat pukul sepuluh pagi. Beberapa pengunjung mall sudah mulai berseliweran di depan toko. Suasana masih cukup sepi. Belum banyak pengunjung mall yang masuk ke tempat Talita bekerja. Dari jam sepuluh sampai jam dua belas siang nanti, giliran Talita mengawasi area toko yang sangat luas itu. Hampir setengah gedung mall di lantai dua hanya milik Mentari departemen store. Setelah mengelilingi semua penjuru, Talita berhenti sejenak di tempat informasi. Di sana ada Bela, yang tak lain sahabatnya tengah bekerja. "Selamat siang, Bu," sapa Bela formal. "Ck! Kebiasaan deh," gerutu Talita. "Udah selesai emang supervisinya?" tanya Bela yang melihat Talita mengambil duduk di sampingnya. "Udah, capek nih kaki. Eh, mukamu kucel amat? Semalem pulang jam berapa?" tanya Talita memperhatikan wajah sahabatnya yang tidak segar seperti biasanya. "Jam dua pagi. Ngantuk berat emang ini. Pengen merem lagi." Bela mengedip-kedipkan matanya yang terpasang bulu mata palsu. "Gila nih anak. Udah tahu masuk pagi, pulang jam segitu. Sakit kamu lama-lama." "Ulu-ulu ... perhatian banget deh sama aku. Makin sayang deh," ucap Bela sambil mencolek pipi kanan Talita. "Ntar langsung pulang atau jalan dulu?" tawar Bela. "Langsung pulang aja deh kayaknya. Aku mau ke rumah Rayhan. Dia dari kemarin malem susah banget dihubungi. Mana kemarin mobil aku mogok, dia gak bisa jemput." 'Ya iyalah Rayhan gak bisa dihubungi, kan dia lagi ena-ena sama aku,' batin Bela tertawa sinis. "Emang dia gak kasih alasan gitu?" "Katanya sih ada meeting sama client, tapi, aneh gitu. Masa meeting jam segitu." Sering telepon di meja Bela menghentikan obrolan mereka. Bela mengkat telepon itu. Talita diam menunggu hingga urusan Bela selesai. Setelah panggilan telepon berakhir, Bela menyalakan pengeras suara yang ada di sampingnya dan mengumumkan informasi yang baru saja ia dapat. "Bel, aku balik dulu deh, nanti ketahuan Pak Martin kalau aku kelamaan di sini." "Oke, selamat bekerja, Bu Lita," ejek Bela. "Awas ya!" ***** Meja kerjanya telah rapi, semua laporan hari ini telah ia kerjakan. Beberapa menit lagi jam pulang segera datang. Sambil menunggu beberapa menit itu, ia memainkan ponselnya. Mengecek beberapa pesan masuk yang belum sempat ia balas. "Kok gak ada pesan sama sekali dari Rayhan sih," guman Talita. "Coba aku telepon deh." Dia memencet gambar telepon di sudut kanan atas tampilan ruang obrolannya dengan Rayhan. Nada sambung terdengar cukup lama, tak kunjung tersambung. "Ada apa ya sama dia? Kok gak bisa dihubungi gini?" Rasa khawatir menyeruak di hati Talita. Memang, bukan sekali dua kali Rayhan sulit dihubungi seperti ini. Namun, selalu saja Talita berusaha berpikir positif. Mungkin, pekerjaan Rayhan sangat banyak dan tidak memiliki waktu luang untuk menghubunginya. "Lit, pulang yuk." "Lit." "Talita." "Bu Lita!" "Astaga! Kamu ngagetin aja sih, Bel!" "Kamu ngapain sih? Aku panggil-panggil gak jawab." "Ini, Rayhan gak angkat telepon aku. Aku khawatir, takut terjadi apa-apa sama dia." "Alah, dia kan cowok. Pasti bisa jaga diri kok. Aku yakin dia baik-baik aja sih. Yuk pulang. Atau aku tinggal nih?" 'Padahal barusan aku chatting sama Rayhan,' batin Bela. "Eh, iya, aku numpang. Anterin ke bengkel ambil mobil ya." "Oke, ayo." Bela berjalan terlebih dulu meninggalkan tempat Talita. Ia hendak mengambil motornya di parkiran. Sementara Talita masih membereskan beberapa barangnya ga belum masuk ke dalam tasnya. Sepatu hak tingginya telah berganti dengan sepatu sneaker yang terlihat lebih nyaman digunakan Talita. Ia memang selalu berangkat ke kantor menggunakan sendal atau sepatu sport. Di parkiran, Talita sedikit kebingungan mencari keberadaan Bela. Ia mengedarkan pandangannya menelusuri area parkir yang cukup ramai itu. "Nah itu dia!" Akhirnya pandangannya menemukan Bela sedang bersama dengan seorang laki-laki. "Rayhan? Kamu ..." "Oh, Talita!" Raut wajah Rayhan sedikit terkejut melihat kedatangan Talita. Karena tujuannya ke sini bukan untuk bertemu dengan dia, melainkan dengan Bela. "Oh, ini, Ta, itu ... tadi gak sengaja aku lihat Rayhan jalan gitu mau masuk nyariin kamu. Aku panggil deh tuh, kan kamu pulang mau nebeng aku, gitu, Ta," ucap 'Semoga Talita percaya.' Bela merapalkan kalimat itu. Berharap Talita percaya dengan apa yang dia katakan. "I-iya, aku mau jemput kamu, Sayang," kata Rayhan, tapi, tahapannya sekilas melirik Bela yang memutar bola matanya kesal. "Ck! Kamu dari kemarin ke mana aja? Gak bisa dihubungi, di telepon gak diangkat. Ngeselin banget kamu!" "S-sayang, aku bisa jelasin. Mending kita ke mobil dulu yuk. Gak enak kalau kamu marah-marah di tempat umum gini." Rayhan merangkul Talita dan mengajaknya ke mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana. "Sial banget jadi yang kedua. Kapan aku dapat posisi Talita sekarang," guman Bela menahan kekesalannya. "Sampai kapan aku jadi yang kedua? Sampai kapan, Ray? Kamu bilang cinta sama aku. Tapi, nyatanya? Aku selalu harus mengalah!" Ingin sekali Bela berteriak meluapkan kekesalannya. Ia sudah muak selalu melihat adegan di mana Rayhan bersikap mesra pada Talita. Selalu dirinya yang tersakiti. Dengan rasa sakit yang membakar hatinya, Bela mengenakan kaca mata hitam yang selalu ia kenakan untuk berkendara. Saat ini kaca mata itu sangat membantunya menyembunyikan air matanya yang terus mengalir. Untungnya ia mengenakan masker wajah sehingga tak ada orang yang tahu ia tengah menangis. Bersambung .... --------
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN